A. Metodologi Tafsir dan Macamnya.
Istilah metodologi tafsir terdiri atas dua terms, yaitu metodologi dan tafsir. Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani yaitu methodohos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris disebut method, sedang bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. sedangkan kata logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga pembentukan dari kata-kata tersebut berarti ilmu tentang tata cara yang dipakai untuk mencapai tujuan (ilmu pengetahuan)
Adapun Term tafsi>r,mempunyai dua pengertian, pertama, tafsir adalah pengetahuan atau ilmu yang berkenaan dengan kandungan al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya. Dan yang kedua, tafsir diartikan sebagai cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hokum-hukum, dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka isitilah metodologi tafsir berarti kerangka,kaidah, atau cara yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, aspek sumber-sumper penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Metodologi tafsir berbeda-beda dilihat dari aspek yang mendasarinya. Jika ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, metodologi tafsir terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Sistematika tarti>b mushafiy, yaitu sistematika penyusunan tafsir Al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan surat dan ayat dalam mushaf.
2. Sistematika tarti>b nuzuliy, yaitu sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan kronologis turunnya surat-surat Al-Qur’an. Dan yang ketiga, sistematika maudhuiy, yaitu sistematika penyusunan penyusunan Al-Qur’an dengan berdasarkan tema/topic permasalahan yang akan dibahas.
Ditinjau dari aspek sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran, metodologi Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Tafsi>r bil ma’tsu>r (riwayat),
2. Tafsi>r bil ra’yi> (nalar) dan
3. Tafsir bil isya>ri (isyarat-isyarat supra natural).
Terakhir, metodologi Al-Qur’an jika ditinjau dari aspek system pemaparan dan keluasan tafsirannya dikenal ada empat macam metode yang digunakan oleh para mufassir. Yaitu :
1. Metode Ijma>li (global),
2. Metode Tahli>li (analitis),
3. Metode Muqa>ran (perbandingan) dan
4. Metode Maudhu>’i (tematik).
Friday, May 21, 2010
Metodologi Tafsir 1
Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Al-Qur’an bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (hudan) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam menjalani setiap sisi kehidupannya (QS. Al-Baqarah : 185)
Ibarat katalog sebuah produk barang, Al-Qur’an adalah guide bagi khalifatullah di muka bumi ini agar dapat berfungsi dengan baik. Dan hal tersebut tergantung pada sejauh mana pemahaman manusia terhadap petunjuk Al-Qur’an.
Mengingat fungsi tersebut, maka mempelajari tafsir Al-Qur’an sebagai upaya untuk memahaminya menjadi sesuatu yang urgen dalam rangka menempatkan ibadah manusia pada jalur yang benar sesuai dengan kehendak Allah swt. serta dapat menyentuh petunjuk Allah yang lain menyangkut akidah, syariat dan akhlak dengan harapan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sekalipun demikian, aktifitas menafsirkan Al-Qur’an relatif tidak mudah, mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya dan keluasan makna ayat-ayatnya yang tidak semua dapat dijangkau oleh pemahaman manusia, dengan kata lain redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.
Pada dasarnya, kegiatan menafsirkan Al-Qur’an telah mulai dan berkembang sejak masa-masa awal petumbuhan Islam, hanya saja masih dalam bentuk yang sederhana, dimana pada masa itu Nabi Muhammad saw. mengambil peran sebagai mubayyin (penjelas) terhadap apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan segala persoalan umat.
Penafsiran Rasulullah itu ada kalanya berupa sunnah qauliyah (perkataan), sunnah fi’liyah (perbuatan) ataupun sunnah taqririyah (ketetapan). Disamping itu, jika ada yang sesuatu dari Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh para sahabat, maka mereka dapat langsung menanyakannya kepada Nabi saw.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., para sahabat menggunakan beberapa pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an, diantaranya dengan melakukan penafsiran dengan ayat Al-Qur’an itu sendiri ataupun dengan riwayat-riwayat shahih yang bersumber dari Nabi saw. . Penafsiran inilah yang kemudian kita kenal dengan tafsi>r bil ma’tsur.
Penafsiran yang lain yaitu apa yang kita sebut sebagai tafsi>r bil ra’yi>, yaitu metode penafsiran yang menekankan sumbernya pada akal dan ijtihad. Pada masa selanjutnya, kebutuhan kepada penafsiran Al-Qur’an semakin besar, untuk itu para mufassir terus menerus mengembangkan metodologi penafsiran Al-Qur’an sehingga kita bisa melihat berbagai macam model penafsiran dalam berbagai kitab tafsir. Mulai dari tafsir tradisional sampai dengan tafsir modern.
Hal ini tidak terlepas dari perkembangan zaman dan semakin kompleksnya masalah-masalah yang timbul dimasyarakat yang menuntut reinterpretesi Al-Qur’an hingga bisa menjadi solusi dalam berbagai persoalan kehidupan yang ada.
Oleh karena itu, meskipun studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual Islam dan baru berkembang jauh setelah pertumbuhan tafsir , pengembangan metode penafsiran Al-Qur’an sendiri akan terus dilakukan sehingga fungsi Al-Qur’an terus dapat teralisasi, yaitu menjadi petunjuk dan pedoman sentral bagi kehidupan manusia.
Untuk itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa metode penafsiran Al-Qur’an yang telah dikembangkan para mufassir yang bertujuan sebagai alat untuk bisa memahami pesan Al-Qur’an dengan tepat dan benar.
Ibarat katalog sebuah produk barang, Al-Qur’an adalah guide bagi khalifatullah di muka bumi ini agar dapat berfungsi dengan baik. Dan hal tersebut tergantung pada sejauh mana pemahaman manusia terhadap petunjuk Al-Qur’an.
Mengingat fungsi tersebut, maka mempelajari tafsir Al-Qur’an sebagai upaya untuk memahaminya menjadi sesuatu yang urgen dalam rangka menempatkan ibadah manusia pada jalur yang benar sesuai dengan kehendak Allah swt. serta dapat menyentuh petunjuk Allah yang lain menyangkut akidah, syariat dan akhlak dengan harapan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sekalipun demikian, aktifitas menafsirkan Al-Qur’an relatif tidak mudah, mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya dan keluasan makna ayat-ayatnya yang tidak semua dapat dijangkau oleh pemahaman manusia, dengan kata lain redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.
Pada dasarnya, kegiatan menafsirkan Al-Qur’an telah mulai dan berkembang sejak masa-masa awal petumbuhan Islam, hanya saja masih dalam bentuk yang sederhana, dimana pada masa itu Nabi Muhammad saw. mengambil peran sebagai mubayyin (penjelas) terhadap apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan segala persoalan umat.
Penafsiran Rasulullah itu ada kalanya berupa sunnah qauliyah (perkataan), sunnah fi’liyah (perbuatan) ataupun sunnah taqririyah (ketetapan). Disamping itu, jika ada yang sesuatu dari Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh para sahabat, maka mereka dapat langsung menanyakannya kepada Nabi saw.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., para sahabat menggunakan beberapa pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an, diantaranya dengan melakukan penafsiran dengan ayat Al-Qur’an itu sendiri ataupun dengan riwayat-riwayat shahih yang bersumber dari Nabi saw. . Penafsiran inilah yang kemudian kita kenal dengan tafsi>r bil ma’tsur.
Penafsiran yang lain yaitu apa yang kita sebut sebagai tafsi>r bil ra’yi>, yaitu metode penafsiran yang menekankan sumbernya pada akal dan ijtihad. Pada masa selanjutnya, kebutuhan kepada penafsiran Al-Qur’an semakin besar, untuk itu para mufassir terus menerus mengembangkan metodologi penafsiran Al-Qur’an sehingga kita bisa melihat berbagai macam model penafsiran dalam berbagai kitab tafsir. Mulai dari tafsir tradisional sampai dengan tafsir modern.
Hal ini tidak terlepas dari perkembangan zaman dan semakin kompleksnya masalah-masalah yang timbul dimasyarakat yang menuntut reinterpretesi Al-Qur’an hingga bisa menjadi solusi dalam berbagai persoalan kehidupan yang ada.
Oleh karena itu, meskipun studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual Islam dan baru berkembang jauh setelah pertumbuhan tafsir , pengembangan metode penafsiran Al-Qur’an sendiri akan terus dilakukan sehingga fungsi Al-Qur’an terus dapat teralisasi, yaitu menjadi petunjuk dan pedoman sentral bagi kehidupan manusia.
Untuk itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa metode penafsiran Al-Qur’an yang telah dikembangkan para mufassir yang bertujuan sebagai alat untuk bisa memahami pesan Al-Qur’an dengan tepat dan benar.
Filosofis Muslim : Al-Kindi dan Farabi 5
3. Filsafat Al-Farabi tentang filsafat jiwa (An-nafs)
Sejalan dengan al-Kindi, al-Farabi mendefenisikan jiwa sebagaimana defenisi Aristoteles, yaitu “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memilki kehidupan yang energik.” Disamping itu, al-Farabi juga memberikan defenisi yang diambilnya dari Platonisme bahwa jiwa manusia adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri dan merupakan substansi manusia yang sesungguhnya. Manusia terdiri dari dua unsure, yaitu, pertama, substansi ruhani dari alam ilahi, kedua, badan ysng berasal dari alam penciptaan atau alam materi.
Al-Farabi dalam hal ini berusaha memadukan antara pendapat Aristoteles dan Plato bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk (form). Jiwa dalam kemandiriannya adalah substansi, dan merupakan form dalam sisi hubungannya dengan badan.
Jiwa menurut al-Farabi terdiri dari tiga macam yang masing-masing memiliki daya berbeda.
a. Jiwa Tumbuh-tumbuhan, jiwa ini memilki tiga daya, yaitu :
1.) Al-Quwwah al-Ghadziyah (daya nutrisi)
2.) Al-Quwwah al-Murabbiyah (daya pemeliharaan dan daya tumbuh)
3.) Al-Quwwah al-Muwallidah (daya generatif)
b. Jiwa Hewani yang memilki dua daya, yaitu :
1). Al-Quwwah al-Mudrikah (daya memahami) yang terbagi lagi menjadi dua daya, eksternal dan internal.
2). Al-Quwwah al-Muharrikah (daya penggerak) yang terbagi menjadi daya syahwat dan daya emosi.
c.Jiwa Rasional yang akan menghasilkan daya praktis dan teoritis.
4. Filsafatnya tentang kenabian.
Al-Farabi muncul memberikan penerangan yang jelas tentang persoalan kenabian ketika suasana dipenuhi perdebatan tentang permasalahan tersebut. bahkan penjelasan al-Farabi menjadi salah satu bagian terpenting dalam filsafat. Teori ini bertolak dari dasar-dasar psikologi dan metafisika, serta erat kaitannya dengan permasalahan akhlak dan politik.
Menurut al-Farabi manusia bisa berhubungan dengan akal fa’al, meskipun hanya terbatas pada orang-orang tertentu. Hubungan ini bisa melalui dua jalan, yaitu jalan pikiran dan imajinasi (pengkhayalan), dengan kata lain melalui perenungan dan inspirasi (ilham). Para filisofis mencapai kebenaran dengan jalan yang pertama, sedang para nabi melalui jalan kedua.
Seseorang yang mempunyai daya imajinasi yang kuat memungkinkan dia dapat berhubugan dengan Akal Fa’al, baik itu diwaktu sadar maupun diwaktu tidurnya. Dengan kekuatan imajinasi ini, dia dapat menerima pengetahuan dan kebenaran yang tampak dalam bentuk wahyu atau mimpi yang benar. inilah yang dialami oleh para Nabi dan inilah tingkatan imajinasi yang paling tinggi yang dapat dicapai seorang manusia.
Seperti dikutip oleh Manal Samir ar-Rafi’I, mengenai hal ini al-Farabi memaparkannya sebagai berikut :
“Jika kekuatan imajinasi seorang manusia telah sampai pada kesempurnaan, maka tidak ada halangan baginya dalam berhubungan dengan Akal Fa’al dalam keadaan terjaga, juga dalam menerima pengetahuan tentang peristiwa sekarang dan akan datang. Dengan adanya penerimaan itu orang tersebut dapat mengetahui perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut.”
5. Teori Al-Farabi tentang politik : al-Madinah al-Fadhilah.
Al-Farabi adalah seorang filosof yang banyak berbicara mengenai kemasyarakatan, karangan-karangannya yang masyhur dalam bidang ini antara lain as-Siyasah al-Madaniyah (Politik Kenegaraan) dan Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama).
Menurut al-Farabi, manusia adalah mahluk yang tidak bisa berdiri sendiri. Untuk mempertahankan dirinya dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara dharuri membutuhkan banyak hal yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak bisa mencapai kesempurnaanya kecuali dengan jalan hidup berasosiasi atau berkelompok, dimana orang-orang bekerja sama untuk saling melengkapi. Sehingga, akhirnya segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri dan mencapai kesempurnaan dapat didistribusikan.
Al-Madinah al-Fadhilah atau Kota Utama menurut al-Farabi seperti yang dikutip Yamani adalah kota yang melalui perkumpulan (asosiasi) yang ada didalamnya bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Untuk mencapai tujuan itu sebuah kota utama harus dipimpin oleh pemimpin yang benar benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan, ia mampu memahami dengan baik tugas yang harus dilakukannya. Ia mampu mengarahkan orang-orang untuk melakukan apa yang diperintahkannya. Mampu memanfaatkan orang-orang yang memilki kemampuan, mampu menetukan dan mengarahkan tindakan-tindakan ini kearah kebahagian. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memilki kecenderungan yang besar lagi unggul bila telah berhubungan dengan Akal aktif.
Dengan demikian sebuah kota utama hendaknya dipimpin oleh seorang Nabi atau imam yang merupakan pemberi hukum, yang menetukan tindakan komunitasnya berdasarkan wahyu dari Tuhan. Singkatnya, pemimpin kota utama adalah orang yang selain sempurna fisik, mental dan jiwanya, juga memilki keahlian yang sempurna dan kearifan teoritis dan praktis yaitu keahlian memerintah dan politik.
Fungsi pemimpin kota adalah mengelola kota sedemikian rupa sehingga semua bagian kota saling berhubungan dan teratur. Sehingga, membuat penduduknya mampu bekerja sama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan untuk memperoleh kebaikan.
Jika semua komunitas telah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dengan dipimpin seorang pemimpin yang handal, dengan demikian maka akan terwujud kota utama yang dikonsepkan oleh al-Farabi.
Al-Farabi adalah pembangun fisafat dalam arti yang sebenarnya, pemikirannya mencakup segala bidang dan menghasilkan filsafat yang teratur bagian-bagiannya.
Menurut Dr. Ibrahim Madkour seperti dijelaskan oleh Ahmad Hanafi, filsafat al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spirituil-idealis, hal ini karena menurut al-Farabi, dimana-mana ada ruh. Mengenai filsafat ketuhanan, al-Farabi mengatakan Tuhan adalah Ruh segala Ruh. Teori akal yang diajukannya adalah ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan mahluk ruhani murni. Pemimpin Kota Utamanya adalah seorang yang bisa menguasai badannya dan menjadi seorang yang suci dan berhubungan dengan akal aktifnya. Ruh juga yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam dibawah bulan dalam konsep emanasinya.
Meskipun dalam filsafatnya al-Farabi banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, sama halnya dengan al-Kindi, al-Farabi tetap memilki kepribadian sendiri, hingga hasil pikirannya merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri.
Sejalan dengan al-Kindi, al-Farabi mendefenisikan jiwa sebagaimana defenisi Aristoteles, yaitu “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memilki kehidupan yang energik.” Disamping itu, al-Farabi juga memberikan defenisi yang diambilnya dari Platonisme bahwa jiwa manusia adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri dan merupakan substansi manusia yang sesungguhnya. Manusia terdiri dari dua unsure, yaitu, pertama, substansi ruhani dari alam ilahi, kedua, badan ysng berasal dari alam penciptaan atau alam materi.
Al-Farabi dalam hal ini berusaha memadukan antara pendapat Aristoteles dan Plato bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk (form). Jiwa dalam kemandiriannya adalah substansi, dan merupakan form dalam sisi hubungannya dengan badan.
Jiwa menurut al-Farabi terdiri dari tiga macam yang masing-masing memiliki daya berbeda.
a. Jiwa Tumbuh-tumbuhan, jiwa ini memilki tiga daya, yaitu :
1.) Al-Quwwah al-Ghadziyah (daya nutrisi)
2.) Al-Quwwah al-Murabbiyah (daya pemeliharaan dan daya tumbuh)
3.) Al-Quwwah al-Muwallidah (daya generatif)
b. Jiwa Hewani yang memilki dua daya, yaitu :
1). Al-Quwwah al-Mudrikah (daya memahami) yang terbagi lagi menjadi dua daya, eksternal dan internal.
2). Al-Quwwah al-Muharrikah (daya penggerak) yang terbagi menjadi daya syahwat dan daya emosi.
c.Jiwa Rasional yang akan menghasilkan daya praktis dan teoritis.
4. Filsafatnya tentang kenabian.
Al-Farabi muncul memberikan penerangan yang jelas tentang persoalan kenabian ketika suasana dipenuhi perdebatan tentang permasalahan tersebut. bahkan penjelasan al-Farabi menjadi salah satu bagian terpenting dalam filsafat. Teori ini bertolak dari dasar-dasar psikologi dan metafisika, serta erat kaitannya dengan permasalahan akhlak dan politik.
Menurut al-Farabi manusia bisa berhubungan dengan akal fa’al, meskipun hanya terbatas pada orang-orang tertentu. Hubungan ini bisa melalui dua jalan, yaitu jalan pikiran dan imajinasi (pengkhayalan), dengan kata lain melalui perenungan dan inspirasi (ilham). Para filisofis mencapai kebenaran dengan jalan yang pertama, sedang para nabi melalui jalan kedua.
Seseorang yang mempunyai daya imajinasi yang kuat memungkinkan dia dapat berhubugan dengan Akal Fa’al, baik itu diwaktu sadar maupun diwaktu tidurnya. Dengan kekuatan imajinasi ini, dia dapat menerima pengetahuan dan kebenaran yang tampak dalam bentuk wahyu atau mimpi yang benar. inilah yang dialami oleh para Nabi dan inilah tingkatan imajinasi yang paling tinggi yang dapat dicapai seorang manusia.
Seperti dikutip oleh Manal Samir ar-Rafi’I, mengenai hal ini al-Farabi memaparkannya sebagai berikut :
“Jika kekuatan imajinasi seorang manusia telah sampai pada kesempurnaan, maka tidak ada halangan baginya dalam berhubungan dengan Akal Fa’al dalam keadaan terjaga, juga dalam menerima pengetahuan tentang peristiwa sekarang dan akan datang. Dengan adanya penerimaan itu orang tersebut dapat mengetahui perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut.”
