Tuesday, June 14, 2011

"aMazing Boy"

Anak laki-laki itu…

Entah siapa namanya, tinggal dimana, yang pasti bagiku dia hm, “little amazing”..

Kalo liat perawakannya, kira-kira usianya 14 atau 15 tahun, agak gemuk, dengan mata yang kurang simetris. Intinya, tidak banyak yang menarik dari penampilannya. Biasanya jika kasusnya sudah begini, sekali pandang, orang-orang akan memalingkan muka…tak peduli.
Tapi tidak dengan anak laki-laki ini…, hm…sudah kubilangkan dia “little amazing”…?, hehe.

Yah..dia selalu mencuri perhatian, bahkan dari orang-orang yang tidak mengenalnya atau dikenalnya. Sebagai contohnya..ya aku . Hm, bagaimana bisa ?? nah ini dia hebatnya.

Aku tinggal di sebuah petak kamar kos didaerah yang padat, bahkan bisa dibilang sangat padat. Kebanyakan penduduk daerahnya adalah mahasiswa dan keluarga-keluarga kecil. Yah wajarlah, karena daerah ini memang terbilang cukup dekat dari beberapa kampus besar di Makassar. Intinya daerah ini adalah “zona mahasiswa” alias daerah kos besar-besaran, hehe. Jarang ada “rumah utuh” tanpa satu atau dua kamar, atau bahkan sepuluh kamar disewakan sekaligus untuk tempat tinggal “sementara” mahasiswa. Dan akibatnya, hampir semua “rumah” juga memiliki kios alias tempat jualan, entah itu jualan makanan, lauk pauk, lauknya saja, pauknya saja (hehe, memang beda?), sampai jualan sayuran dan ikan. Antara penjual yang satu sama yang lain paling-paling jaranknya hanya satu rumah, malah ada yang ga berjarak sama sekali alias semua rumah yang sederetan dengannya jualan semua.hehehe.

Tapi Meski tinggal didaerah yang padat, penduduknya ga selalu saling peduli satu sama lain. Mungkin karena kebanyakan mahasiswa jadi semuanya cukup sibuk dengan kuliah dan urusan masing-masing. Waktu tinggal di rumah biasanya hanya untuk istrahat saja.

Eh, balik lagi ya kecerita utama…

Apa yang membuat si anak laki-laki ini jadi sedikit mengagumkan. Nah, kebetulan tidak terlalu jauh dari kos-anku ada sebuah masjid, tapi lagi-lagi masjid itu kelihatnanya hanya rame pas ramadhan saja.

Nah…nah si anak laki-laki ini, selalu menjadi orang paling “awal” kemesjid. Tapi tidak hanya itu, sepanjang jalan menuju mesjid, dia selalu menyempatkan diri mengajak setiap orang yang dilihatnya ke mesjid, ga peduli usia orang yang diajaknya. Mulai dari anak kecil, sebayanya, anak-anak mahasiswa, bapak-bapak, bahkan orang tua yang jauh banget beda usianya. “shalat yo’ kak…!!”, atau “ kak, kemesjid yo’!”, begitu katanya. Ajakan dengan kalimat-kalimat sederhana, santai, tapi sarat pesan. Dan yang paling bikinku angkat jempol karena dia istimrar dengan itu, alias ga hanya sekali dua kali saja dilakuinnya, tapi tiap jam shalat…khususnya magrib. Terus-menerus.

Dan jangan pikir…semua orang punya pandangan positif sama sikap si anak. Ga kehitung yang mikir anak ini sok alim-lah, sok dewasa, sok ngajarin atau pikiran negative lainnya. Tidak jarang juga, ketika ngajak malah dibalas ledekan dan ketawa massal dari orang-orang. Tapi seperti kata pepatah, “anjing bergongong, kafilah berlalu”, anak ini tetap pada kebiasaannya…ngajakin orang shalat. Tiap hari..tiap waktu.