5. Teori Al-Farabi tentang politik : al-Madinah al-Fadhilah.
Al-Farabi adalah seorang filosof yang banyak berbicara mengenai kemasyarakatan, karangan-karangannya yang masyhur dalam bidang ini antara lain as-Siyasah al-Madaniyah (Politik Kenegaraan) dan Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama).
Menurut al-Farabi, manusia adalah mahluk yang tidak bisa berdiri sendiri. Untuk mempertahankan dirinya dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara dharuri membutuhkan banyak hal yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak bisa mencapai kesempurnaanya kecuali dengan jalan hidup berasosiasi atau berkelompok, dimana orang-orang bekerja sama untuk saling melengkapi. Sehingga, akhirnya segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri dan mencapai kesempurnaan dapat didistribusikan.
Al-Madinah al-Fadhilah atau Kota Utama menurut al-Farabi seperti yang dikutip Yamani adalah kota yang melalui perkumpulan (asosiasi) yang ada didalamnya bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Untuk mencapai tujuan itu sebuah kota utama harus dipimpin oleh pemimpin yang benar benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan, ia mampu memahami dengan baik tugas yang harus dilakukannya. Ia mampu mengarahkan orang-orang untuk melakukan apa yang diperintahkannya. Mampu memanfaatkan orang-orang yang memilki kemampuan, mampu menetukan dan mengarahkan tindakan-tindakan ini kearah kebahagian. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memilki kecenderungan yang besar lagi unggul bila telah berhubungan dengan Akal aktif.
Dengan demikian sebuah kota utama hendaknya dipimpin oleh seorang Nabi atau imam yang merupakan pemberi hukum, yang menetukan tindakan komunitasnya berdasarkan wahyu dari Tuhan. Singkatnya, pemimpin kota utama adalah orang yang selain sempurna fisik, mental dan jiwanya, juga memilki keahlian yang sempurna dan kearifan teoritis dan praktis yaitu keahlian memerintah dan politik.
Fungsi pemimpin kota adalah mengelola kota sedemikian rupa sehingga semua bagian kota saling berhubungan dan teratur. Sehingga, membuat penduduknya mampu bekerja sama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan untuk memperoleh kebaikan.
Jika semua komunitas telah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dengan dipimpin seorang pemimpin yang handal, dengan demikian maka akan terwujud kota utama yang dikonsepkan oleh al-Farabi.
Al-Farabi adalah pembangun fisafat dalam arti yang sebenarnya, pemikirannya mencakup segala bidang dan menghasilkan filsafat yang teratur bagian-bagiannya.
Menurut Dr. Ibrahim Madkour seperti dijelaskan oleh Ahmad Hanafi, filsafat al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spirituil-idealis, hal ini karena menurut al-Farabi, dimana-mana ada ruh. Mengenai filsafat ketuhanan, al-Farabi mengatakan Tuhan adalah Ruh segala Ruh. Teori akal yang diajukannya adalah ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan mahluk ruhani murni. Pemimpin Kota Utamanya adalah seorang yang bisa menguasai badannya dan menjadi seorang yang suci dan berhubungan dengan akal aktifnya. Ruh juga yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam dibawah bulan dalam konsep emanasinya.
Meskipun dalam filsafatnya al-Farabi banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, sama halnya dengan al-Kindi, al-Farabi tetap memilki kepribadian sendiri, hingga hasil pikirannya merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri.
Filosofis Muslim : Al-Kindi dan Farabi 4
B. AL-FARABI.
1. Riwayat Hidup.
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr, Muhammad, Ibnu Muhammad, Ibnu Tarkhan, Ibnu Uzlag, Al-Farabi. Masyhur dengan sebutan Abu Ali. Dia berasal dari keturunan Turki, dan dilahirkan di kota Farab, Transoxania pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang berkebangsaan Iran bernama Muhammad Ibn Auzlagh yang menjabat sebagai panglima Parsi.
Al-Farabi menuntut ilmu di Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu Pengetahuan ketika itu, gurunya antara lain Abu Bisyr Matta ibn Yunus, salah seorang penerjemah yang membantu Hunain Ibn Ishaq di Bait al-Hikmah, dan Yuhanna bin Jilan seorang filosof di Harran, di Baghdad dia belajar falsafat, logika, metafisika, ilmu politik, music dan lain-lain. Selain itu, al-Farabi juga memiliki pengetahuan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Diantara bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan.
Ketika dia pindah ke Damsyik pada tahun 330 H (941 M), oleh khalifah dinasti Hamdan di Aleppo al-Farabi diberikan kedudukan yang baik, dia menetap dikota ini hingga wafat di usia 80 pada tahun 337 H (950 M).
Al-Farabi adalah seorang filosof tulen yang lebih banyak membahas tentang filsafat Aristoteles, jika Aristoteles digelari dengan sebutan “Guru pertama” (al-Muallim al-Awwal) karena dia merumuskan dan mengumpulkan kajian-kajian pertama dalam ilmu logika dan permasalahannya, maka al-Farabi digelar dengan sebutan “Guru kedua” (al-Mu’allim at-Tsani) karena dialah yang mengarang, mengumpulkan dan menyempurnakan karangan-karangan Aristoteles sehingga lebih jelas dan teratur.
Al-Farabi memilki peranan penting dalam dunia Islam, dia menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam lainnya yang datang sesudahnya. Disamping itu dia juga telah dapat menciptakan satu sistem filsafat yang lengkap. Dia lebih baik dari al-Kindi dalam memberi penjelasan, menerjemahkan dan menyusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani, bahkan al-Farabi mengisi kelemahan al-Kindi dalam ilmu logika.
Filsafat al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah. Dalam soal mantiq dan filsafat misalnya, Farabi mengikuti Aristoteles, dalam soal politik dan etika dia memilih pendapat Plato, sedang dalam persoalan metafisika Farabi cenderung kepada Plotinus.
Al-Farabi meninggalkan banyak karangan, akan tetapi karangannya tidak dikenal luas seperti karangan Ibnu Sina. Kebanyakan karangan al-Farabi telah hilang dan yang masih tersisa kurang lebih hanya berjumlah 30 karangan saja yang ditulis dalam bahasa Arab.
Sebagian besar karangan al-Farabi berisi ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang logika, fisika, etika dan metafisika. Selain itu al-Farabi juga menulis buku-buku mengenai music, matematika, kimia dan sebagainya.
Diantara karangan-karangannya yang terkenal adalah “Aghradul ma Ba’da at-Thabi’ah” ( Intisari buku Metafisika),”al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain” yang menyelaraskan pendapat Plato dan Aristoteles, “Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah” (Pendapat-Pendapat para Warga Kota Utama), dan lain sebagainya.
2. Pendapat Al-Farabi tentang teori Emanasi (al-Faydh)
Al-Kindi menyatakan bahwa Tuhan adalah sebab pertama dari segala sesuatu, akan tetapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana alam ini diciptakan. Al-Farabi sendiri dalam menerangkan proses penciptaan alam mempergunakan teori emanasi atau pancaran ilahi (al-faidh al-ilahi).
Teori emanasi diartikan sebagai teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajibul wujud (Zat yang wajib adanya : Khalik). Teori ini disebut juga dengan “teori urutan wujud”.
Alam semesta yang tercipta sebagai hasil dari proses emanasi ini tersusun dari beberapa tingkatan. Mulai dari Allah yang tertinggi, yang tidak miliki batas apapun, hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Teori ini sebenarnya telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme. Akan tetapi, oleh al-Farabi teori ini lebih diuraikan lagi secara ilmiah.
Menurut teori ini, wujud Allah sebagai suatu wujud Intelegensi (Akal) mutlak yang berpikir, yaitu berpikir tentang dirinya sebelum adanya wujud-wujud selain-Nya yang secara otomatis memancarkan akal pertama (Al-‘aql Al-awwal) sebagai hasil “proses” berpikir-Nya. Selanjutnya sang Akal-sebagai akal-berfikir tentang Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah Akal kedua. Dan begitulah berturut-turut hingga terciptalah Akal ketiga, keempat dan seterusnya hingga akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan wujud di alam immaterial.
Dalam proses emanasi ini , disamping terciptanya akal-akal, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa dan planet-planet. Selain berpikir tentang Allah sebagai sumber penciptaannya, Akal kedua juga berpikir tentang dirinya sendiri hingga terciptalah jiwa dan langit pertama atau planet terjauh (as-Sama’ al-‘Ula atau al-Falak al-‘Ula).
Dari Akal kedua, tercipta Akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-Kawakib ats-tsabitah) beserta jiwanya. Dari Akal ketiga timbul Akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal) juga beserta jiwanya. Dari Akal keempat keluar Akal kelima dan planet Jupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari akal kelima tercipta akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Akal keenam menghasilkan akal ketujuh dan matahari (asy-Syams) beserta jiwanya. Akal ketujuh menghasilkan akal kedelapan dan planet Venus (Az-Zuhrah) juga beserta jiwanya.
Akal kedelapan menciptakan akal kesembilan dan Planet Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya. Dari akal tersebut keluar akal kesepuluh dan bulan (al-Qamar). Dari akal kesepuluh inilah tercipta manusia dan bumi (al-Ardh) yang merupakan campuran antara yang immaterial (al-‘Aql atau ruh) dengan yang material.
Demikianlah teori emanasi yang dijelaskan oleh al-Farabi. Kita bisa melihat bahwa pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu Zat-Nya saja, maka pada akal-akal sepuluh tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan (Zat yang wajibul wujud) dan diri akal akal itu sendiri (mumkinul wujud).
1. Riwayat Hidup.
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr, Muhammad, Ibnu Muhammad, Ibnu Tarkhan, Ibnu Uzlag, Al-Farabi. Masyhur dengan sebutan Abu Ali. Dia berasal dari keturunan Turki, dan dilahirkan di kota Farab, Transoxania pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang berkebangsaan Iran bernama Muhammad Ibn Auzlagh yang menjabat sebagai panglima Parsi.
Al-Farabi menuntut ilmu di Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu Pengetahuan ketika itu, gurunya antara lain Abu Bisyr Matta ibn Yunus, salah seorang penerjemah yang membantu Hunain Ibn Ishaq di Bait al-Hikmah, dan Yuhanna bin Jilan seorang filosof di Harran, di Baghdad dia belajar falsafat, logika, metafisika, ilmu politik, music dan lain-lain. Selain itu, al-Farabi juga memiliki pengetahuan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Diantara bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan.
Ketika dia pindah ke Damsyik pada tahun 330 H (941 M), oleh khalifah dinasti Hamdan di Aleppo al-Farabi diberikan kedudukan yang baik, dia menetap dikota ini hingga wafat di usia 80 pada tahun 337 H (950 M).
Al-Farabi adalah seorang filosof tulen yang lebih banyak membahas tentang filsafat Aristoteles, jika Aristoteles digelari dengan sebutan “Guru pertama” (al-Muallim al-Awwal) karena dia merumuskan dan mengumpulkan kajian-kajian pertama dalam ilmu logika dan permasalahannya, maka al-Farabi digelar dengan sebutan “Guru kedua” (al-Mu’allim at-Tsani) karena dialah yang mengarang, mengumpulkan dan menyempurnakan karangan-karangan Aristoteles sehingga lebih jelas dan teratur.
Al-Farabi memilki peranan penting dalam dunia Islam, dia menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam lainnya yang datang sesudahnya. Disamping itu dia juga telah dapat menciptakan satu sistem filsafat yang lengkap. Dia lebih baik dari al-Kindi dalam memberi penjelasan, menerjemahkan dan menyusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani, bahkan al-Farabi mengisi kelemahan al-Kindi dalam ilmu logika.
Filsafat al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah. Dalam soal mantiq dan filsafat misalnya, Farabi mengikuti Aristoteles, dalam soal politik dan etika dia memilih pendapat Plato, sedang dalam persoalan metafisika Farabi cenderung kepada Plotinus.
Al-Farabi meninggalkan banyak karangan, akan tetapi karangannya tidak dikenal luas seperti karangan Ibnu Sina. Kebanyakan karangan al-Farabi telah hilang dan yang masih tersisa kurang lebih hanya berjumlah 30 karangan saja yang ditulis dalam bahasa Arab.
Sebagian besar karangan al-Farabi berisi ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang logika, fisika, etika dan metafisika. Selain itu al-Farabi juga menulis buku-buku mengenai music, matematika, kimia dan sebagainya.
Diantara karangan-karangannya yang terkenal adalah “Aghradul ma Ba’da at-Thabi’ah” ( Intisari buku Metafisika),”al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain” yang menyelaraskan pendapat Plato dan Aristoteles, “Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah” (Pendapat-Pendapat para Warga Kota Utama), dan lain sebagainya.
2. Pendapat Al-Farabi tentang teori Emanasi (al-Faydh)
Al-Kindi menyatakan bahwa Tuhan adalah sebab pertama dari segala sesuatu, akan tetapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana alam ini diciptakan. Al-Farabi sendiri dalam menerangkan proses penciptaan alam mempergunakan teori emanasi atau pancaran ilahi (al-faidh al-ilahi).
Teori emanasi diartikan sebagai teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajibul wujud (Zat yang wajib adanya : Khalik). Teori ini disebut juga dengan “teori urutan wujud”.
Alam semesta yang tercipta sebagai hasil dari proses emanasi ini tersusun dari beberapa tingkatan. Mulai dari Allah yang tertinggi, yang tidak miliki batas apapun, hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Teori ini sebenarnya telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme. Akan tetapi, oleh al-Farabi teori ini lebih diuraikan lagi secara ilmiah.
Menurut teori ini, wujud Allah sebagai suatu wujud Intelegensi (Akal) mutlak yang berpikir, yaitu berpikir tentang dirinya sebelum adanya wujud-wujud selain-Nya yang secara otomatis memancarkan akal pertama (Al-‘aql Al-awwal) sebagai hasil “proses” berpikir-Nya. Selanjutnya sang Akal-sebagai akal-berfikir tentang Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah Akal kedua. Dan begitulah berturut-turut hingga terciptalah Akal ketiga, keempat dan seterusnya hingga akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan wujud di alam immaterial.
Dalam proses emanasi ini , disamping terciptanya akal-akal, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa dan planet-planet. Selain berpikir tentang Allah sebagai sumber penciptaannya, Akal kedua juga berpikir tentang dirinya sendiri hingga terciptalah jiwa dan langit pertama atau planet terjauh (as-Sama’ al-‘Ula atau al-Falak al-‘Ula).
Dari Akal kedua, tercipta Akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-Kawakib ats-tsabitah) beserta jiwanya. Dari Akal ketiga timbul Akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal) juga beserta jiwanya. Dari Akal keempat keluar Akal kelima dan planet Jupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari akal kelima tercipta akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Akal keenam menghasilkan akal ketujuh dan matahari (asy-Syams) beserta jiwanya. Akal ketujuh menghasilkan akal kedelapan dan planet Venus (Az-Zuhrah) juga beserta jiwanya.
Akal kedelapan menciptakan akal kesembilan dan Planet Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya. Dari akal tersebut keluar akal kesepuluh dan bulan (al-Qamar). Dari akal kesepuluh inilah tercipta manusia dan bumi (al-Ardh) yang merupakan campuran antara yang immaterial (al-‘Aql atau ruh) dengan yang material.
Demikianlah teori emanasi yang dijelaskan oleh al-Farabi. Kita bisa melihat bahwa pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu Zat-Nya saja, maka pada akal-akal sepuluh tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan (Zat yang wajibul wujud) dan diri akal akal itu sendiri (mumkinul wujud).
Filosofis Muslim : Al-Kindi dan Farabi 3
3. Filsafat al-Kindi tentang ketuhanan.
Dalam masalah ketuhanan, al-Kindi menitikberatkan kepada masalah hakikat tuhan, bukti-bukti keberadaan tuhan dan sifat tuhan.
Menurut al-Kindi tuhan adalah wujud yang hak, tuhan adalah qadim, artinya terdahulu, adanya tidak diawali dengan ketiadaan, tuhan juga mustahil tidak ada, Dia selalu ada, wujudnya sempurna, tidak ada yang mendahului keberadaannya dan tidak ada yang mengakhirinya.
Untuk membuktikan adanya tuhan, al-Kindi memberikan tiga alasan. Sebagai berikut :
a. Tidak ada benda yang ada dengan sendirinya. Tidak mungkin sesuatu menjadi sebab bagi keberadaan dirinya sendiri. Semuanya pasti ada yang menciptakan atau mengadakannya, pencipta itulah Tuhan,
b. Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Tergabungnya keragaman dan keseragaman bersama-sama, bukanlah satu kebetulan akan tetapi memilki sebab. Sebab pertama itulah Tuhan.
c. Kerapian dan penataan alam,tak mungkin terjadi tanpa ada yang mengaturnya. Pengatur itulah Tuhan.
Dengan berlandaskan tiga alasan diatas, al-Kindi kemudian membuktikan adanya tuhan melalui tiga cara, yaitu :
a. Hudutsil alam (barunya alam), keberadaan alam memiliki permulaan juga ada yang mendahuluinya. Sesuatu yang mendahului alam pastinya adalah hal yang tidak ada permulaannya dan tidak ada yang menciptakannya. Karena alam ini terbatas dan ada yang menciptakannya. Maka yang menciptakannya itulah Tuhan.
b. Kastrah fil Maujudat (keanekaragaman), keanekaragaman ini pastilah memilki sebab. Dan sebabnya bukanlah alam yang memilki permulaan dan diciptakan, tetapi sebab itu haruslah yang lebih mulia dari alam, lebih tinggi dan tidak didahuli sebab, dia merupakan penyebab segala sesuatu, maka itulah Tuhan.
c. Ibda’ fil Alam (keteraturan alam), alam tidak mungkin teratur dengan sendirinya, akan tetapi ada zat yang mengaturnya, zat yang maha mulia dan itulah Tuhan.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, al-Kindi sepaham dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan adalah Esa, maha Tahu, maha Berkuasa, maha Hidup dan lain sebagainya. Untuk membuktikan keesaan Tuhan al-Kindi menjelaskan bahwa Tuhan bukanlah benda, tidak memilIki bentuk, bukanlah merupakan kuantitas dan kualitas, berdiri sendiri, dan bukan gerak.
Keesaan Tuhan adalah Keesaan yang hakiki, dia tunggal dan azali, tidak ada yang mendahului dan tidak memilki akhir, zat yang tidak bergantung pada yang lain dan dialah sebab pertama dari segala sesuatu (first cause).
4. Falsafat al-Kindi tentang Jiwa (an-Nafs)
Dalam mendefenisikan Jiwa, al-Kindi memadukan pendapat Plato dan Plotinus. Menurutnya Jiwa adalah elemen yang memiliki kehormatan dan kesempurnaan, substansinya berasal dari substansi sang pencipta seperti sinar matahari yang berasal dari matahari.
Jiwa menurut al-Kindi berasal dari cahaya (nur) sang pencipta yang tetap kekal setelah kematian. Jiwa akan pindah kealam kebenaran yang didalamnya terdapat nur sang pencipta. Ditempat tersebut dia sangat dekat dengan sang pencipta sehingga mampu mengetahui segala hal yang nyata dan tidak, yang menjadi rahasia dan bukan rahasia. Mengenai hal ini, al-Kindi mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an surat Qaf /50 : 22 :
“Sesungguhnya kamu dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Al-Kindi juga mendefenisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan mengalami kehidupan. Pengertian ini diadopsi dari pendapat Aristoteles mengenai jiwa.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya al-Kindi lebih condong pada aliran jiwa dari Plato dibanding Aristoteles. Hal ini mungkin disebabkan karena kedekatan aliran Platonisme dengan ajaran Islam yang berpendapat bahwa ruh manusia adalah hembusan dari ruh Allah swt. Dan menganjurkan manusia untuk menahan hawa nafsunya agar dapat menikmati kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut al-Kindi jika manusia suci dari noda, maka disaat yang sama jiwanya menjadi bening, baik dan mampu mnegtahui semua misteri yang tersembunyi. Oleh karena itu dalam pandangan al-Kindi untuk mengetahui segala sesuatu tidak diperoleh melalui alat indera, tetapi dengan penyucian jiwa dari berbagai noda dan syahwat duniawi hingga dapat menerima emanasi pengetahuan dari sang pencipta.
Jiwa versi al-Kindi ini memilki tiga daya, yaitu : daya hissiah (daya indra), daya imajinasi dan daya rasional.
Al-Kindi adalah filosof Islam yang pertama mendalami persoalan filsafat. Meski diakui bahwa al-Kindi tidak memiliki sistem filsafat yang lengkap, ini tidak membuat jasanya berkurang sebagai orang yang pertama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak keislaman.
Yang mengagumkan dari sosok al-Kindi adalah dalam meneliti persoalan-persoalan filsafat, al-Kindi tidak sekedar mengutip pendapat Aristoteles dan Plato atau filosof-filosof Yunani lainnya. Meski dia meneliti persoalan filsafat yang sudah pernah dibicarakan sebelumnya, akan tetapi dia tetap mempertahankan kepribadian dan pendapatnya sendiri. Memilah-milah hal yang sesuai dengan pikiran dan kepercayaan agamanya.
Sebagai contoh dalam persoalan jiwa, al-Kindi lebih cenderung pada pendapat Plato dibanding Aristoteles karena pikiran Plato dalam hal ini lebih bersifat idealis dan dekat dengan ajaran Islam. contoh yang lain, Dia menolak pendapat Aristoteles mengenai qadimnya alam karena menurutnya sesuatu yang qadim hanyalah Allah swt. Dialah yang merupakan sebab bagi segala sesuatu.
Dalam masalah ketuhanan, al-Kindi menitikberatkan kepada masalah hakikat tuhan, bukti-bukti keberadaan tuhan dan sifat tuhan.
Menurut al-Kindi tuhan adalah wujud yang hak, tuhan adalah qadim, artinya terdahulu, adanya tidak diawali dengan ketiadaan, tuhan juga mustahil tidak ada, Dia selalu ada, wujudnya sempurna, tidak ada yang mendahului keberadaannya dan tidak ada yang mengakhirinya.
Untuk membuktikan adanya tuhan, al-Kindi memberikan tiga alasan. Sebagai berikut :
a. Tidak ada benda yang ada dengan sendirinya. Tidak mungkin sesuatu menjadi sebab bagi keberadaan dirinya sendiri. Semuanya pasti ada yang menciptakan atau mengadakannya, pencipta itulah Tuhan,
b. Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Tergabungnya keragaman dan keseragaman bersama-sama, bukanlah satu kebetulan akan tetapi memilki sebab. Sebab pertama itulah Tuhan.
c. Kerapian dan penataan alam,tak mungkin terjadi tanpa ada yang mengaturnya. Pengatur itulah Tuhan.
Dengan berlandaskan tiga alasan diatas, al-Kindi kemudian membuktikan adanya tuhan melalui tiga cara, yaitu :
a. Hudutsil alam (barunya alam), keberadaan alam memiliki permulaan juga ada yang mendahuluinya. Sesuatu yang mendahului alam pastinya adalah hal yang tidak ada permulaannya dan tidak ada yang menciptakannya. Karena alam ini terbatas dan ada yang menciptakannya. Maka yang menciptakannya itulah Tuhan.
b. Kastrah fil Maujudat (keanekaragaman), keanekaragaman ini pastilah memilki sebab. Dan sebabnya bukanlah alam yang memilki permulaan dan diciptakan, tetapi sebab itu haruslah yang lebih mulia dari alam, lebih tinggi dan tidak didahuli sebab, dia merupakan penyebab segala sesuatu, maka itulah Tuhan.
c. Ibda’ fil Alam (keteraturan alam), alam tidak mungkin teratur dengan sendirinya, akan tetapi ada zat yang mengaturnya, zat yang maha mulia dan itulah Tuhan.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, al-Kindi sepaham dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan adalah Esa, maha Tahu, maha Berkuasa, maha Hidup dan lain sebagainya. Untuk membuktikan keesaan Tuhan al-Kindi menjelaskan bahwa Tuhan bukanlah benda, tidak memilIki bentuk, bukanlah merupakan kuantitas dan kualitas, berdiri sendiri, dan bukan gerak.
Keesaan Tuhan adalah Keesaan yang hakiki, dia tunggal dan azali, tidak ada yang mendahului dan tidak memilki akhir, zat yang tidak bergantung pada yang lain dan dialah sebab pertama dari segala sesuatu (first cause).
4. Falsafat al-Kindi tentang Jiwa (an-Nafs)
Dalam mendefenisikan Jiwa, al-Kindi memadukan pendapat Plato dan Plotinus. Menurutnya Jiwa adalah elemen yang memiliki kehormatan dan kesempurnaan, substansinya berasal dari substansi sang pencipta seperti sinar matahari yang berasal dari matahari.
Jiwa menurut al-Kindi berasal dari cahaya (nur) sang pencipta yang tetap kekal setelah kematian. Jiwa akan pindah kealam kebenaran yang didalamnya terdapat nur sang pencipta. Ditempat tersebut dia sangat dekat dengan sang pencipta sehingga mampu mengetahui segala hal yang nyata dan tidak, yang menjadi rahasia dan bukan rahasia. Mengenai hal ini, al-Kindi mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an surat Qaf /50 : 22 :
“Sesungguhnya kamu dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Al-Kindi juga mendefenisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan mengalami kehidupan. Pengertian ini diadopsi dari pendapat Aristoteles mengenai jiwa.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya al-Kindi lebih condong pada aliran jiwa dari Plato dibanding Aristoteles. Hal ini mungkin disebabkan karena kedekatan aliran Platonisme dengan ajaran Islam yang berpendapat bahwa ruh manusia adalah hembusan dari ruh Allah swt. Dan menganjurkan manusia untuk menahan hawa nafsunya agar dapat menikmati kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut al-Kindi jika manusia suci dari noda, maka disaat yang sama jiwanya menjadi bening, baik dan mampu mnegtahui semua misteri yang tersembunyi. Oleh karena itu dalam pandangan al-Kindi untuk mengetahui segala sesuatu tidak diperoleh melalui alat indera, tetapi dengan penyucian jiwa dari berbagai noda dan syahwat duniawi hingga dapat menerima emanasi pengetahuan dari sang pencipta.
Jiwa versi al-Kindi ini memilki tiga daya, yaitu : daya hissiah (daya indra), daya imajinasi dan daya rasional.
Al-Kindi adalah filosof Islam yang pertama mendalami persoalan filsafat. Meski diakui bahwa al-Kindi tidak memiliki sistem filsafat yang lengkap, ini tidak membuat jasanya berkurang sebagai orang yang pertama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak keislaman.
Yang mengagumkan dari sosok al-Kindi adalah dalam meneliti persoalan-persoalan filsafat, al-Kindi tidak sekedar mengutip pendapat Aristoteles dan Plato atau filosof-filosof Yunani lainnya. Meski dia meneliti persoalan filsafat yang sudah pernah dibicarakan sebelumnya, akan tetapi dia tetap mempertahankan kepribadian dan pendapatnya sendiri. Memilah-milah hal yang sesuai dengan pikiran dan kepercayaan agamanya.
Sebagai contoh dalam persoalan jiwa, al-Kindi lebih cenderung pada pendapat Plato dibanding Aristoteles karena pikiran Plato dalam hal ini lebih bersifat idealis dan dekat dengan ajaran Islam. contoh yang lain, Dia menolak pendapat Aristoteles mengenai qadimnya alam karena menurutnya sesuatu yang qadim hanyalah Allah swt. Dialah yang merupakan sebab bagi segala sesuatu.
Filosofis Muslim : Al-Kindi dan Farabi 2
A. AL-KINDI.
1. Riwayat hidup.
Nama lengkap al-Kindi yaitu Abu Yusuf, Ya’kub Ibn Ishaq, Ibnu Imran, Ibn Al-Asha’ath, Ibnu Kays al-Kindi. Dia berasal dari keturunan suku Kays, nama al-Kindi sendiri berasal dari nama sebuah suku yaitu Banu Kindah di daerah Selatan Jazirah Arab. Gelarnya Abu Yusuf, karena dia memiliki anak laki-laki bernama Yusuf. Nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qathan, yang merupakan nenek pertama suku Arabia Selatan .
Al-Kindi dilahirkan pada tahun 185 H/801 M di Kufah. Ayahnya Ishaq ash- shabbah, adalah gubernur Kufah pada dua periode berturut turut, yaitu pada periode khalifah al-Mahdi dan Harun al-Rasyid. Oleh karena itu, al-Kindi termasuk keturunan bangsawan pada masa itu. Dia merupakan satu-satunya filosof Islam yang berasal dari keturunan Arab , dan dia jugalah orang pertama yang membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak keislaman, karena itulah al-kindi digelar sebagai filosof Arab .
Pendidikan Al-Kindi diawali dengan belajar membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. Disamping itu, dia juga banyak mempelajari kebudayaan yang diperlukan pada masanya seperti agama dan sastra. Al-kindi banyak menerjemahkan buku-buku yunani yang berbahasa Syria kuno kedalam bahasa Arab. Maka dengan cepat dia termasuk salah satu dari empat orang penterjemah yang terkenal dimasa itu. Bahkan Ibnu Usaiba’ memandangnya sebagai penterjemah terbaik dalam ilmu kedokteran dan pengetahuan-pengetahuan Yunani kedalam bahasa Arab .
Kecerdasan al-Kindi bukan hanya dalam satu bidang saja, akan tetapi dia menguasai berbagai macam bidang seperti filsafat, kedokteran, geometri, logika. Bahkan dia juga ahli dalam bidang music dan astronomi. Mengenai hal ini, Ibnu Nadim mengungkapkan bahwa Al-Kindi merupakan salah satu diantara pembesar-pembesar dalam ilmu filsafat alam (natural philosophy).
Jumlah karanganya sebenarnya sukar ditentukan. karena dua sebab : pertama, karena para penulis biografi berbeda pendapat mengenai jumlah karangannya. Ibnu Nadim mengatakan 283 karangan dan kebanyakannya berbentuk essay (karangan pendek) , sedang Sha’id al-Andalusi menyebutkan ada 50 buah. Sebab kedua yaitu diantara karangan-karangannya yang sampai kepada kita ada yang bercampur dengan karangan lain. Dalam metafisika dan kosmologi dia mengadopsi banyak pemikiran Aristoteles, dalam psikologi cenderung kepada pendapat plato, sedang dalam hal etika al-kindi banyak mengambil pendapat Socrates dan plato.
Pada masanya, al-Kindi memiliki hubungan dengan kaum Mu’tazilah, hal ini terlihat dari hubungan baiknya dengan pihak kekhalifaan. Dia bekerja sebagai tabib dan peramal bagi khalifah pada masa Ma’mun, Mu’tashim dan Watsiq yang mendukung paham Mu’tazilah pada masa itu.
Saat kekhalifaan kembali ke mazhab ahlu sunnah dan dipimpin oleh khalifah al-Muatawakkil al-Kindi kehilangan posisisnya. Selanjutnya al-kindi menjauhkan diri dari orangbanyak dan menghabiskan umurnya di Bagdhad . Al-Kindi kemudian meningal pada tahun 873 Masehi.
2. Pandangan Al-Kindi tentang keterkaitan filsafat dan agama.
Pada masa Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, pemikiran Yunani mulai masuk dan berkembang ke dunia Islam lewat karya-karya pemikir Yunani yang diterjemahkan. Pemikiran ini membawa pengaruh dan dampak yang sangat besar bagi bangsa Arab saat itu. Islam, Nasrani dan Yahudi yang berpondasi pada wahyu dan iman sangat bertentangan dengan apa yang menjadi dasar tolak pemikiran Yunani yang menempatkan akal pada tempat tertinggi sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran (hakikat).
Kalangan ulama Islam sangat menentang filsafat Yunani, begitu juga halnya dengan ulama Yahudi dan Nasrani. Kedua kubu mengharuskan keberadaan yang satu tanpa yang lain. Golongan agamawis menentang keharusan agama untuk mengikuti dan berjalan dibawah kaedah-kaedah filsafat, yang berarti meniadakan filsafat.
Begitu juga sebaliknya, kaum filosofis menentang kepatuhan Filsafat terhadap prinsip-prinsip agama, yang berarti meniadakan agama. Pertentangan ini berlanjut terus-menerus hingga al-kindi datang dan menawarkan pendapatnya tentang keterkaitan filsafat dan agama. Bahwa keduanya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya.
Dalam hal ini Al-Kindi mengemukakan beberapa alasan, pertama, al-Kindi berpendapat bahwa falsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia dan tertinggi martabatnya yang tidak bisa ditinggalkan oleh orang-orang yang berfikir, begitu juga dengan agama, ia merupakan ilmu mengenai kebenaran dan pencarian hakikat, oleh karena itu keduanya saling berhubungan dan menduduki fungsi yang sama.
Didalam ilmu falsafat ada pokok-pokok ajaran agama tentang keesaaan (monotheisme) dan etika, dan dalam beragama juga diperlukan ilmu filsafat hingga dapat mendukung ajaran-ajaran agama.Tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran kecuali kebenaran itu sendiri.
Kedua, antara wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengenal kebenaran, meskipun cara yang ditempuh oleh keduanya berbeda beda.
Ketiga, usaha filsafat atau usaha dalam mencari kebenaran juga diperlukan dalam agama untuk mendukung agama tersebut. Sebagai contoh, usaha dalam memberikan alasan dan bukti kebenaran agama, maka dalam usaha itu menggunakan ilmu filsafat, oleh karena itu keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
1. Riwayat hidup.
Nama lengkap al-Kindi yaitu Abu Yusuf, Ya’kub Ibn Ishaq, Ibnu Imran, Ibn Al-Asha’ath, Ibnu Kays al-Kindi. Dia berasal dari keturunan suku Kays, nama al-Kindi sendiri berasal dari nama sebuah suku yaitu Banu Kindah di daerah Selatan Jazirah Arab. Gelarnya Abu Yusuf, karena dia memiliki anak laki-laki bernama Yusuf. Nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qathan, yang merupakan nenek pertama suku Arabia Selatan .
Al-Kindi dilahirkan pada tahun 185 H/801 M di Kufah. Ayahnya Ishaq ash- shabbah, adalah gubernur Kufah pada dua periode berturut turut, yaitu pada periode khalifah al-Mahdi dan Harun al-Rasyid. Oleh karena itu, al-Kindi termasuk keturunan bangsawan pada masa itu. Dia merupakan satu-satunya filosof Islam yang berasal dari keturunan Arab , dan dia jugalah orang pertama yang membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak keislaman, karena itulah al-kindi digelar sebagai filosof Arab .
Pendidikan Al-Kindi diawali dengan belajar membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. Disamping itu, dia juga banyak mempelajari kebudayaan yang diperlukan pada masanya seperti agama dan sastra. Al-kindi banyak menerjemahkan buku-buku yunani yang berbahasa Syria kuno kedalam bahasa Arab. Maka dengan cepat dia termasuk salah satu dari empat orang penterjemah yang terkenal dimasa itu. Bahkan Ibnu Usaiba’ memandangnya sebagai penterjemah terbaik dalam ilmu kedokteran dan pengetahuan-pengetahuan Yunani kedalam bahasa Arab .
Kecerdasan al-Kindi bukan hanya dalam satu bidang saja, akan tetapi dia menguasai berbagai macam bidang seperti filsafat, kedokteran, geometri, logika. Bahkan dia juga ahli dalam bidang music dan astronomi. Mengenai hal ini, Ibnu Nadim mengungkapkan bahwa Al-Kindi merupakan salah satu diantara pembesar-pembesar dalam ilmu filsafat alam (natural philosophy).
Jumlah karanganya sebenarnya sukar ditentukan. karena dua sebab : pertama, karena para penulis biografi berbeda pendapat mengenai jumlah karangannya. Ibnu Nadim mengatakan 283 karangan dan kebanyakannya berbentuk essay (karangan pendek) , sedang Sha’id al-Andalusi menyebutkan ada 50 buah. Sebab kedua yaitu diantara karangan-karangannya yang sampai kepada kita ada yang bercampur dengan karangan lain. Dalam metafisika dan kosmologi dia mengadopsi banyak pemikiran Aristoteles, dalam psikologi cenderung kepada pendapat plato, sedang dalam hal etika al-kindi banyak mengambil pendapat Socrates dan plato.
Pada masanya, al-Kindi memiliki hubungan dengan kaum Mu’tazilah, hal ini terlihat dari hubungan baiknya dengan pihak kekhalifaan. Dia bekerja sebagai tabib dan peramal bagi khalifah pada masa Ma’mun, Mu’tashim dan Watsiq yang mendukung paham Mu’tazilah pada masa itu.
Saat kekhalifaan kembali ke mazhab ahlu sunnah dan dipimpin oleh khalifah al-Muatawakkil al-Kindi kehilangan posisisnya. Selanjutnya al-kindi menjauhkan diri dari orangbanyak dan menghabiskan umurnya di Bagdhad . Al-Kindi kemudian meningal pada tahun 873 Masehi.
2. Pandangan Al-Kindi tentang keterkaitan filsafat dan agama.
Pada masa Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, pemikiran Yunani mulai masuk dan berkembang ke dunia Islam lewat karya-karya pemikir Yunani yang diterjemahkan. Pemikiran ini membawa pengaruh dan dampak yang sangat besar bagi bangsa Arab saat itu. Islam, Nasrani dan Yahudi yang berpondasi pada wahyu dan iman sangat bertentangan dengan apa yang menjadi dasar tolak pemikiran Yunani yang menempatkan akal pada tempat tertinggi sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran (hakikat).
Kalangan ulama Islam sangat menentang filsafat Yunani, begitu juga halnya dengan ulama Yahudi dan Nasrani. Kedua kubu mengharuskan keberadaan yang satu tanpa yang lain. Golongan agamawis menentang keharusan agama untuk mengikuti dan berjalan dibawah kaedah-kaedah filsafat, yang berarti meniadakan filsafat.