Mm..Mungkin setelah dengar cerita ini, bagi anda “si anak laki-laki” itu masihlah biasa saja…tak ada yang istimewa. Tapi pernahkah anda pikir, bahwa jika anda…apakah mau ngajakin orang-orang yang tidak anda kenal untuk shalat?, Menyapa mereka yang masih asyik nongkrong saat azan magrib, sedang anda terpaut usia yang jauh?, maukah anda melakukannya tiap hari..tiap waktu shalat, tanpa capek atau malu karena sering diejek sok alim?, hm…saya yakin anda masih berfikir untuk menjawabnya. Klopun ada yang menjawab “saya bisa seperti itu”...mungkin hanya terhitung jari yang bisa mempraktekkannya. Selalu hanya suara lantang, tanpa perbuatan.

Mungkin anak laki-laki itu tak pernah merasa istimewa, mengagumkan.
Juga mungkin orang yang senantiasa diajak sang anak untuk “shalat”, tak banyak yang merasa tersentuh atau sadar…
mungkin ajakannya tidak membuat semua orang berubah..sebagian wajah dunia, sedikitnya daerahku berubah.
Tapi, saya yakin ada satu, dua, tiga orang yang terenyuh karena ajakannya…dan itu sudah lebih dari cukup untuknya, karena tanpa dia tau, Tuhan menyiapkan buku tabungan untuknya.

Dan kita…apakah kita tidak malu??, hanya bisa berkoar-koar…hanya bisa berceramah di atas mimbar, jauh lebih tua, lebih bisa berfikir untuk melakukan hal serupa dengannya. Jika tidak sama…tak apa, cukup mengajak diri sendiri untuk trus “menghidupkan shalat”.

Semangat!!.

Menatap Punggung Muhammad


Well…Judul di atas sebenarnya bukanlah topic pembahasan dalam postingan kali ini. Melainkan salah satu judul buku favoritku. Hm, seperti yang sudah kusinggung dalam tulisan tentang “ihsan” dalam postingan yang lalu, buku ini termasuk dari sekian karya k“fahd-Djibran”, seorang penulis muda yang usianya cuma beda setahun denganku. Meski begitu, bagiku k’fahd adalah sosok yang kritis dan penuh perenungan, ini semua tercermin dalam karya-karyanya yang “tak biasa”.

Cerita hingga bisa memperoleh buku ini “istimewa” untukku. Coz’ tidak seperti buku-buku lain yang biasanya dapat langsung kubeli lewat toko-toko buku didaerahku. Aku malah menemukannya setelah setahun mengidamkannya. Itupun langsung keJakarta…

Awalnya sih karena aku sudah punya beberapa buku-buku k’fahd yang lain, a cat in my eyes (yang aku beli tidak sengaja), kemudian curhat setan (yang mulai dengan sengaja ku beli, :) ) ada juga bukunya yang berjudul Rahim (yang ini murni karena sudah nge-fans sama tulisan-tulisan k’fahd).

Nah, Lihat dari blognya k’fahd, Tinggal buku ini yang belum aku punya. Tapi, meski sudah ngubek-ngubek gramedia dan toko buku se-Makassar, tidak juga kutemukan buku ini. padahal dari judulnya saja…aku sudah begitu “penasaran” dan begitu “ingin tau”, apa lagi yang diungkapkan k’fahd dalam buku ini. Secara, aku anak hadis…yang notabene bergelut dengan segala hal yang disandarkan pada Nabi kita tercinta itu, Muhammad saw.. Aku yang sering ngaku-ngaku “jatuh cinta” pada sang Nabi (meski, setelah baca buku ini, jadi kembali bertanya pada diri sendiri..apa benar aku “mencintai”???, apa benar aku telah “cinta”??). dan aku yang sering bergetar, menangis tersedu-sedu membaca kisah-kisah kehidupan beliau... dengan semua alasan itu..aku menjadi “sangat ingin tau” apa isi buku tersebut.

Beberapa bulan memesan pada seorang teman di Jogja, tak juga membuahkan hasil. Selama itu, tiap kali datang keGramed, aku tak pernah lupa mengecek buku-buku yang ada…”siapa tau kali ini ada” pikirku. Namun itupun tak berbuah. Hingga kesempatan itu datang, aku diajak bapak maen keJakarta, sampai Jakarta, tujuanku jelas ke Gramed…nyari buku itu sekalian dengan beberapa buku yang memang sudah kuniatkan membelinya. Waktu itu ke Gramed Matraman…,ngubek-ngubek ga dapat juga, nyari di Komputer, hasilnya ada 36 jumlah buku Menatap Punggung Muhammad yang terdaftar. Tapi setelah nyari-nyari ketempat yang ditunjukkan, malah ga dapat. Nanya ke pegawainya juga sama….