Begitu juga sebaliknya, kaum filosofis menentang kepatuhan Filsafat terhadap prinsip-prinsip agama, yang berarti meniadakan agama. Pertentangan ini berlanjut terus-menerus hingga al-kindi datang dan menawarkan pendapatnya tentang keterkaitan filsafat dan agama. Bahwa keduanya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya.
Dalam hal ini Al-Kindi mengemukakan beberapa alasan, pertama, al-Kindi berpendapat bahwa falsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia dan tertinggi martabatnya yang tidak bisa ditinggalkan oleh orang-orang yang berfikir, begitu juga dengan agama, ia merupakan ilmu mengenai kebenaran dan pencarian hakikat, oleh karena itu keduanya saling berhubungan dan menduduki fungsi yang sama.
Didalam ilmu falsafat ada pokok-pokok ajaran agama tentang keesaaan (monotheisme) dan etika, dan dalam beragama juga diperlukan ilmu filsafat hingga dapat mendukung ajaran-ajaran agama.Tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran kecuali kebenaran itu sendiri.
Kedua, antara wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengenal kebenaran, meskipun cara yang ditempuh oleh keduanya berbeda beda.
Ketiga, usaha filsafat atau usaha dalam mencari kebenaran juga diperlukan dalam agama untuk mendukung agama tersebut. Sebagai contoh, usaha dalam memberikan alasan dan bukti kebenaran agama, maka dalam usaha itu menggunakan ilmu filsafat, oleh karena itu keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Filosofis Muslim : Al-Kindi dan Farabi
A. Latar Belakang.
Al-Qur’anul karim merupakan sumber dasar pertama ajaran dan syariat Islam yang mengatur segala hal dalam kehidupan manusia, akan tetapi, dalam memaparkan kandungannya Al-Qur’an hanya memberikan kita kaedah kaedah mayor untuk selanjutnya kita sebagai ‘abidullah memiliki tugas untuk menjabarkannya dan menerapkannya hingga sesuai dengan segala perkembangan zaman.
Dalam Al-Qur’an terdapat anjuran-anjuran untuk senantiasa menggunakan akal dan mentadabburi ciptaannya. Proses berfikir dan tadabbur inilah yang sebenarnya inti dari filsafat. Karena pada akhirnya, proses ini akan mengantarkan kita pada hakikat kebenaran yang sesungguhnya.
Kata filsafat sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab “الفلسفة”,yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu philia ( persahabatan, rasa suka, cinta dsb), dan Sophia (kebijaksanaan). Secara harfiah dapat diartikan orang yang mencintai kebijaksanaan. Hal ini identik dengan berfikir.
Selain itu filsafat juga dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu baik yang bersifat teoritis (etika, setetika dan metafisika) maupun yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dalam amal baik.
Ketika dihubungkan dengan Islam, maka filsafat dapat didefenisikan sebagai suatu ilmu yang dalam membahas hakikat segala sesuatu diwarnai dengan corak keislaman , baik itu dari segi pola pikirnya, masalahnya maupun tujuannya.
Ada anggapan bahwa Islam pada dasarnya tidak memilki filsafat yang independen, karena yang terjadi hanyalah pemikiran-pemikiran atau filsafat Yunani yang kemudian dikembangkan oleh Islam. akan tetapi hal ini dapat ditentang dengan beberapa alasan.
Pertama, ketika filsafat Yunani diperkenalkan pada dunia Islam, Islam telah mengembangkan suatu system teologi yang menekankan kepada keesaan Allah (tauhid) dan syariah. Hal ini yang kemudian diperpegangi oleh para filosof muslim sehingga ketika filsafat Yunani masuk kedunia Islam, para filosof muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan Islam tersebut, dan akhirnya tanpa disadari telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof muslim menjadi pemerhati filsafat yang kritis, ketika ada yang dirasakan kurang, tidak jarang para folosof muslim mengkritiknya secara mendasar.
Ketiga, adanya perkembangan filsafat yang unik akibat perpaduan antara Islam sebagai agama dengan filsafat Yunani, sebagai hasilnya para filosof muslim mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh filosof Yunani, sebagai contoh, filsafat kenabian yang dikembangkan oleh al-Farabi.
Dari beberapa alasan diatas, maka kita dapat melihat bahwa Islam memiliki filsafat yang independen, yang mana objek kajiannya mencakup segala hal yang bersifat teoritis dan praktis. Adapun beberapa filosof muslim yang masyhur diantaranya adalah Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Selanjutnya mengenai filsafat al-Kindi dan al-Farabi akan dipaparkan lebih jauh didalam pembahasan.
Al-Qur’anul karim merupakan sumber dasar pertama ajaran dan syariat Islam yang mengatur segala hal dalam kehidupan manusia, akan tetapi, dalam memaparkan kandungannya Al-Qur’an hanya memberikan kita kaedah kaedah mayor untuk selanjutnya kita sebagai ‘abidullah memiliki tugas untuk menjabarkannya dan menerapkannya hingga sesuai dengan segala perkembangan zaman.
Dalam Al-Qur’an terdapat anjuran-anjuran untuk senantiasa menggunakan akal dan mentadabburi ciptaannya. Proses berfikir dan tadabbur inilah yang sebenarnya inti dari filsafat. Karena pada akhirnya, proses ini akan mengantarkan kita pada hakikat kebenaran yang sesungguhnya.
Kata filsafat sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab “الفلسفة”,yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu philia ( persahabatan, rasa suka, cinta dsb), dan Sophia (kebijaksanaan). Secara harfiah dapat diartikan orang yang mencintai kebijaksanaan. Hal ini identik dengan berfikir.
Selain itu filsafat juga dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu baik yang bersifat teoritis (etika, setetika dan metafisika) maupun yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dalam amal baik.
Ketika dihubungkan dengan Islam, maka filsafat dapat didefenisikan sebagai suatu ilmu yang dalam membahas hakikat segala sesuatu diwarnai dengan corak keislaman , baik itu dari segi pola pikirnya, masalahnya maupun tujuannya.
Ada anggapan bahwa Islam pada dasarnya tidak memilki filsafat yang independen, karena yang terjadi hanyalah pemikiran-pemikiran atau filsafat Yunani yang kemudian dikembangkan oleh Islam. akan tetapi hal ini dapat ditentang dengan beberapa alasan.
Pertama, ketika filsafat Yunani diperkenalkan pada dunia Islam, Islam telah mengembangkan suatu system teologi yang menekankan kepada keesaan Allah (tauhid) dan syariah. Hal ini yang kemudian diperpegangi oleh para filosof muslim sehingga ketika filsafat Yunani masuk kedunia Islam, para filosof muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan Islam tersebut, dan akhirnya tanpa disadari telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof muslim menjadi pemerhati filsafat yang kritis, ketika ada yang dirasakan kurang, tidak jarang para folosof muslim mengkritiknya secara mendasar.
Ketiga, adanya perkembangan filsafat yang unik akibat perpaduan antara Islam sebagai agama dengan filsafat Yunani, sebagai hasilnya para filosof muslim mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh filosof Yunani, sebagai contoh, filsafat kenabian yang dikembangkan oleh al-Farabi.
Dari beberapa alasan diatas, maka kita dapat melihat bahwa Islam memiliki filsafat yang independen, yang mana objek kajiannya mencakup segala hal yang bersifat teoritis dan praktis. Adapun beberapa filosof muslim yang masyhur diantaranya adalah Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Selanjutnya mengenai filsafat al-Kindi dan al-Farabi akan dipaparkan lebih jauh didalam pembahasan.
Ilmu Sekuler Barat dan Tauhidullah 4
C. Perbandingan Ilmu Barat Sekuler dan Ilmu Tauhidullah
Sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan). Ilmu sekuler diartikan sebagai ilmu yang dalam penerapannya menggunakan prinsip pemisahan kehidupan dunia dari nilai-nilai keagamaan , hingga kehidupan dunia memiliki ruang tersendiri, dan begitu juga dengan nilai keagamaan, yang bertujuan akhir pada prinsip materialisme.
Sedangkan ilmu Tauhidullah yaitu yaitu ilmu yang berpijak pada pengakuan atas realitas keesaan Allah yang tercermin dalam perkataan dan perbuatanNya.
Dari pengertian ilmu Barat sekuler dan ilmu Tauhidullah, serta dari penjelasan yang penulis telah kemukakan di atas, maka kedua ilmu ini mempunyai perbedaan yang jelas. Perbedaan di sini bisa di lihat dari tiga aspek, yaitu dari aspek ontology, epistemologi dan aksiologi.
1. Dari aspek ontology.
Manusia yang bersifat kreatif memiliki kemampuan untuk mengetahui jagat raya beserta segala isinya (QS. Al-Baqarah/2 : 30). Ia berfungsi ganda: sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah fil ardhi. Sebagai abidullah ia berlandaskan pada kalam Allah (wahyu), dan sebagai khalifatullah fil ardhi berlandaskan pada fi’l Allah (perbuatan atau ciptaan Allah). Kedua fungsinya dapat dilakukannya apabila ia memiliki kesadaran. Dalam ilmu Barat kesadaran ini selalu bersifat buruk:
a. Freud mulai dengan bawah sadar, libido seksualitas.
b. Marx mengemukakan tentang kesadaran kelas, sebagai implikasi dari pandangan materialistisnya.
c. James mengemukakan kesadaran sebagai flux of ideas, sesuai dengan filsafat pragmatisnya.
2. Dari aspek epistemology.
Ilmu sekuler Barat memilki dasar-dasar yang tidak menentu dan selalu berubah. Sebaliknya Ilmu Tauhidullah memiliki dasar yang jelas dan tetap. Ilmu barat berdiri diatas rasio (akal), oleh karena itu kemampuannya sangat terbatas dan tidak tetap. Disamping itu ilmu Barat telah diwarnai dengan individualism, materialisme dan berbagai paham lainnya sehingga pemikiran barat menjadi dangkal dan menghasilkan sesuatu yang juga salah.
Berbeda dengan ilmu Tauhidullah, yang memiliki dasar dan acuan yang jelas dan tetap, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Tuhidullah berangkat dari kesadaran (Rasionalitas yang terbuka dan lurus) karena dibimbing oleh wahyu yang pasti kebenarannya dan tidak pernah berubah. Dalam ilmu Tauhidullah, maka wahyu membimbing akal dan Naqliah membimbing Aqliah.
Disamping berangkat dari wahyu, dalam Al-Qur’an Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dan melakukan observasi. Sebagai contoh : QS. Al-Ghasyiyah/88 : 17-20 dan QS. Ali-Imran/3 : 190-191.
Dalam hal ini Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari segala ciptaan Allah berlandaskan rasionalitas, namun bukan yang sempit dan serakah melainkan rasionalitas yang luas dan hanif.
3. Dari aspek aksiologi.
Fungsi dan kegunaan yang dihasilkan oleh ilmu sekuler Barat dan ilmu Tauhidullah bisa di lihat dari kolom di bawah ini;
“DIRI” “ANTAR DIRI” “KEDUANYA”
(psikologi) (sosiologi) (Ekonomi)
Ilmu Barat Sekuler Libido
(bawah sadar) Konflik Serakah
(3 - R)
Ilmu Tauhidullah Mutmainnah (sadar) Ukhuwah Hanif
QS.89:29-30 (brotherhood) (adil makmur)
QS. 49:10
Tampak bedanya seperti langit dan bumi, bila kita bandingkan dalam hal DIRI, ANTAR DIRI dan KEDUANYA. Pemulanya adalah DIRI, kemudian naik ke ANTAR DIRI, dan akhirnya berpijak pada KEDUANYA. Pada KEDUANYA inilah ilmu Barat sekuler tiba pada 3-R (Resah, Renggut dan Rusak), sedangkan ilmu Tauhidullah akhirnya sampai pada kesejahteraan hidup (hasanah, QS. Al-Baqarah/2 : 210) di dunia maupun di akhirat.
Ilmu Barat sekuler menghasilkan jiwa yang resah, yang selalu tidak puas, karena kesemuanya itu berangkat dari sesuatu yang tidak memilii dasar yangtetap dan dilandaskan pada pelampiasan hawa-nafsu (linier). Sebaliknya ilmu Tauhidullah menghasilkan jiwa yang tenang, yang puas, karena bersumber dari dasar yang benar dan dalam penerapannya dilandaskan pada pengekangan hawa-nafsu (parabolis).
Lebih jelasnya, jika di bandingkan menurut tiga aspek diatas, maka kita dapat menggambarkannya sebagai berikut :
Antology Epistimology Aksiology
Ilmu Barat
Sekuler Amarah/ tidak sadar Amarah-Konflik- Serakah BURUK) formal : NETRAL (BURUK)
Dasar :
DINAMIS
Empirik :
BURUK
Ilmu
Tauhidullah Mutmainnah/ Formal : NETRAL Muthmainnah-Ukhuwah-Hanif
sadar QS.89:29-30 Dasar : (BAIK)
(BAIK) TETAP
Empirik :
BAIK
Dari perbandingan diatas kita dapat melihat bahwa ilmu Tauhidullah lebih promising dibanding dengan ilmu sekuler yang ditawarkan oleh Barat, bukan hanya karena Ilmu Tauhidullah memiliki dasar yang benar dan tidak pernah berubah, tetapi juga karena pada dasarnya agamalah yang menjamin tetap tegaknya moralitas, memperbaiki perilaku, dan mengantarkan setiap jiwa meraih kebaikan. Komitmen terhadap agama akan membawa umat menghayati nilai luhur kemanusiaan yang tidak ditemuka dalam kehidupan sekuler.
Allah swt. Berfirman QS.Hud/11 : 15 ;
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna…”.
QS.An-Nahl/16 : 107 ;
“Yang demikian itu disebabkan mereka lebih mencintai dunia dari akhirat…”.
QS.An-Naazi’at/79 : 37-39 ;
“Adapun orang-orangyang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesuangguhnya nerakalah tempat tinggalnya”.
Sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan). Ilmu sekuler diartikan sebagai ilmu yang dalam penerapannya menggunakan prinsip pemisahan kehidupan dunia dari nilai-nilai keagamaan , hingga kehidupan dunia memiliki ruang tersendiri, dan begitu juga dengan nilai keagamaan, yang bertujuan akhir pada prinsip materialisme.
Sedangkan ilmu Tauhidullah yaitu yaitu ilmu yang berpijak pada pengakuan atas realitas keesaan Allah yang tercermin dalam perkataan dan perbuatanNya.
Dari pengertian ilmu Barat sekuler dan ilmu Tauhidullah, serta dari penjelasan yang penulis telah kemukakan di atas, maka kedua ilmu ini mempunyai perbedaan yang jelas. Perbedaan di sini bisa di lihat dari tiga aspek, yaitu dari aspek ontology, epistemologi dan aksiologi.
1. Dari aspek ontology.
Manusia yang bersifat kreatif memiliki kemampuan untuk mengetahui jagat raya beserta segala isinya (QS. Al-Baqarah/2 : 30). Ia berfungsi ganda: sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah fil ardhi. Sebagai abidullah ia berlandaskan pada kalam Allah (wahyu), dan sebagai khalifatullah fil ardhi berlandaskan pada fi’l Allah (perbuatan atau ciptaan Allah). Kedua fungsinya dapat dilakukannya apabila ia memiliki kesadaran. Dalam ilmu Barat kesadaran ini selalu bersifat buruk:
a. Freud mulai dengan bawah sadar, libido seksualitas.
b. Marx mengemukakan tentang kesadaran kelas, sebagai implikasi dari pandangan materialistisnya.
c. James mengemukakan kesadaran sebagai flux of ideas, sesuai dengan filsafat pragmatisnya.
2. Dari aspek epistemology.
Ilmu sekuler Barat memilki dasar-dasar yang tidak menentu dan selalu berubah. Sebaliknya Ilmu Tauhidullah memiliki dasar yang jelas dan tetap. Ilmu barat berdiri diatas rasio (akal), oleh karena itu kemampuannya sangat terbatas dan tidak tetap. Disamping itu ilmu Barat telah diwarnai dengan individualism, materialisme dan berbagai paham lainnya sehingga pemikiran barat menjadi dangkal dan menghasilkan sesuatu yang juga salah.
Berbeda dengan ilmu Tauhidullah, yang memiliki dasar dan acuan yang jelas dan tetap, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Tuhidullah berangkat dari kesadaran (Rasionalitas yang terbuka dan lurus) karena dibimbing oleh wahyu yang pasti kebenarannya dan tidak pernah berubah. Dalam ilmu Tauhidullah, maka wahyu membimbing akal dan Naqliah membimbing Aqliah.
Disamping berangkat dari wahyu, dalam Al-Qur’an Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dan melakukan observasi. Sebagai contoh : QS. Al-Ghasyiyah/88 : 17-20 dan QS. Ali-Imran/3 : 190-191.
Dalam hal ini Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari segala ciptaan Allah berlandaskan rasionalitas, namun bukan yang sempit dan serakah melainkan rasionalitas yang luas dan hanif.
3. Dari aspek aksiologi.
Fungsi dan kegunaan yang dihasilkan oleh ilmu sekuler Barat dan ilmu Tauhidullah bisa di lihat dari kolom di bawah ini;
“DIRI” “ANTAR DIRI” “KEDUANYA”
(psikologi) (sosiologi) (Ekonomi)
Ilmu Barat Sekuler Libido
(bawah sadar) Konflik Serakah
(3 - R)
Ilmu Tauhidullah Mutmainnah (sadar) Ukhuwah Hanif
QS.89:29-30 (brotherhood) (adil makmur)
QS. 49:10
Tampak bedanya seperti langit dan bumi, bila kita bandingkan dalam hal DIRI, ANTAR DIRI dan KEDUANYA. Pemulanya adalah DIRI, kemudian naik ke ANTAR DIRI, dan akhirnya berpijak pada KEDUANYA. Pada KEDUANYA inilah ilmu Barat sekuler tiba pada 3-R (Resah, Renggut dan Rusak), sedangkan ilmu Tauhidullah akhirnya sampai pada kesejahteraan hidup (hasanah, QS. Al-Baqarah/2 : 210) di dunia maupun di akhirat.
Ilmu Barat sekuler menghasilkan jiwa yang resah, yang selalu tidak puas, karena kesemuanya itu berangkat dari sesuatu yang tidak memilii dasar yangtetap dan dilandaskan pada pelampiasan hawa-nafsu (linier). Sebaliknya ilmu Tauhidullah menghasilkan jiwa yang tenang, yang puas, karena bersumber dari dasar yang benar dan dalam penerapannya dilandaskan pada pengekangan hawa-nafsu (parabolis).