Akh…aku masih ingat, waktu itu perasaanku seperti telah berada di tujuan…ujung penantianku…buku itu seperti sudah didekatku, tapi gemesnya….aku tak kunjung dapatinya. Iihh…

Akhirnya setelah 2 jam, kuputuskan pulang setelah meminta no. telpon Gramed tersebut, bagaimanapun dari data yang ada dikomputer…buku itu malah dinyatakan ada…36 buku…hanya keberadaanya ga tau dimana…dan pegawainya sudah janji nyariin. Itu artinya masih ada harapan beberapa hari sebelum kembali ke Makassar…selalu ada harapan 

Beberapa hari diJakarta, aku juga ga tinggal diam. Keliling ketoko-toko buku yang lain, hasilnya juga sama. Buku dengan judul itu ga ada. Akhirnya sehari sebelum pulang, aku kembali ke Gramedia Matraman dan menagih janji sang pegawai…. Senang tak terkira, saat akhirnya bisa menemukan buku itu…palagi dengan pengantar Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, yang juga aku senangi tulisan-tulisannya. Waaaaaaaaah…makasih Tuhan, hehehe.

Tapi kebahagian memperoleh buku itu sangat kecil dibanding ketika membacanya. Tidak henti-henti airmata ini mengalir, saat membacanya. Meski, sebagian kisah ini yang termuat sudah sering diungkapkan..tapi membacanya dengan bahasa “buku ini”…membuat sentuhan lain. Lebih terasa…lebih mengena…(klo nda percaya, beli saja sendiri  )

Yah..”MeNatap Punggung Muhammad”, isi buku yang aslinya surat ini memang keren, asli ga biasa , Pencarian “sang aku” tokoh utama cerita seperti menegur “perasaan cinta-ku” dan mungkin juga beribu pembaca selainku. Yah, seperti yang sudah aku bilang…”pencariannya” membuatku kembali bertanya pada diriku sendiri…”apakah aku benar mencinta?, mencinta yang memiliki kekuatan untuk mendorongku mengetahui lebih banyak sosok “sang Nabi”…mengaplikasikan semua ajarannya..meneladani akhlaknya? Mencinta yang bisa membuatku dicandu rindu padanya…hingga ingin menjadi pengikutnya yang setia…?”…aku bahkan malu...karena “cinta” yang kukoarkan selama ini belum “benar-benar cinta”……

Sungguh banyak pelajaran dari buku ini, pelajaran tentang “kekuatan Cinta”, “Sang Nabi”, “Iman” juga “Ihsan”. Dan lewat tulisan ini, aku yakin aku sepakat dengan k’fahd..bahwa inti dari tulisan dan buku ini adalah…mengajak kita lebih mengenal sosok Nabi kita…yang namanya kita hafal luar kepala, tapi mungkin tak mengenalnya sama sekali. Lebih mencintainya…lebih mendekatinya..hingga bisa meneladaninya. Karena sang Nabi adalah uswah…wujud nyata dari ajaran-ajaran Allah…

iHsan -Part 2...,Lebih deKat

Berbicara tentang ihsan, aku langsung teringat pada sebuah buku karya k’Fahd Djibran, yang menurutku sangat baik dalam menuturkan makna ihsan.

Dalam buku tersebut, si “aku” mengajukan pertanyaan kepada pamannya yang seorang muslim, “Mengapa ihsan (kebaikan) bisa lebih utama daripada iman?”

Sang paman yang bijak pun menjawab:
“kita semua tahu bahwa iman bukan hanya soal pengakuan dan persaksian, iman harus bisa dibuktikan melalui perbuatan. Muhammad pernah bersabda, jenis keimanan bisa bermacam-macam, dan salah satunya adalah menyingirkan duri dari jalanan. Kita pasti bertanya-tanya, apa hubungannya keimanan dengan menyingkirkan duri dari jalanan?