Lebih jelasnya, jika di bandingkan menurut tiga aspek diatas, maka kita dapat menggambarkannya sebagai berikut :
Antology Epistimology Aksiology
Ilmu Barat
Sekuler Amarah/ tidak sadar Amarah-Konflik- Serakah BURUK) formal : NETRAL (BURUK)
Dasar :
DINAMIS
Empirik :
BURUK
Ilmu
Tauhidullah Mutmainnah/ Formal : NETRAL Muthmainnah-Ukhuwah-Hanif
sadar QS.89:29-30 Dasar : (BAIK)
(BAIK) TETAP
Empirik :
BAIK
Dari perbandingan diatas kita dapat melihat bahwa ilmu Tauhidullah lebih promising dibanding dengan ilmu sekuler yang ditawarkan oleh Barat, bukan hanya karena Ilmu Tauhidullah memiliki dasar yang benar dan tidak pernah berubah, tetapi juga karena pada dasarnya agamalah yang menjamin tetap tegaknya moralitas, memperbaiki perilaku, dan mengantarkan setiap jiwa meraih kebaikan. Komitmen terhadap agama akan membawa umat menghayati nilai luhur kemanusiaan yang tidak ditemuka dalam kehidupan sekuler.
Allah swt. Berfirman QS.Hud/11 : 15 ;
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna…”.
QS.An-Nahl/16 : 107 ;
“Yang demikian itu disebabkan mereka lebih mencintai dunia dari akhirat…”.
QS.An-Naazi’at/79 : 37-39 ;
“Adapun orang-orangyang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesuangguhnya nerakalah tempat tinggalnya”.
Ilmu Sekuler Barat dan Tauhidullah 3
B. Ilmu Tauhidullah
1. Pengertian Tauhidullah
Tauhidullah berasal dari dua kata Tauhid dan Allah. Dari kamus Al-Bisri kata tauhidullah bermakna : mashdaru wahhada – al I’tiqadu bi wahdaniyatillah, yang berarti keyakinan atas keesaan Allah.
Adapun secara istilah, Tauhidullah yang selanjutnya disebut dengan Tauhid, bermakna dua: Tauhid dalam al-Itsbat (penetapan) dan al-Ma’rifat (pengenalan). Dan Tauhid ath-Thalab (permohonan) dan al-Qashdu (bertujuan). Pertama: Menetapkan (adanya) hakikat Dzat Allah ‘Azza wa Jalla, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan nama-nama-Nya. Tak ada sesuatupun yang menyerupai diri-Nya. Sebagaimana yang diberitakan oleh Allah sendiri dalam AL-Qur’an dan melalui Rasul-Nya. Kedua: yaitu tauhid dalam permohonan dan bertujuan.
Adapun bentuk tauhid di bagi tiga,
Pertama, Tauhid Rububiyah adalah pengakuan bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Bahwa alam dunia ini tak pernah memiliki dua pencipta yang berseteru dalam karakter dan perbuatan.
Allah berfirman, dalam surat Ibrahim/14 : 10,
Terjemahnya,
Berkata Rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?.
Kedua, Tauhid Uluhhiyah adalah meniadakan (segala sesembahan), dan penetapan (Allah sebagai satu-satunya Ilah).
Allah berfirman, dalam surat al-Baqarah/2 : 163,
Terjemahnya,
Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ketiga, Tauhid Asma wa Shifat adalah mangimani semua apa yang disebutkan dalam Al-Qur’anul karim dan hadits-hadits shahih tentang nama-nama Allah dan sifat-sifatNya.
Dari pengertian di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan pengertian dari ilmu Tauhidullah yaitu ilmu yang berpijak pada pengakuan atas realitas keesaan Allah yang tercermin dalam perkataan dan perbuatanNya.
2. Sejarah dan perkembangan ilmu Tauhidullah
Dari pengertian tauhid, macam dan bentuknya, yang telah penulis sebutkan diatas, maka kita akan melihat bagaimana awal mula ilmu ini muncul.
Pembawa ilmu Tauhidullah ini adalah Muhammad bin Abdullah, seorang Rasul yang di utus oleh Allah swt. 6 abad setelah tahun Masehi. Tepatnya Beliau dilahirkan pada tanggal 20 april tahun 571 M. 40 tahun kemudian beliau diangkat sebagai Rasul. Ajaran pertama beliau secara asasi adalah sebagaimana ajaran-ajaran para Rasul sebelumnya yaitu masalah Tauhid dan penolakan terhadap politeisme, hal ini bisa di lihat di dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf/7 : 59, 65 dan 73, dan surat Al-Anbiya/21 : 22 dan 25.
Ketika Muhammad di angkat menjadi Rasul dunia sedang berada pada Abad Pertengahan, dimana keilmuan sedang mengalami stagnasi atau kemandegan, karena kebebasan berilmu semuanya harus tunduk kepada kepentingan gereja.
Islam datang dengan membawa semangat baru, Islam mempunyai pandangan tentang pentingnya ilmu. Bahkan ayat pertama yang turun adalah anjuran untuk menuntut ilmu “membaca”. Jibril memerintahkan Muhammad dengan bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.
Selanjutnya ada juga ayat lain yang menyatakan, katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya (hanya) orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadits Rasulullah yang menekankan wajibnya menuntut ilmu, “menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan”.
Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu.
Peran itu adalah: pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Dan sejauh pemahaman terhadap Al-Qur’an, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoterik terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu.
Kedua, Al-Qur’an dan Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Pada akhirnya, ilmu dan perenungan akan semakin membuktikan keesaan Allah.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada masa kejayaan Islam, khususnya pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kita bisa melihat beberapa contoh ilmuwan ilmuwan muslim seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya yang apabila kita perhatikan manhaj yang digunakan dalam pemikiran mereka bukan hanya sekedar menggunakan akal tetapi juga tetap berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam, disamping itu tujuan dari keilmuwan mereka bukan dunia semata tetapi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
1. Pengertian Tauhidullah
Tauhidullah berasal dari dua kata Tauhid dan Allah. Dari kamus Al-Bisri kata tauhidullah bermakna : mashdaru wahhada – al I’tiqadu bi wahdaniyatillah, yang berarti keyakinan atas keesaan Allah.
Adapun secara istilah, Tauhidullah yang selanjutnya disebut dengan Tauhid, bermakna dua: Tauhid dalam al-Itsbat (penetapan) dan al-Ma’rifat (pengenalan). Dan Tauhid ath-Thalab (permohonan) dan al-Qashdu (bertujuan). Pertama: Menetapkan (adanya) hakikat Dzat Allah ‘Azza wa Jalla, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan nama-nama-Nya. Tak ada sesuatupun yang menyerupai diri-Nya. Sebagaimana yang diberitakan oleh Allah sendiri dalam AL-Qur’an dan melalui Rasul-Nya. Kedua: yaitu tauhid dalam permohonan dan bertujuan.
Adapun bentuk tauhid di bagi tiga,
Pertama, Tauhid Rububiyah adalah pengakuan bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Bahwa alam dunia ini tak pernah memiliki dua pencipta yang berseteru dalam karakter dan perbuatan.
Allah berfirman, dalam surat Ibrahim/14 : 10,
Terjemahnya,
Berkata Rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?.
Kedua, Tauhid Uluhhiyah adalah meniadakan (segala sesembahan), dan penetapan (Allah sebagai satu-satunya Ilah).
Allah berfirman, dalam surat al-Baqarah/2 : 163,
Terjemahnya,
Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ketiga, Tauhid Asma wa Shifat adalah mangimani semua apa yang disebutkan dalam Al-Qur’anul karim dan hadits-hadits shahih tentang nama-nama Allah dan sifat-sifatNya.
Dari pengertian di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan pengertian dari ilmu Tauhidullah yaitu ilmu yang berpijak pada pengakuan atas realitas keesaan Allah yang tercermin dalam perkataan dan perbuatanNya.
2. Sejarah dan perkembangan ilmu Tauhidullah
Dari pengertian tauhid, macam dan bentuknya, yang telah penulis sebutkan diatas, maka kita akan melihat bagaimana awal mula ilmu ini muncul.
Pembawa ilmu Tauhidullah ini adalah Muhammad bin Abdullah, seorang Rasul yang di utus oleh Allah swt. 6 abad setelah tahun Masehi. Tepatnya Beliau dilahirkan pada tanggal 20 april tahun 571 M. 40 tahun kemudian beliau diangkat sebagai Rasul. Ajaran pertama beliau secara asasi adalah sebagaimana ajaran-ajaran para Rasul sebelumnya yaitu masalah Tauhid dan penolakan terhadap politeisme, hal ini bisa di lihat di dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf/7 : 59, 65 dan 73, dan surat Al-Anbiya/21 : 22 dan 25.
Ketika Muhammad di angkat menjadi Rasul dunia sedang berada pada Abad Pertengahan, dimana keilmuan sedang mengalami stagnasi atau kemandegan, karena kebebasan berilmu semuanya harus tunduk kepada kepentingan gereja.
Islam datang dengan membawa semangat baru, Islam mempunyai pandangan tentang pentingnya ilmu. Bahkan ayat pertama yang turun adalah anjuran untuk menuntut ilmu “membaca”. Jibril memerintahkan Muhammad dengan bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.
Selanjutnya ada juga ayat lain yang menyatakan, katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya (hanya) orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadits Rasulullah yang menekankan wajibnya menuntut ilmu, “menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan”.
Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu.
Peran itu adalah: pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Dan sejauh pemahaman terhadap Al-Qur’an, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoterik terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu.
Kedua, Al-Qur’an dan Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Pada akhirnya, ilmu dan perenungan akan semakin membuktikan keesaan Allah.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada masa kejayaan Islam, khususnya pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kita bisa melihat beberapa contoh ilmuwan ilmuwan muslim seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya yang apabila kita perhatikan manhaj yang digunakan dalam pemikiran mereka bukan hanya sekedar menggunakan akal tetapi juga tetap berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam, disamping itu tujuan dari keilmuwan mereka bukan dunia semata tetapi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ilmu Sekuler Barat dan Tauhidullah 2
A. Ilmu Sekuler Barat
1. Pengertian sekuler
Kamus-kamus Bahasa Eropa mengatakan bahwa kata “sekularisme” dan “sekularisasi” itu berasal dari kata Latin saeculum, yang berarti abad (age, century). “sekular” berarti seabad. Umpamanya , secular games (permainan yang terjadi sekali dalam seratus tahun) dan secular trees (pohon yang berumur seabad). Selanjutnya “sekular” mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup sekarang” (temporal, wordly). Lawannya ialah “bersifat ukhrawi” atau “bersifat keagamaan” (religious, sacred). Pendidikan sekular (seculer education) misalnya, adalah pendidikan duniawi yang tidak mempunyai sifat keagamaan.
Dalam bahasa Arab kata sekular ini diterjemahkan menjadi ‘alami dan duniawi. Kalau “sekular” berarti “bersifat duniawi”, maka sekularisme berarti “doktrin, policy atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup duniawi dari ikatan agama-agama”. Dan “sekularisasi” adalah “proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama”.
Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) atau sebagai: "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education" (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil daulah (pemisahan agama dengan Negara) yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara, politik, maupun duniawi.
Dari beberapa pengertian sekuler yang disebutkan di atas, maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ilmu sekuler barat adalah ilmu yang dalam penerapannya menggunakan prinsip pemisahan kehidupan dunia dari nilai-nilai keagamaan , hingga kehidupan dunia memiliki ruang tersendiri, dan begitu juga dengan nilai keagamaan, yang bertujuan akhir pada prinsip materialisme.
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Barat Sekuler
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran dan filsafat Barat. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada waktu itu menjadi satu dengan dogma gereja (Agama).
Munculnya Renaissans pada abad ke-15 dan Aufklaerung di abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap filsafat. Filsafat memisahkan diri dari agama, orang mulai bebas mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum oleh gereja, sebagai kelanjutan dari zaman renaissans, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai “anak-anak” filsafat berdiri sendiri dan terpecah menjadi berbagai cabang. Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada Abad ke 20.
Pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, ilmu tidak lagi sekedar sarana kehidupan bagi manusia, tetapi telah menjadi sesuatu yang substantif yang “menguasai” kehidupan umat manusia baik secara ekstentif maupun intensif. Berbagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam berbagai bentuk tekhnologi tinggi disamping kemanfaatannya yang “luar biasa” juga telah menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan.
Hal ini tidak lain, karena dilahirkan dari sebuah dasar pemikiran yang salah.
Rizal Mustansyir dan misnal munir mengutip perkataan Koento Wibisono:
Pemikiran Barat yang dijiwai oleh semangat Renaissance dan Aufklaerung merupakan “paradigma” bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam dalam semua segi dan kehidupan.
Akar historis dari konsep sekulerisme sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat, dimana pada abad pertengahan (6-16 M), system pemikiran ditempatkan dalam satu bingkai oleh gereja. Pada masa itu, perkembangan ilmu dan pengetahuan harus tunduk pada ajaran dan dogma kekristenan.
Disamping itu, pada waktu yang sama, kekuasaaan para raja Eropa bekerja sama dengan pihak gereja membuat aturan yang menzalimi rakyatnya atas nama Tuhan, anggapan pahwa para raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi yang diopinikan kepada lapisan masyarakat mejadikan para raja seenaknya membuat peraturan yang kemudian disahkan oleh pihak gereja.
Ketidakadilan dan kekacauan dalam interaksi social ini akhirnya menjadi pelengkap factor pendorong lahirnya pemberontakan yang digawangi oleh para pemikir dan filosof. Para pemikir ini selanjutnya membuat satu konsep bahwa Tuhan tidak boleh ikut campur dalam masalah public, cukup digereja saja. Akhirnya, kekuatan masyarakat tidak bisa terbendung dan inilah awal dari pemisahan urusan duniawi dengan nilai-nilai keagamaan yang merupakan ide pokok sekuler.
Kejenuhan terhadap dogma-dogma gereja (Kristen), maka muncullah zaman Renaissans, zaman dimana berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia.
Renaissans merupakan era sejarah baru yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan dengan Humanisme. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berfikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari kekuasaan gereja yang selama ini membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu.
Zaman “Renaissans” ini, lalu di dimatangkan oleh gerakan “Aufklaerung” atau “pencerahan” pada abad ke-18, di dalamnya mengandung dua hal penting. Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.
Pada Abad ini, manusia pada akhirnya betul-betul mengandalkan akal untuk bisa mendapatkan kepuasan hidup dan pembuktian kebenaran. Nilai-nilai Kristiani Abad pertengahan mulai kehilangan arti. Ide-ide tradisional Abad pertengahan tak lagi memberi kepuasan. Kepercayaan kepada Tuhan tak lagi memberi arah kepada pandangan hidup manusia. Bukanlah ketuhanan, melainkan kebahagiaan duniawi murni yang memegang peranan dalam kehidupan.
Pemikiran Barat pada masa ini memiliki corak yang berbeda dengan pemikiran Abad pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada masa ini otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Bahkan pada zaman ini kebenaran pun disangsikan dan dipertanyakan, mereka menitikberatkan kepada akal sebagai asas kebenaran. Wahyu sebagai sumber kebenaran ditinggalkan. Orang menaruh kepercayaan pada akal sebagai alat untuk mencapai kebenaran dan kepastian. Tradisi dan kekuasaan dipatahkan oleh akal. “akal harus dijadikan titik tolak penyelidikan. Atas nama akal, maka pembersihan harus dilakukan dikedua kota, pertama di kota Surgawi dan lainnya di kota kerajaan yang kedua-duanya sama-sama tak logis dan sama-sama penuh kecelakaan.
Dari perkembangan diatas, maka kita bisa melihat sebuah perjalanan sejarah keilmuan Barat, bahwa dalam ilmu Barat, kehidupan dunia tidak bisa lagi dicampuri oleh urusan agama atau akhirat, begitu juga sebaliknya, yang semua itu bermuara pada satu titik yaitu “penuhanan terhadap akal”.
1. Pengertian sekuler
Kamus-kamus Bahasa Eropa mengatakan bahwa kata “sekularisme” dan “sekularisasi” itu berasal dari kata Latin saeculum, yang berarti abad (age, century). “sekular” berarti seabad. Umpamanya , secular games (permainan yang terjadi sekali dalam seratus tahun) dan secular trees (pohon yang berumur seabad). Selanjutnya “sekular” mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup sekarang” (temporal, wordly). Lawannya ialah “bersifat ukhrawi” atau “bersifat keagamaan” (religious, sacred). Pendidikan sekular (seculer education) misalnya, adalah pendidikan duniawi yang tidak mempunyai sifat keagamaan.
Dalam bahasa Arab kata sekular ini diterjemahkan menjadi ‘alami dan duniawi. Kalau “sekular” berarti “bersifat duniawi”, maka sekularisme berarti “doktrin, policy atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup duniawi dari ikatan agama-agama”. Dan “sekularisasi” adalah “proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama”.
Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) atau sebagai: "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education" (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil daulah (pemisahan agama dengan Negara) yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara, politik, maupun duniawi.
Dari beberapa pengertian sekuler yang disebutkan di atas, maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ilmu sekuler barat adalah ilmu yang dalam penerapannya menggunakan prinsip pemisahan kehidupan dunia dari nilai-nilai keagamaan , hingga kehidupan dunia memiliki ruang tersendiri, dan begitu juga dengan nilai keagamaan, yang bertujuan akhir pada prinsip materialisme.
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Barat Sekuler
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran dan filsafat Barat. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada waktu itu menjadi satu dengan dogma gereja (Agama).
Munculnya Renaissans pada abad ke-15 dan Aufklaerung di abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap filsafat. Filsafat memisahkan diri dari agama, orang mulai bebas mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum oleh gereja, sebagai kelanjutan dari zaman renaissans, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai “anak-anak” filsafat berdiri sendiri dan terpecah menjadi berbagai cabang. Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada Abad ke 20.
Pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, ilmu tidak lagi sekedar sarana kehidupan bagi manusia, tetapi telah menjadi sesuatu yang substantif yang “menguasai” kehidupan umat manusia baik secara ekstentif maupun intensif. Berbagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam berbagai bentuk tekhnologi tinggi disamping kemanfaatannya yang “luar biasa” juga telah menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan.
Hal ini tidak lain, karena dilahirkan dari sebuah dasar pemikiran yang salah.
Rizal Mustansyir dan misnal munir mengutip perkataan Koento Wibisono:
Pemikiran Barat yang dijiwai oleh semangat Renaissance dan Aufklaerung merupakan “paradigma” bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam dalam semua segi dan kehidupan.
Akar historis dari konsep sekulerisme sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat, dimana pada abad pertengahan (6-16 M), system pemikiran ditempatkan dalam satu bingkai oleh gereja. Pada masa itu, perkembangan ilmu dan pengetahuan harus tunduk pada ajaran dan dogma kekristenan.
Disamping itu, pada waktu yang sama, kekuasaaan para raja Eropa bekerja sama dengan pihak gereja membuat aturan yang menzalimi rakyatnya atas nama Tuhan, anggapan pahwa para raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi yang diopinikan kepada lapisan masyarakat mejadikan para raja seenaknya membuat peraturan yang kemudian disahkan oleh pihak gereja.
Ketidakadilan dan kekacauan dalam interaksi social ini akhirnya menjadi pelengkap factor pendorong lahirnya pemberontakan yang digawangi oleh para pemikir dan filosof. Para pemikir ini selanjutnya membuat satu konsep bahwa Tuhan tidak boleh ikut campur dalam masalah public, cukup digereja saja. Akhirnya, kekuatan masyarakat tidak bisa terbendung dan inilah awal dari pemisahan urusan duniawi dengan nilai-nilai keagamaan yang merupakan ide pokok sekuler.
Kejenuhan terhadap dogma-dogma gereja (Kristen), maka muncullah zaman Renaissans, zaman dimana berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia.
Renaissans merupakan era sejarah baru yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan dengan Humanisme. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berfikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari kekuasaan gereja yang selama ini membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu.
Zaman “Renaissans” ini, lalu di dimatangkan oleh gerakan “Aufklaerung” atau “pencerahan” pada abad ke-18, di dalamnya mengandung dua hal penting. Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.
Pada Abad ini, manusia pada akhirnya betul-betul mengandalkan akal untuk bisa mendapatkan kepuasan hidup dan pembuktian kebenaran. Nilai-nilai Kristiani Abad pertengahan mulai kehilangan arti. Ide-ide tradisional Abad pertengahan tak lagi memberi kepuasan. Kepercayaan kepada Tuhan tak lagi memberi arah kepada pandangan hidup manusia. Bukanlah ketuhanan, melainkan kebahagiaan duniawi murni yang memegang peranan dalam kehidupan.
Pemikiran Barat pada masa ini memiliki corak yang berbeda dengan pemikiran Abad pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada masa ini otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Bahkan pada zaman ini kebenaran pun disangsikan dan dipertanyakan, mereka menitikberatkan kepada akal sebagai asas kebenaran. Wahyu sebagai sumber kebenaran ditinggalkan. Orang menaruh kepercayaan pada akal sebagai alat untuk mencapai kebenaran dan kepastian. Tradisi dan kekuasaan dipatahkan oleh akal. “akal harus dijadikan titik tolak penyelidikan. Atas nama akal, maka pembersihan harus dilakukan dikedua kota, pertama di kota Surgawi dan lainnya di kota kerajaan yang kedua-duanya sama-sama tak logis dan sama-sama penuh kecelakaan.
Dari perkembangan diatas, maka kita bisa melihat sebuah perjalanan sejarah keilmuan Barat, bahwa dalam ilmu Barat, kehidupan dunia tidak bisa lagi dicampuri oleh urusan agama atau akhirat, begitu juga sebaliknya, yang semua itu bermuara pada satu titik yaitu “penuhanan terhadap akal”.
Ilmu Sekuler Barat dan Tauhidullah 1.
A. Latar Belakang Masalah
Sekuler bukan hanya di negara Barat, akan tetapi sekuler telah merambah dan memasuki negeri Indonesia, The Father Foundatin bumi pertiwi ini telah menancapkan satu titik sekulerisme dengan pernyataannya , “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara supaya agama dapat menjadi subur”. Dari pernyataan ini, kita bisa melihat Soekarno ingin meninggalkan agama dalam kehidupan bernegara Indonesia. bahwa dalam negara Indonesia yang sekuler Islam akan tumbuh lebih baik.
Sekuler di Indonesia terus berkembang. Pada tanggal 2 Januari 1970, Nurcholis Majid menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholis menyatakan pembaruan Islam harus dimulai dengan melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Di sinilah proses liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, tegas Nurcholis, diperlukan. Proses ini menyangkut proses-proses yang lain seperti sekulerisasi, intellectual freedom atau kebebasan berfikir, idea of Progres dan sikap terbuka. Dan masih banyak tokoh-tokoh lain di Indonesia yang mengusung paham sekuler.
Jika di lihat dari sejarah menyelusupnya paham sekuler ke Indonesia tidak datang begitu saja, ia merupakan salah satu rentetan sejarah dunia. Sebelum penjajah masuk ke Indonesia yang pada waktu itu masih Nusantara belum mengenal istilah sekuler, setelah penjajah masuk, dalam hal ini adalah negara Barat maka Indonesia mulai mengenal sekuler karena disamping mereka menjajah, mereka juga menyebarkan paham mereka yaitu sekuler.
Di lain sisi, di dunia Timur muncul sebuah gagasan briliant yang di canangkan oleh manusia agung, Muhammad saw. lewat bimbingan wahyu Illahi, yang menyebarkan paham ketauhidan bahwa semua berawal dari yang Esa, kedamaian, ketentraman dan keselamatan. Muhammad dengan Islamnya menolak bahkan, memerangi tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh karena itu dia disebut “rahmatan lil ‘alamin”. Tapi, dalam menegakkan misi suci ini, Islam sebagai kekuatan al-Haq sering mendapat tantangan dari kekuatan lain yang zalim disebut al-Bathil yang menghendaki kezaliman, penindasan, kerusuhan, mempertuhan sesama makhluk dan sebagainya. Diantaranya adalah sekuler.
Demikian paham sekuler yang awal munculnya dari dunia Barat dan tauhid yang muncul dari dunia Timur, yang keduanya tidak dapat berkembang dan ada kecuali keduanya melalui sebuah sarana yang disebut dengan ilmu.
Sekuler bukan hanya di negara Barat, akan tetapi sekuler telah merambah dan memasuki negeri Indonesia, The Father Foundatin bumi pertiwi ini telah menancapkan satu titik sekulerisme dengan pernyataannya , “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara supaya agama dapat menjadi subur”. Dari pernyataan ini, kita bisa melihat Soekarno ingin meninggalkan agama dalam kehidupan bernegara Indonesia. bahwa dalam negara Indonesia yang sekuler Islam akan tumbuh lebih baik.
Sekuler di Indonesia terus berkembang. Pada tanggal 2 Januari 1970, Nurcholis Majid menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholis menyatakan pembaruan Islam harus dimulai dengan melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Di sinilah proses liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, tegas Nurcholis, diperlukan. Proses ini menyangkut proses-proses yang lain seperti sekulerisasi, intellectual freedom atau kebebasan berfikir, idea of Progres dan sikap terbuka. Dan masih banyak tokoh-tokoh lain di Indonesia yang mengusung paham sekuler.
Jika di lihat dari sejarah menyelusupnya paham sekuler ke Indonesia tidak datang begitu saja, ia merupakan salah satu rentetan sejarah dunia. Sebelum penjajah masuk ke Indonesia yang pada waktu itu masih Nusantara belum mengenal istilah sekuler, setelah penjajah masuk, dalam hal ini adalah negara Barat maka Indonesia mulai mengenal sekuler karena disamping mereka menjajah, mereka juga menyebarkan paham mereka yaitu sekuler.
Di lain sisi, di dunia Timur muncul sebuah gagasan briliant yang di canangkan oleh manusia agung, Muhammad saw. lewat bimbingan wahyu Illahi, yang menyebarkan paham ketauhidan bahwa semua berawal dari yang Esa, kedamaian, ketentraman dan keselamatan. Muhammad dengan Islamnya menolak bahkan, memerangi tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh karena itu dia disebut “rahmatan lil ‘alamin”. Tapi, dalam menegakkan misi suci ini, Islam sebagai kekuatan al-Haq sering mendapat tantangan dari kekuatan lain yang zalim disebut al-Bathil yang menghendaki kezaliman, penindasan, kerusuhan, mempertuhan sesama makhluk dan sebagainya. Diantaranya adalah sekuler.
Demikian paham sekuler yang awal munculnya dari dunia Barat dan tauhid yang muncul dari dunia Timur, yang keduanya tidak dapat berkembang dan ada kecuali keduanya melalui sebuah sarana yang disebut dengan ilmu.
Umar Ibn Khattab : Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik 4
3. Mengangkat pejabat Negara dan hakim.
Kebijakan Umar selanjutnya adalah mengangkat pejabat Negara dan hakim (Qadi’) untuk membantu kelancaran administrasi dan koordinasi antara wilayah kekuasaan Islam. Keberhasilan ekspansi pasukan Islam ke berbagai wilayah mengharuskan Umar memikirkan kelanjutan pemerintahan diwilayah-wilayah taklukan.
Untuk itu, Umar membagi kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi dan mengangkat pejabat pejabat Negara yang dikenal sebagai amil untuk mengurus dan melayani segala kepentingan rakyat diwilayah tugasnya masing-masing .
Umar juga mengangkat hakim (Qadi) untuk mengurus segala perkara hukum yang terjadi di masyarakatnya. Dengan terlebih dahulu memisahkan antara kekuasaan yudikatif dan kekusaan Negara. Umar memberikan kewenangan kepada para Qadi dalam melaksanakan tugasnya tanpa mencampurinya, dengan kata lain kedudukan hakim berdiri sendiri dan terpisah dari kekuasaan eksekutif.
Akan tetapi dengan pembagian tugas dan kekuasaan seperti ini, tidaklah membuat Umar menjadi seorang pemimpin yang hanya berpangku tangan dan menyerahkan urusan kenegaraan sepenuhnya pada para pejabatnya.
Semua pejabat Negara yang diangkatnya tetap berada dibawah pengawasan ketatnya. Tidak jarang Umar berjalan kewilayah-wilayah kekuasaan Islam untuk mengecek sendiri keadaan rakyatnya dan mengetahui kepemimpinan pejabatnya. Jika ada rakyat yang mengadukan pejabatnya maka Umar akan langsung memamnggilnya dan menanyakan kebenarannya.
Bahkan Umar tidak segan memecat para pejabatnya yang dianggap tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik . Pada para pejabat Negara yang diangkatnya umar berwasiat untuk senantiasa bersikap adil tehadap rakyatnya, memperlakukan semua sama tanpa memandang status sosial.
Hal ini dicerminkan secara nyata dalam sikapnya sehari-hari, dimana Umar dikenal sebagai orang yang menjunjung tinggi keadilan dan sangat ketat dalam menjalankan syariat bahkan terhadap keluarganya sendiri. Ini membuat rakyatnya merasa aman dan dihargai sehingga sangat wajar jika Umar sangat dicintai oleh rakyatnya.
4. Asas musyawarah (syura) sebagai dasar hukum pemerintahan.
Disamping prinsip “equal” terhadap semua masyarakatnya, umar juga menjadikan musyawarah sebagai dasar pemerintahannya, dia bercermin pada pemerintahan masa Rasulullah SAW dan khalifah sebelumnya Abu Bakar. Ini mengacu pada firman Allah dalam surah Asy-Syura (42) : 38 :
قال الله تعالى : } … وامرهم شورى بينهم… {
“….Dan persoalan mereka dimusyawaratkan diantara sesama mereka…”.
Adapun bentuk musyawarah pada masa itu agak berbeda dengan bentuk musyawarah dalam system pemerintahan yang kita kenal saat ini. Khalifah memilih sendiri orang-orang yang diajak bermusyawarah, dia pula yang menentukan hasil dari pendapat-pendapat mereka, serta memilki hak menerima atau menolak pendapat-pendapat yang ada. Dengan begitu, kekuasaan penuh berada ditangan khalifah.
Dia bertanggung jawab pada Allah, kepada dirinya sendiri dan kepada umat yang dipimpinnya. Kalau dalam bermusyawarah keputusannya sudah ditetapkan, maka selanjutnya tinggal memutuskan pelaksanaannya. Akan tetapi jika masih belum jelas, maka dikembalikan kepada staf khususnya (lembaga syura’) untuk dimintai pendapat hingga khalifah benar- benar yakin dengan keputusan yang diambilnya.
Dalam bermusyawarah, Umar melibatkan kerabat Nabi dan para pemuka Islam, diwaktu yang lain terkadang umar juga mengajak para pemuda untuk bermusyawarah memutuskan suatu masalah. Sebagai contoh, musyawarah yang dilakukan dalam menyikapi perjalanan pasukan Islam ke Syam yang pada waktu itu sedang dilanda wabah penyakit.
5. Pembentukan dewan (lembaga) administrasi.
Meluasnya wilayah kekuasan Islam mendorong pemerintahan Umar untuk membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang mapan untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. Oleh karena itu, umar berinisiatif untuk mendirikan beberapa dewan (lembaga) yang berfungsi untuk mengatur segala administrasi Negara. Setiap wilayah memiliki dewan masing-masing yang dipimpin oleh seorang al-Katib (sekretaris) .
Disamping lembaga kehakiman yang telah disebutkan diatas, Umar juga membentuk lembaga keuangan yang mengurus pengumpulan dan pembagian pajak (kharaj), jizyah dan pemasukan lainnya. Selain itu mengurus pembagian tunjangan wajib para tentara dan zakat.
Kata dewan sendiri berasal dari kata Persia yang sudah diarabkan, yang berarti lembaran-lembaran, tempat mencatat nama tokoh-tokoh militer dan mereka yang mendapat tunjangan wajib . Dalam pengistilahan sekarang dewan bisa juga disebut lembaga. Khalifah juga membangun baitul mal, mencetak mata uang serta menetapkan tahun Hijri.
Khalifah Umar juga mengupayakan langkah-langkah untuk merangsang perkembangan hasil pertanian dan mengembangkan sumber-sumber baru untuk mensuplai makanan kepada kota-kota baru. Rawa-rawa yang ada dikeringkan dan diubah menjadi lahan pertanian.
Sebagian uang kas Negara yang bersumber dari pajak tanah dan jizyah digunakan untuk perbaikan, membangun kanal untuk kelancaran irigasi pertanian. Disamping itu, pemerintah juga menyelenggarakan pengawasan pasar, mengontrol takaran dan menjaga ketertiban. Semua hal itu mendukung pertumbuhan ekonomi Negara.
Begitulah masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab yang berlangsung selama kurang lebih 10 tahun. Seorang khalifah yang meski berhadapan dengan beban perang dan ekspansi dan disaat yang sama mengemban tugas pemerintahan yang besar , tapi tidak pernah melupakan rakyatnya.
Sosok yang terkenal dengan keadilan, kesederhanaan dan tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang mendudukkan dirinya setara dengan yang dipimpin. Sosok yang merasa kekhalifaan bukan sebagai kekuasaan terhadap yang lain akan tetapi amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya yang setiap langkahnya akan dimintai pertanggungjawabannya.
Khalifah yang Dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya mampu mengukir kejayaan kedaulatan Islam. yang dalam masa kepemimpinannya Islam berkembang sebagai satu kekuatan politik yang kuat dan teratur. membuat kemajuan disegala bidang termasuk dibidang sosial-budaya maupun ekonomi. Membuat kedaulatan Islam semakin kokoh dan dikenang sepanjang sejarah.
Kebijakan Umar selanjutnya adalah mengangkat pejabat Negara dan hakim (Qadi’) untuk membantu kelancaran administrasi dan koordinasi antara wilayah kekuasaan Islam. Keberhasilan ekspansi pasukan Islam ke berbagai wilayah mengharuskan Umar memikirkan kelanjutan pemerintahan diwilayah-wilayah taklukan.
Untuk itu, Umar membagi kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi dan mengangkat pejabat pejabat Negara yang dikenal sebagai amil untuk mengurus dan melayani segala kepentingan rakyat diwilayah tugasnya masing-masing .
Umar juga mengangkat hakim (Qadi) untuk mengurus segala perkara hukum yang terjadi di masyarakatnya. Dengan terlebih dahulu memisahkan antara kekuasaan yudikatif dan kekusaan Negara. Umar memberikan kewenangan kepada para Qadi dalam melaksanakan tugasnya tanpa mencampurinya, dengan kata lain kedudukan hakim berdiri sendiri dan terpisah dari kekuasaan eksekutif.
Akan tetapi dengan pembagian tugas dan kekuasaan seperti ini, tidaklah membuat Umar menjadi seorang pemimpin yang hanya berpangku tangan dan menyerahkan urusan kenegaraan sepenuhnya pada para pejabatnya.
Semua pejabat Negara yang diangkatnya tetap berada dibawah pengawasan ketatnya. Tidak jarang Umar berjalan kewilayah-wilayah kekuasaan Islam untuk mengecek sendiri keadaan rakyatnya dan mengetahui kepemimpinan pejabatnya. Jika ada rakyat yang mengadukan pejabatnya maka Umar akan langsung memamnggilnya dan menanyakan kebenarannya.
Bahkan Umar tidak segan memecat para pejabatnya yang dianggap tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik . Pada para pejabat Negara yang diangkatnya umar berwasiat untuk senantiasa bersikap adil tehadap rakyatnya, memperlakukan semua sama tanpa memandang status sosial.
Hal ini dicerminkan secara nyata dalam sikapnya sehari-hari, dimana Umar dikenal sebagai orang yang menjunjung tinggi keadilan dan sangat ketat dalam menjalankan syariat bahkan terhadap keluarganya sendiri. Ini membuat rakyatnya merasa aman dan dihargai sehingga sangat wajar jika Umar sangat dicintai oleh rakyatnya.
4. Asas musyawarah (syura) sebagai dasar hukum pemerintahan.
Disamping prinsip “equal” terhadap semua masyarakatnya, umar juga menjadikan musyawarah sebagai dasar pemerintahannya, dia bercermin pada pemerintahan masa Rasulullah SAW dan khalifah sebelumnya Abu Bakar. Ini mengacu pada firman Allah dalam surah Asy-Syura (42) : 38 :
قال الله تعالى : } … وامرهم شورى بينهم… {
“….Dan persoalan mereka dimusyawaratkan diantara sesama mereka…”.
Adapun bentuk musyawarah pada masa itu agak berbeda dengan bentuk musyawarah dalam system pemerintahan yang kita kenal saat ini. Khalifah memilih sendiri orang-orang yang diajak bermusyawarah, dia pula yang menentukan hasil dari pendapat-pendapat mereka, serta memilki hak menerima atau menolak pendapat-pendapat yang ada. Dengan begitu, kekuasaan penuh berada ditangan khalifah.
Dia bertanggung jawab pada Allah, kepada dirinya sendiri dan kepada umat yang dipimpinnya. Kalau dalam bermusyawarah keputusannya sudah ditetapkan, maka selanjutnya tinggal memutuskan pelaksanaannya. Akan tetapi jika masih belum jelas, maka dikembalikan kepada staf khususnya (lembaga syura’) untuk dimintai pendapat hingga khalifah benar- benar yakin dengan keputusan yang diambilnya.
Dalam bermusyawarah, Umar melibatkan kerabat Nabi dan para pemuka Islam, diwaktu yang lain terkadang umar juga mengajak para pemuda untuk bermusyawarah memutuskan suatu masalah. Sebagai contoh, musyawarah yang dilakukan dalam menyikapi perjalanan pasukan Islam ke Syam yang pada waktu itu sedang dilanda wabah penyakit.