Kita tahu duri adalah benda yang, meskipun kecil, sangat mungkin mengganggu pengguna jalan. Tentu saja ini hanya metafora, di zaman ketika Muhammad hidup, karena perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki atau menunggang unta atau kuda, amsal yang paling tepat untuk menunjukkan material yang dapat mengganggu keselamatan para pejalan adalah duri. Kini, duri bisa saja menjadi benda lain, misalnya paku atau batu. Namun, yang terpenting adalah bahwa hadits ini memiliki spirit dasar ajaran Islam dalam memperbaiki setiap “penyakit” yang dapat merusak “kehidupan bersama”. Ya, “kehidupan bersama, sebab para pengguna jalan bukan hanya mereka yang beragama Islam—mereka bisa jadi oranglain yang beragama berbeda dan memiliki ideology politik yang berbeda-beda.

Barangkali ini bisa menjadi awal mengapa kebaikan bisa lebih utama dari iman. Sebab kebaikan adalah pembuktian keimanan yang sanggup melampui keimanan itu sendiri. Melampaui batas-batas-batas agama. Saat kita menjadi orang beriman, kita memiliki identitas tersendiri—kita tahu bahwa ada seseorang yang lain dengan keimanan yang berbeda. Tapi saat kita berbuat baik, kita tak perlu melihat identitas—keimanan oranglain—sebab kebaikan sesuangguhnya melampaui iman. Itulah sebabnya mengapa menyingkirkan duri dari jalanan merupakan pembuktian keimanan yang dianjurkan oleh Muhammad.


Saat kamu membantu seorang tua menyebrang jalan, meskipun sang tua hendak pergi melakukan peribadatan agamanya yang berbeda denganmu,tindakanmu tetaplah sebuah kebaikan. Maka, Muhammad memberikan metafora yang sangat baik untuk memotret keindahan iman yang diaplikasikan menjadi kebaikan: menyingkirkan duri dari jalanan.


Metafora duri ini, bagi paman, mengajarkan kita dua keinsyafan. Keinsyafan yang pertama mengajarkan pada kita bahwa “masalah” yang kita jumpai diruang public adalah masalah bersama. Suatu masalah, seperti setitik nila, ia mungkinjatuh pada sudut tertentu di belanga susu; namun nila itu akan membuat seluruh susu menjadi tercemar. Maka, bilamerujuk pada hadis-duri, keimanan yang baik seharusnya tercermin melalui kebaikan yang melampaui identitas “aku”,”kamu”,”kami”, dan “mereka”. Perbuatan baik, sebagai wujud dari keimanan, harus bisa melampaui identitas apapun.


Keinsyafan yang kedua adalah bahwa tindakan iman dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Menyingkirkan dari duri jalanan adalah hal seerhana, namun Muhammad menegaskan bahwa dalam kesederhanaan itu (bila memberikan keselamatan bagi manusia lain), terletak bukti keimanan. Berperang melawan musuh agama barangkali memang merupakan bukti dari keimanan. Namun, mereka yang mengatakan bahwa jihad perang merupakan iman tertinggi, barangkali lupa bahwa berperang sebagai bukti keimanan sebenarnya adalah berperang melawan musuh yang menciptakan kekacauan dan keburukan bagi kehidupan bersama. Itulah musuh agama yang sebenarnya. Bukan justru perang yang menimbulkan keresahan dan kekacauan pada kehidupan bersama itu. maka, belajarlah dari yang sederhana, belajarlah dari perbuatan kecil, menyingkirkan duri dari jalanan.


Jadi, mengapa kebaikan lebih utama daripada keimanan? Sebab iman hanya berdampak bagi dirimu sendiri, sementara kebaikan berdampak bagi seluruh semesta. Agama yang baik, sebagaimana juga iman yang baik, kata Muhammad, adalah agama yang menjadi rahmat bagi semesta…rahmatan lil ‘alamin.”


Indah bukan???.......
Meski pada dasarnya disisi lain, kita memang tidak bisa melebihkan antara iman dan ihsan…keduanya, memang saling terpaut..berhubungan dan berkaitan. Benar, ihsan adalah pembuktian keimanan. Tapi kita mesti ingat, bahwa iman-lah yang menjadi basic juga motivasi adanya ihsan. Iman….bahwa segala hal yang baik tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan pula. “hal jaza’ul ihsani illal ihsan…”. Iman…bahwa segala yang kita perbuat, kecil atau besar, baik atau buruk, akan punya balasan. Dan bukankah segala Agama samawi memiliki ajaran dasar berbuat baik….tak peduli apapun agamanya?!....

Naah….akhirnya…semoga kita selalu termotivasi untuk melakukan kebaikan. kebaikan yang melampaui batas dan sekat apapun yang ada. Karena sungguh, kebaikan tak mengenal itu semua.

Teruslah berbuat baik!!!!!:):):)…salam kebaikan…hehe.

Sunday, June 12, 2011

saTu Kata beRnama "iHsaN"


iHsan…
aku tercengang dengan sebuah kata ini….”ihsan”, kau tau apa arti kata itu?, bagiku tak ada penjelasan yang bisa mengungkapkan sebaik-baiknya makna yang ada dalam kata itu…yah, mungkin beberapa perumpamaan dan kiasan akan membuatmu sedikit lebih punya gambaran, akan tetapi lagi-lagi tidak benar-benar mengungkapkannya secara utuh….karena keindahan “ihsan” tak akan terasa hingga kau benar-benar melakukannya.

“ihsan” seperti partikel-partikel positif yang memenuhi semua udara jika dibayangkan, dan akan membuat kebahagiaan yang berbeda-beda tergantung pelakunya jika telah dilakukan…seakan-akan mendapatkan sesuatu yang paling kau sukai……
jika bagimu ketenangan adalah kebahagiaan yang paling kau tunggu, maka “ihsan” menghasilkan itu. atau jika kau menganggap “membuat oranglain bahagia” adalah bahagiamu, maka dengan “ihsan” pun kau pasti akan merasakannya. Begitu juga jika kau mungkin hanya mengharap “pahala” atau “balasan” atas apa yang mungkin kau lakukan, “ihsan” akan membuatnya dobel untukmu…., balasan di dunia…dan investasi di akhirat.

Ihsan adalah kebajikan….berbuat baik. Tapi ihsan bukanlah sekedar kebaikan biasa. Dia adalah puncak kebaikan. ihsan tidak hanya jika kau berbuat baik pada oranglain yang juga bersikap baik padamu. Karena, jika begitu..belum bisa dikatakan “berbuat baik”, melainkan baru “balas jasa”…yah…kau bersikap baik karena oranglain juga bersikap baik.

Ihsan tidak sekedar itu… dia bukan sekedar kebaikan biasa. Dikatakan ihsan, jika kau sanggup berbuat baik bahkan pada orang-orang yang menyakitimu dan memperlakukanmu dengan buruk. Intinya…”memperlakukan oranglain lebih baik dari perlakukannya kepadamu”. Oleh karena itu, makna ihsan..lebih tinggi daripada adil…karena adil berarti “memperlakukan oranglain sama dengan perlakuannya padamu”… sedang ihsan…menyiratkan arti “lebih” bahkan “yang terbaik”.

Banyak perumpamaan dan pendekatan untuk menggambarkan ihsan. Diantaranya, ihsan dimaknai dengan “berbuat atau melakukan sesuatu seakan-akan kita melihat Allah, atau dilihat Allah. Sehingga kita senantiasa terdorong untuk melakukan yang terbaik, dan bersungguh-sungguh dengan apa yang kita lakukan.”.

Selain itu, ihsan juga dimaknai dengan “melakukan kebaikan pada orang lain lebih dari melakukan hal baik untuk diri kita sendiri”. Melihat kebutuhan diri kita pada oranglain, sehingga pada akhirnya akan mendorong kita untuk terus memberikan dan melakukan yang terbaik untuk orang lain..sebuah “kebaikan” yang indah..
Tak terbayangkan jika semua orang memiliki mental “ihsan”, tiap-tiap orang seakan berlomba memperlakukan oranglain dengan baik, saling berupaya untuk memberikan yang terbaik. Al-hasil…tidak akan membutuhkan waktu lama untuk membangun masyarakat yang berkualitas.