5. Pembentukan dewan (lembaga) administrasi.
Meluasnya wilayah kekuasan Islam mendorong pemerintahan Umar untuk membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang mapan untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. Oleh karena itu, umar berinisiatif untuk mendirikan beberapa dewan (lembaga) yang berfungsi untuk mengatur segala administrasi Negara. Setiap wilayah memiliki dewan masing-masing yang dipimpin oleh seorang al-Katib (sekretaris) .
Disamping lembaga kehakiman yang telah disebutkan diatas, Umar juga membentuk lembaga keuangan yang mengurus pengumpulan dan pembagian pajak (kharaj), jizyah dan pemasukan lainnya. Selain itu mengurus pembagian tunjangan wajib para tentara dan zakat.
Kata dewan sendiri berasal dari kata Persia yang sudah diarabkan, yang berarti lembaran-lembaran, tempat mencatat nama tokoh-tokoh militer dan mereka yang mendapat tunjangan wajib . Dalam pengistilahan sekarang dewan bisa juga disebut lembaga. Khalifah juga membangun baitul mal, mencetak mata uang serta menetapkan tahun Hijri.
Khalifah Umar juga mengupayakan langkah-langkah untuk merangsang perkembangan hasil pertanian dan mengembangkan sumber-sumber baru untuk mensuplai makanan kepada kota-kota baru. Rawa-rawa yang ada dikeringkan dan diubah menjadi lahan pertanian.
Sebagian uang kas Negara yang bersumber dari pajak tanah dan jizyah digunakan untuk perbaikan, membangun kanal untuk kelancaran irigasi pertanian. Disamping itu, pemerintah juga menyelenggarakan pengawasan pasar, mengontrol takaran dan menjaga ketertiban. Semua hal itu mendukung pertumbuhan ekonomi Negara.
Begitulah masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab yang berlangsung selama kurang lebih 10 tahun. Seorang khalifah yang meski berhadapan dengan beban perang dan ekspansi dan disaat yang sama mengemban tugas pemerintahan yang besar , tapi tidak pernah melupakan rakyatnya.
Sosok yang terkenal dengan keadilan, kesederhanaan dan tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang mendudukkan dirinya setara dengan yang dipimpin. Sosok yang merasa kekhalifaan bukan sebagai kekuasaan terhadap yang lain akan tetapi amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya yang setiap langkahnya akan dimintai pertanggungjawabannya.
Khalifah yang Dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya mampu mengukir kejayaan kedaulatan Islam. yang dalam masa kepemimpinannya Islam berkembang sebagai satu kekuatan politik yang kuat dan teratur. membuat kemajuan disegala bidang termasuk dibidang sosial-budaya maupun ekonomi. Membuat kedaulatan Islam semakin kokoh dan dikenang sepanjang sejarah.
Umar Ibn Khattab : Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik 3
B. Perkembangan Islam sebagai Kekuatan politik dimasa Khalifah Umar Ibn Khattab.
1. Khalifah Umar Ibn Khattab menggalang persatuan akidah di semenanjung Arabiyah.
Kesatuan politik negri-negri Arab adalah satu hal yang menjadi perhatian Umar. Dia ingin menggabungkan semua ras dan suku Arab kedalam satu kesatuan yang membentang dari teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah, termasuk Irak dan syam yang berada ditangan Arab banu Lakhm dan Banu Gassan .
Dan menurutnya, kesatuan ini hanya akan terealisasi jika semua orang Arab bisa bersatu dalam satu kesatuan tanah air dan aqidah, untuk itu Umar mengambil langkah pembersihan semenanjung Arabiyah dari agama selain Islam tanpa menyalahi kitabullah dan sunnah Rasulullah. Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran dari semenanjung dan mereka diberikan tanah di Iraq seperti tanah mereka di Najran. Begitu juga dengan kaum Yahudi di Khaibar dan Fadak, mereka dipindahkan ke Syam dan diberi ganti rugi uang serta diperlakukan sebaik-baiknya.
Tidak cukup dengan itu, menurut khalifah persatuan juga tidak akan tercapai jika diantara penduduk Arab masih ada diskriminasi yang membuat sebagian merasa lebih dari yang lain. Maka Umar menghilangkan sebab-sebab diskriminasi tersebut dengan mencabut kebijakan Abu bakar yang melarang kaum riddah untuk ikut berperang dengan pasukan Islam.
Umar juga mengembalikan tawanan perang kepada keluarganya masing-masing. Dengan begitu semua penduduk Arab merasa bahwa mereka adalah satu bangsa dengan tujuan bersama dalam bimbingan suatu politik yang umum dan kepentingan yang utama dibawah pengawasan Amirulmukminin.
2. Ekspansi pasukan Islam serta kebijakan Khalifah Umar terhadap wilayah taklukan.
Disamping tugas menyatukan bangsa Arab di semenanjung, Umar juga mengemban tugas yang tak kalah pentingnya yaitu meneruskan dan menyukseskan ekspansi yang telah dirintis oleh pendahulunya, Khalifah Abu bakar as-shiddiq.
Sebagaimana kita kenal bahwa era Umar adalah era penaklukan dan pembangunan pemerintahan. program pertama yang dilakukan Umar adalah memerintahkan pasukan Islam untuk membebaskan Suriah, Damaskus dengan alasan bahwa Damaskus memiliki benteng yang kokoh .
Akhirnya, Setahun setelah kekalahan tentara Bizantium pada pertempuran di Yarmuk seluruh Suriah jatuh ketangan kekuasaan Islam. Selanjutnya dengan memakai Suriah sebagai basis dan benteng pertahanan, ekspansi diteruskan ke Palestina dan Mesir dibawah komando panglima Amr ibn Ash dan ke Iraq dibawah panglima Sa’ad Ibn abi Waqqash.
Iskandaria sebagai ibu kota Mesir ditaklukkan pada tahun 641 M, dengan demikian Mesir juga sudah berada dalam kekuasaan Islam, Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq ditaklukkan pada tahun 637 M, dari sini ekspansi dilanjutkan untuk menaklukkan Mada’in ibu kota Persia yang jatuh pada tahun yang sama. Kemudian pada tahun 641 M Mosul juga dapat dikuasai.
Dengan demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Suriah dan sebagian besar wilayah Mesir dan Persia . Semuanya dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat, yaitu sepuluh tahun.
Menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya The Origin and development of Islam menjelaskan Ada beberapa factor yang mendukung sukses besarnya ekspansi ini, hingga hanya dalam waktu yang singkat, pasukan Islam dapat menaklukan banyak wilayah, sekaligus menjadi jawaban terhadap ketakjuban kita pada keberhasilan tersebut, bagaimana bisa pasukan yang jumlahnya kecil, dengan perlengkapan perang seadanya dapat menaklukan dua imperium besar yang sudah menjadi momok dan terkenal “menakutkan” karena kekuatan dan jumlahnya.
Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi dua, faktor internal dan eksternal. Faktor Internal penunjang keberhasilan ini adalah semangat kesatuan bangsa Arab yang berakar dari keyakinan besar serta semangat misi da’wah yang tinggi, dimana sebelum Islam datang mereka adalah bangsa yang terpecah belah kemudian Rasulullah SAW menyatukannya dibawah panji kekuasaan Islam, mereka yakin persatuan adalah senjata ampuh bagi mereka dalam mengalahkan kekuatan yang lebih besar.
Disamping itu, kesederhanaan mereka dalam berperang, membawa keluasan bagi mereka dalam bergerak karena tidak diberatkan oleh system persenjataan dan strategi yang khusus.
Di saat yang sama, Islam mengandung ajaran-ajaran yang tidak hanya sekedar mengatur hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhannya dan bukan juga agama yang sekedar membahas tentang urusan akhirat, akan tetapi Islam adalah agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat yang berdiri sendiri lagi mempunyai system pemerintahan, undang-undang dan lembaga sendiri.
Dengan kata lain Islam berlainan dengan agama-agama lain yang hanya memiliki satu corak saja. Disamping corak agama, Islam juga memiliki corak Negara, kebudayaan dan peradaban .
Sedang faktor eksternalnya, pertama, adanya usaha kerajaan Bizantium untuk memaksakan agama yang dianutnya kepada rakyat hingga rakyat tidak merasakan kebebasan beragama, sebaliknya Islam datang menawarkan kebebasan beragama. kedua, rakyat juga dikenakan pajak yang tinggi untuk menutupi biaya perang dua dua imperium besar ini ,
Ketiga, kerajaan-kerajaan ini telah terbiasa dengan kemewahan hingga melemahkan semangat juang mereka, ditambah lagi semua kemewahan yang mereka nikmati didapatkan dengan memeras dan menindas wilayah wilayah yang berada dibawah kekuasaannya sehingga disana-sini terjadi pemberontakan dan perlawanan.
Dengan kata lain, dua imperium ini mengalami masalah dengan daerah taklukannya sendiri. Hal ini sangat berpengaruh pada kekuatan militer dua imperium ini, hingga pasukan Islam dengan mudah dapat menaklukkannya.
Setelah penaklukan selesai langkah Umar selanjutnya adalah merencanakan politik yang akan berlaku dinegeri-negeri yang dibebaskan serta melakukan pembangunan kembali. Dalam mengatur hubungan antara warga penakluk (Islam) dengan yang ditaklukan, Khalifah Umar memegang dua prinsip .
Prinsip pertama adalah membentuk pasukan Islam sebagai satu kekuatan militer yang hanya bertugas untuk menjaga stabilitas dan menjalankan penaklukan berikutnya. Khalifah Umar melarang pembagian tanah wilayah taklukan dan transaksi jual beli tanah kepada tentara Islam berbeda denga kebijakan khalifah terdahulu, sebagai gantinya dia memberikan tunjangan wajib (gaji tetap) kepada seluruh tentara Islam. Kebijakan ini diambil untuk menjaga kosentrasi pasukan Islam terhadap tugas pokoknya.
Umar juga membangun perkampungan-perkampungan militer yang disebut “mishr” (jamaknya amshar) dibeberapa wilayah dan menempatkan orang Arab pedalaman pada perkampungan tersebut untuk mencegah pemberontakan, pengrusakan lahan yang produktif serta untuk memisahkan pasukan Islam dengan warga taklukkan. Amshar ini selain berfungsi sebagai kampung bagi orang Arab pedalaman, juga sebagai pengaturan militer dan pusat distribusi tanah rampasan.
Prinsip kedua yang dijalankan umar adalah menetapkan perintah agar warga taklukan jangan sampai diganggu. Tidak ada pemaksaan dalam beragama, serta menjamin hak-hak warga taklukan seluruh keadaan sosial dan urusan keagamaan yang ada sebelumnya tetap dibiarkan berjalan apa adanya. Umar hanya membebankan pajak (kharaj) dan jizyah terhadap wilayah-wilayah taklukan tanpa sedikitpun menggangu tanah dan pengelolaan mereka.
1. Khalifah Umar Ibn Khattab menggalang persatuan akidah di semenanjung Arabiyah.
Kesatuan politik negri-negri Arab adalah satu hal yang menjadi perhatian Umar. Dia ingin menggabungkan semua ras dan suku Arab kedalam satu kesatuan yang membentang dari teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah, termasuk Irak dan syam yang berada ditangan Arab banu Lakhm dan Banu Gassan .
Dan menurutnya, kesatuan ini hanya akan terealisasi jika semua orang Arab bisa bersatu dalam satu kesatuan tanah air dan aqidah, untuk itu Umar mengambil langkah pembersihan semenanjung Arabiyah dari agama selain Islam tanpa menyalahi kitabullah dan sunnah Rasulullah. Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran dari semenanjung dan mereka diberikan tanah di Iraq seperti tanah mereka di Najran. Begitu juga dengan kaum Yahudi di Khaibar dan Fadak, mereka dipindahkan ke Syam dan diberi ganti rugi uang serta diperlakukan sebaik-baiknya.
Tidak cukup dengan itu, menurut khalifah persatuan juga tidak akan tercapai jika diantara penduduk Arab masih ada diskriminasi yang membuat sebagian merasa lebih dari yang lain. Maka Umar menghilangkan sebab-sebab diskriminasi tersebut dengan mencabut kebijakan Abu bakar yang melarang kaum riddah untuk ikut berperang dengan pasukan Islam.
Umar juga mengembalikan tawanan perang kepada keluarganya masing-masing. Dengan begitu semua penduduk Arab merasa bahwa mereka adalah satu bangsa dengan tujuan bersama dalam bimbingan suatu politik yang umum dan kepentingan yang utama dibawah pengawasan Amirulmukminin.
2. Ekspansi pasukan Islam serta kebijakan Khalifah Umar terhadap wilayah taklukan.
Disamping tugas menyatukan bangsa Arab di semenanjung, Umar juga mengemban tugas yang tak kalah pentingnya yaitu meneruskan dan menyukseskan ekspansi yang telah dirintis oleh pendahulunya, Khalifah Abu bakar as-shiddiq.
Sebagaimana kita kenal bahwa era Umar adalah era penaklukan dan pembangunan pemerintahan. program pertama yang dilakukan Umar adalah memerintahkan pasukan Islam untuk membebaskan Suriah, Damaskus dengan alasan bahwa Damaskus memiliki benteng yang kokoh .
Akhirnya, Setahun setelah kekalahan tentara Bizantium pada pertempuran di Yarmuk seluruh Suriah jatuh ketangan kekuasaan Islam. Selanjutnya dengan memakai Suriah sebagai basis dan benteng pertahanan, ekspansi diteruskan ke Palestina dan Mesir dibawah komando panglima Amr ibn Ash dan ke Iraq dibawah panglima Sa’ad Ibn abi Waqqash.
Iskandaria sebagai ibu kota Mesir ditaklukkan pada tahun 641 M, dengan demikian Mesir juga sudah berada dalam kekuasaan Islam, Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq ditaklukkan pada tahun 637 M, dari sini ekspansi dilanjutkan untuk menaklukkan Mada’in ibu kota Persia yang jatuh pada tahun yang sama. Kemudian pada tahun 641 M Mosul juga dapat dikuasai.
Dengan demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Suriah dan sebagian besar wilayah Mesir dan Persia . Semuanya dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat, yaitu sepuluh tahun.
Menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya The Origin and development of Islam menjelaskan Ada beberapa factor yang mendukung sukses besarnya ekspansi ini, hingga hanya dalam waktu yang singkat, pasukan Islam dapat menaklukan banyak wilayah, sekaligus menjadi jawaban terhadap ketakjuban kita pada keberhasilan tersebut, bagaimana bisa pasukan yang jumlahnya kecil, dengan perlengkapan perang seadanya dapat menaklukan dua imperium besar yang sudah menjadi momok dan terkenal “menakutkan” karena kekuatan dan jumlahnya.
Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi dua, faktor internal dan eksternal. Faktor Internal penunjang keberhasilan ini adalah semangat kesatuan bangsa Arab yang berakar dari keyakinan besar serta semangat misi da’wah yang tinggi, dimana sebelum Islam datang mereka adalah bangsa yang terpecah belah kemudian Rasulullah SAW menyatukannya dibawah panji kekuasaan Islam, mereka yakin persatuan adalah senjata ampuh bagi mereka dalam mengalahkan kekuatan yang lebih besar.
Disamping itu, kesederhanaan mereka dalam berperang, membawa keluasan bagi mereka dalam bergerak karena tidak diberatkan oleh system persenjataan dan strategi yang khusus.
Di saat yang sama, Islam mengandung ajaran-ajaran yang tidak hanya sekedar mengatur hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhannya dan bukan juga agama yang sekedar membahas tentang urusan akhirat, akan tetapi Islam adalah agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat yang berdiri sendiri lagi mempunyai system pemerintahan, undang-undang dan lembaga sendiri.
Dengan kata lain Islam berlainan dengan agama-agama lain yang hanya memiliki satu corak saja. Disamping corak agama, Islam juga memiliki corak Negara, kebudayaan dan peradaban .
Sedang faktor eksternalnya, pertama, adanya usaha kerajaan Bizantium untuk memaksakan agama yang dianutnya kepada rakyat hingga rakyat tidak merasakan kebebasan beragama, sebaliknya Islam datang menawarkan kebebasan beragama. kedua, rakyat juga dikenakan pajak yang tinggi untuk menutupi biaya perang dua dua imperium besar ini ,
Ketiga, kerajaan-kerajaan ini telah terbiasa dengan kemewahan hingga melemahkan semangat juang mereka, ditambah lagi semua kemewahan yang mereka nikmati didapatkan dengan memeras dan menindas wilayah wilayah yang berada dibawah kekuasaannya sehingga disana-sini terjadi pemberontakan dan perlawanan.
Dengan kata lain, dua imperium ini mengalami masalah dengan daerah taklukannya sendiri. Hal ini sangat berpengaruh pada kekuatan militer dua imperium ini, hingga pasukan Islam dengan mudah dapat menaklukkannya.
Setelah penaklukan selesai langkah Umar selanjutnya adalah merencanakan politik yang akan berlaku dinegeri-negeri yang dibebaskan serta melakukan pembangunan kembali. Dalam mengatur hubungan antara warga penakluk (Islam) dengan yang ditaklukan, Khalifah Umar memegang dua prinsip .
Prinsip pertama adalah membentuk pasukan Islam sebagai satu kekuatan militer yang hanya bertugas untuk menjaga stabilitas dan menjalankan penaklukan berikutnya. Khalifah Umar melarang pembagian tanah wilayah taklukan dan transaksi jual beli tanah kepada tentara Islam berbeda denga kebijakan khalifah terdahulu, sebagai gantinya dia memberikan tunjangan wajib (gaji tetap) kepada seluruh tentara Islam. Kebijakan ini diambil untuk menjaga kosentrasi pasukan Islam terhadap tugas pokoknya.
Umar juga membangun perkampungan-perkampungan militer yang disebut “mishr” (jamaknya amshar) dibeberapa wilayah dan menempatkan orang Arab pedalaman pada perkampungan tersebut untuk mencegah pemberontakan, pengrusakan lahan yang produktif serta untuk memisahkan pasukan Islam dengan warga taklukkan. Amshar ini selain berfungsi sebagai kampung bagi orang Arab pedalaman, juga sebagai pengaturan militer dan pusat distribusi tanah rampasan.
Prinsip kedua yang dijalankan umar adalah menetapkan perintah agar warga taklukan jangan sampai diganggu. Tidak ada pemaksaan dalam beragama, serta menjamin hak-hak warga taklukan seluruh keadaan sosial dan urusan keagamaan yang ada sebelumnya tetap dibiarkan berjalan apa adanya. Umar hanya membebankan pajak (kharaj) dan jizyah terhadap wilayah-wilayah taklukan tanpa sedikitpun menggangu tanah dan pengelolaan mereka.
Umar Ibn Khattab : Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik 2
A. Biografi Umar Ibn Khattab.
Umar adalah seorang pemuka terpandang dalam bangsa Arab, nama lengkapnya adalah Umar Ibn Khattab Ibn Nufail Ibn Abdil Uzza Ibn Riyah Ibn Abdullah Ibn Qurt Ibn Razah Ibn ‘Ady Ibn Ka’ab Ibn Ghalib Al-Qurays Al-Adawy. Dia dikenal dengan sebutan Abu Hafshah.
Ayahnya benama Nufail Ibn Abi abdil Uzza sedang ibunya Hantamah Binti Hasyim Ibn Mughirah Ibn Abdillah Ibn Umar Ibn Makhzum. Silsilah keluarganya dan Rasulullah bertemu pada kakek Nabi yang ke delapan.
Diriwayatkan dari Umar bahwa dia lahir ba’da fajar 13 tahun setelah Nabi saw. dilahirkan. Dia dibesarkan sebagaimana anak-anak suku Quraisy lainnya. Akan tetapi yang membuatnya berbeda adalah karena pengetahuannya dalam membaca dan menulis. Dimasa remajanya Umar bekerja menjadi penggembala kambing, dan sangat senang berkuda serta gemar meminum khamr.
Pada zaman jahiliyyah Umar merupakan sosok yang sangat disegani dikalangan kaum Qurays karena ketegasan dan keberaniannya. Dia sangat fanatik terhadap agama nenek moyangnya dan merupakan tokoh kafir Qurays yang paling menentang Islam bahkan bertekad untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi Allah SWT berkehendak untuk memuliakan Islam dengan masuknya Umar kedalam Agama ini, seperti apa didambakan oleh Rasulullah SAW melalui doanya :
"ا للهم ايد االاسلام بابي الحكم بن حشام او بعمر بن الخطاب. "
“Ya Allah, perkuatlah Islam dengan Abul-Hakam bin Hisyam atau Umar bin Khattab.”
Umar memeluk Islam pada tahun ke-6 sesudah Nubuwat atau tahun ke-7 sebelum Hijrah. Banyak versi tentang keislamannya, menurut salah satu riwayat yang terkenal tentang itu bahwa Syahdan ketika Umar berjalan mencari Nabi SAW dengan tujuan membunuhnya, dia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah yang memberitakan tentang keislaman adik perempuan dan iparnya.
Seketika itu juga dia bergegas memutar tujuan kerumah saudarinya. Sesampainya di sana , samar-samar Umar mendengar suara orang membaca Al-Qur’an, maka dimintanya lembaran Al-Qur’an yang telah didengarnya tersebut, setelah membacanya Umar berkata : “Sungguh Indah dan Mulia kata-kata ini.”.
Hati keras Umar seketika menjadi lembut dan lapang menerima Islam, segala kekuatan dan tekad besarnya untuk membunuh Nabi berubah menjadi tangisan hebat dan keingintahuan, maka secepatnya dia mencari Nabi SAW dan mendapai beliau tengah berada didarul Arqam di Safa bersama para sahabatnya yang lain, Umar pun langsung menyatakan keislamannya.
Mulai saat itu, Umar menjadi tombak bagi perjuangan Islam dandikenal sangat keras dan disiplin dalam melaksanakan syariat Islam, sangat dekat dengan Nabi SAW dan sering diminta pendapatnya dalam menghadapi masalah-masalah yang ada. Beberapa ayat Al-Qur’an bahkan turun berkenaan dengannya, salah satu contoh adalah ayat yang mendukung pendapatnya berkenaan dengan tawanan perang Badr.
Rasulullah SAW sendiri menggelarnya dengan sebutan “al-Farouq” (pemisah), yang memisahkan antara yang hak dan yang batil. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata : “Allah menempatkan kebenaran di lidah dan hati Umar.” Dengan semua karateristik diatas, kepribadian Umar sudah dikenal baik oleh masyarakat Islam jauh sebelum dia menduduki jabatan khalifah.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Rasulullah SAW tidak menunjuk seseorang untuk menggantinya, hal ini membuat kebingungan dikalangan kaum muslimin, masing masing kabilah memiliki calon untuk diajukan menjadi pengganti Nabi SAW, ditengah keadaan ini Umar mengambil peran yang sangat besar, dia kemudian maju dan membai’at Abu Bakar as-Shiddiq, orang yang pertama kali membenarkan risalah kenabian dan Islam dan sangat dekat dengan Rasulullah semasa hidupnya.
Melihat sikap Umar, para sahabat yang lain pun ikut membai’at Abu Bakar hingga terpilihlah dia menjadi khalifah pertama pasca Rasulullah SAW dan terhindarlah Islam dari kericuhan karena kebingungan ummat, Abu Bakar sendiri dikenal dengan panggilan khalifatur-rasul atau pengganti Nabi SAW . Abu Bakar memegang jabatan khalifah kurang lebih 2 tahun 3 bulan 13 hari , kemudian setelah itu amanah kekhalifaan diembankan kepada Umar Ibn khattab dengan penunjukkan langsung oleh Abu bakar menjelang kematiannya.
Pada awalnya banyak orang yang ragu dengan diangkatnya Umar menjadi khalifah karena khawatir melihat ketegasan dan kedisiplinan Umar serta perangainya yang keras. Akan tetapi Abu Bakar berpendapat lain, menurutnya, justru dengan kepribadiannya yang keras,Umar dapat menjaga dan melindungi kedaulatan Islam yang sudah ada. Ini terlihat perkataan Abu bakar : “aku telah memilih orang yang paling baik diantara kaum muslimin” .
Abu Bakar Khawatir Kericuhan Akan timbul kembali antara golongan Anshar dan Muhajirin, bahkan mungkin akan lebih parah. Sehingga Abu Bakar memutuskan untuk menunjuk penggantinya. Dan melihat sosok Umar yang selalu mendahulukan kepentingan umum, dialah yang dirasa pantas untuk menempati posisi itu.
Dan seperti itulah yang terjadi, dengan ketegasan sikap dan kebijaksanaan pola pikirnya, kecenderungannya selalu mengutamakan musyawarah juga kemampuan politiknya dalam me-manage pemerintahan dan membangun hubungan dengan pihak luar membawa Islam berkembang sangat pesat, menyebar keseluruh semenanjung Arabia, diperluas dari perbatasan Cina di Timur sampai keseberang Sirenaika (Cyrenaica) di Barat, dan dari laut Kaspia di Utara sampai ke Nubia di Selatan .
Semua bangsa Arab bergabung menjadi satu pemerintahan yang kuat dibawah naungan Islam, memiliki system dan tata Negara yang baik, serta mengalami kemajuan diberbagai bidang, baik pertanian, politik, social, budaya dan sebagainya. Dengan demikian semakin kokohlah kedaulatan Islam.
Masa kekhalifaan Umar berlangsung selama 10 tahun, dia digelar dengan sebutan Amirul Mu’minin (panglima orang-orang Mu’min) , kematiannya sangat tragis, dia dibunuh oleh seorang berkebangsaan Persia bernama Abu Lu’lu’ah yang tiba-tiba menikamnya ketika sedang melaksanakan shalat subuh dimasjid Nabawi, akibatnya khalifah Umar terluka parah, dan meninggal tiga hari pasca peristiwa tersebut, lebih tepatnya 1 Muharram 23 H/644 M .
Umar adalah seorang pemuka terpandang dalam bangsa Arab, nama lengkapnya adalah Umar Ibn Khattab Ibn Nufail Ibn Abdil Uzza Ibn Riyah Ibn Abdullah Ibn Qurt Ibn Razah Ibn ‘Ady Ibn Ka’ab Ibn Ghalib Al-Qurays Al-Adawy. Dia dikenal dengan sebutan Abu Hafshah.
Ayahnya benama Nufail Ibn Abi abdil Uzza sedang ibunya Hantamah Binti Hasyim Ibn Mughirah Ibn Abdillah Ibn Umar Ibn Makhzum. Silsilah keluarganya dan Rasulullah bertemu pada kakek Nabi yang ke delapan.
Diriwayatkan dari Umar bahwa dia lahir ba’da fajar 13 tahun setelah Nabi saw. dilahirkan. Dia dibesarkan sebagaimana anak-anak suku Quraisy lainnya. Akan tetapi yang membuatnya berbeda adalah karena pengetahuannya dalam membaca dan menulis. Dimasa remajanya Umar bekerja menjadi penggembala kambing, dan sangat senang berkuda serta gemar meminum khamr.
Pada zaman jahiliyyah Umar merupakan sosok yang sangat disegani dikalangan kaum Qurays karena ketegasan dan keberaniannya. Dia sangat fanatik terhadap agama nenek moyangnya dan merupakan tokoh kafir Qurays yang paling menentang Islam bahkan bertekad untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi Allah SWT berkehendak untuk memuliakan Islam dengan masuknya Umar kedalam Agama ini, seperti apa didambakan oleh Rasulullah SAW melalui doanya :
"ا للهم ايد االاسلام بابي الحكم بن حشام او بعمر بن الخطاب. "
“Ya Allah, perkuatlah Islam dengan Abul-Hakam bin Hisyam atau Umar bin Khattab.”
Umar memeluk Islam pada tahun ke-6 sesudah Nubuwat atau tahun ke-7 sebelum Hijrah. Banyak versi tentang keislamannya, menurut salah satu riwayat yang terkenal tentang itu bahwa Syahdan ketika Umar berjalan mencari Nabi SAW dengan tujuan membunuhnya, dia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah yang memberitakan tentang keislaman adik perempuan dan iparnya.
Seketika itu juga dia bergegas memutar tujuan kerumah saudarinya. Sesampainya di sana , samar-samar Umar mendengar suara orang membaca Al-Qur’an, maka dimintanya lembaran Al-Qur’an yang telah didengarnya tersebut, setelah membacanya Umar berkata : “Sungguh Indah dan Mulia kata-kata ini.”.
Hati keras Umar seketika menjadi lembut dan lapang menerima Islam, segala kekuatan dan tekad besarnya untuk membunuh Nabi berubah menjadi tangisan hebat dan keingintahuan, maka secepatnya dia mencari Nabi SAW dan mendapai beliau tengah berada didarul Arqam di Safa bersama para sahabatnya yang lain, Umar pun langsung menyatakan keislamannya.
Mulai saat itu, Umar menjadi tombak bagi perjuangan Islam dandikenal sangat keras dan disiplin dalam melaksanakan syariat Islam, sangat dekat dengan Nabi SAW dan sering diminta pendapatnya dalam menghadapi masalah-masalah yang ada. Beberapa ayat Al-Qur’an bahkan turun berkenaan dengannya, salah satu contoh adalah ayat yang mendukung pendapatnya berkenaan dengan tawanan perang Badr.
Rasulullah SAW sendiri menggelarnya dengan sebutan “al-Farouq” (pemisah), yang memisahkan antara yang hak dan yang batil. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata : “Allah menempatkan kebenaran di lidah dan hati Umar.” Dengan semua karateristik diatas, kepribadian Umar sudah dikenal baik oleh masyarakat Islam jauh sebelum dia menduduki jabatan khalifah.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Rasulullah SAW tidak menunjuk seseorang untuk menggantinya, hal ini membuat kebingungan dikalangan kaum muslimin, masing masing kabilah memiliki calon untuk diajukan menjadi pengganti Nabi SAW, ditengah keadaan ini Umar mengambil peran yang sangat besar, dia kemudian maju dan membai’at Abu Bakar as-Shiddiq, orang yang pertama kali membenarkan risalah kenabian dan Islam dan sangat dekat dengan Rasulullah semasa hidupnya.
Melihat sikap Umar, para sahabat yang lain pun ikut membai’at Abu Bakar hingga terpilihlah dia menjadi khalifah pertama pasca Rasulullah SAW dan terhindarlah Islam dari kericuhan karena kebingungan ummat, Abu Bakar sendiri dikenal dengan panggilan khalifatur-rasul atau pengganti Nabi SAW . Abu Bakar memegang jabatan khalifah kurang lebih 2 tahun 3 bulan 13 hari , kemudian setelah itu amanah kekhalifaan diembankan kepada Umar Ibn khattab dengan penunjukkan langsung oleh Abu bakar menjelang kematiannya.
Pada awalnya banyak orang yang ragu dengan diangkatnya Umar menjadi khalifah karena khawatir melihat ketegasan dan kedisiplinan Umar serta perangainya yang keras. Akan tetapi Abu Bakar berpendapat lain, menurutnya, justru dengan kepribadiannya yang keras,Umar dapat menjaga dan melindungi kedaulatan Islam yang sudah ada. Ini terlihat perkataan Abu bakar : “aku telah memilih orang yang paling baik diantara kaum muslimin” .
Abu Bakar Khawatir Kericuhan Akan timbul kembali antara golongan Anshar dan Muhajirin, bahkan mungkin akan lebih parah. Sehingga Abu Bakar memutuskan untuk menunjuk penggantinya. Dan melihat sosok Umar yang selalu mendahulukan kepentingan umum, dialah yang dirasa pantas untuk menempati posisi itu.
Dan seperti itulah yang terjadi, dengan ketegasan sikap dan kebijaksanaan pola pikirnya, kecenderungannya selalu mengutamakan musyawarah juga kemampuan politiknya dalam me-manage pemerintahan dan membangun hubungan dengan pihak luar membawa Islam berkembang sangat pesat, menyebar keseluruh semenanjung Arabia, diperluas dari perbatasan Cina di Timur sampai keseberang Sirenaika (Cyrenaica) di Barat, dan dari laut Kaspia di Utara sampai ke Nubia di Selatan .
Semua bangsa Arab bergabung menjadi satu pemerintahan yang kuat dibawah naungan Islam, memiliki system dan tata Negara yang baik, serta mengalami kemajuan diberbagai bidang, baik pertanian, politik, social, budaya dan sebagainya. Dengan demikian semakin kokohlah kedaulatan Islam.
Masa kekhalifaan Umar berlangsung selama 10 tahun, dia digelar dengan sebutan Amirul Mu’minin (panglima orang-orang Mu’min) , kematiannya sangat tragis, dia dibunuh oleh seorang berkebangsaan Persia bernama Abu Lu’lu’ah yang tiba-tiba menikamnya ketika sedang melaksanakan shalat subuh dimasjid Nabawi, akibatnya khalifah Umar terluka parah, dan meninggal tiga hari pasca peristiwa tersebut, lebih tepatnya 1 Muharram 23 H/644 M .
Umar Ibn Khattab : Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik 1
A. Latar Belakang.
Al-Qur’an sebagai sumber pertama syariat Islam berisikan ajakan kepada kaum muslimin agar berislam secara kaffah. Salah satu sendi ajarannya adalah mengajarkan bagaimana mengurusi masalah-masalah hidup yang ada, termasuk didalamnya masalah negara dan politik.
Politik sendiri dapat diartikan sebagai cara dan usaha menangani masalah-masalah rakyat dengan suatu system atau seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia . Sedangkan imam Syafi’i seperti dikutip oleh Salim Ali Al-Bahansawi mendefenisikan politik sebagai hal-hal yang sesuai dengan syara’ . Jika dilihat dari kedua defenisi diatas, jelaslah bahwa politik merupakan salah satu bagian dari syariat Islam.
Napak tilas kemajuan peradaban dan kedaulatan Islam dapat kita lihat bermula pada zaman Rasulullah SAW , yang ketika itu berperan sebagai tokoh sentral agama sekaligus kepala Negara baru dalam periode Madinah.
Langkah-langkah yang diambil Rasulullah sebagai contoh perluasan wilayah Islam di berbagai daerah di Arabiayah sekaligus membebaskan wilayah-wilayah tersebut dari kekuasaan asing, mempersatukan kaum muslimin dengan cara memepersaudarakan kaum muhajirin dan anshar, mengirim beberapa utusan ke kerajaan-kerajaan, ataupun melakukan berbagai perjanjian dengan non-muslim merupakan langkah awal politik kedaulatan Islam.
Langkah tersebut kemudian dilanjutkan oleh khalifatur-rasul Abu Bakar Ash-shiddiq yang dibai’at oleh mayoritas kaum muslimin pada masa itu. Pada masa kekhalifaannya, Abu Bakar memfokuskan pada pemberatasan orang-orang murtad (ridda). Dalam kepemimpinannya juga kaum muslimin dapat menghancurkan pasukan Persia didelta Furat serta meringkus pasukan Rumawi didaerah Syam, dengan ini Abu Bakar juga berarti sudah merintis jalan kearah kemenangan dan kedaulatan, setelah untuk itu agama Islam menyiapkan moral dan semangat yang besar.
Selanjutnya Ketika Abu Bakar berada dihujung kematiannya, dia menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya, dan dimasa kepemimpinan Umar-lah kedaulatan Islam mengalami berbagai perubahan dan kemajuan yang pesat. Hal ini dikarenakan kepribadian dan karakteristik pemimpin yang dimiliki Umar yang sampai sekarangpun susah dicari tandingannya.
Pribadinya yang keras dalam menetapkan syariat sekaligus lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap orang lain, menjadi perpaduan yang sangat berpengaruh pada kepemimpinannya masa itu. Ditambah lagi pemikirannya yang cemerlang dan terobosan-terobosannya membuat Islam semakin maju dan berkembang.
Ia berperan sebagai kepala Negara , tokoh agama, pemberi arahan. Bahkan merasa tidak cukup dengan itu, dia juga berperan sebagai pengawas bagi semua pejabat Negara yang diangkatnya, melihat sendiri keadilan dan pemerintahan yang dijalankan oleh mereka, serta sangat disiplin dalam memberlakukan aturan-aturannya. Karena itulah rakyatnya merasa aman dalam kepemimpinannya dan menjadikannya seorang pemimpin yang sangat dicintai.
Memang benar bahwa prinsip-prinsip dasar politik itu berpusat pada kaidah-kaidah dan ajaran Islam yang telah diberikan perinciannya oleh Rasulullah SAW, dan kemudian diikuti oleh Khalifah sebelumnya Abu Bakar as-Siddiq yang sekaligus memperjelas kaidah-kaidah tersebut, akan tetapi pada masa Umarlah prinsip-prinsip dasar dan bimbingan itu terwujud nyata dalam sebuah system pengaturan untuk negeri-negeri Arab dan untuk seluruh kedaulatan Islam. Dengan system inilah Kedaulatan Islam tetap terpelihara dan bertahan.
Masa Umar terkenal dengan perubahan dan perbaikan pemerintahan, ijtihad dan fikrahnya adalah ”poin” besar bagi berkembangnya daulat Islam. Bahkan langkah dan hasil pemikirannya menjadi sample system dasar pemerintahan sampai sekarang.
Al-Qur’an sebagai sumber pertama syariat Islam berisikan ajakan kepada kaum muslimin agar berislam secara kaffah. Salah satu sendi ajarannya adalah mengajarkan bagaimana mengurusi masalah-masalah hidup yang ada, termasuk didalamnya masalah negara dan politik.
Politik sendiri dapat diartikan sebagai cara dan usaha menangani masalah-masalah rakyat dengan suatu system atau seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia . Sedangkan imam Syafi’i seperti dikutip oleh Salim Ali Al-Bahansawi mendefenisikan politik sebagai hal-hal yang sesuai dengan syara’ . Jika dilihat dari kedua defenisi diatas, jelaslah bahwa politik merupakan salah satu bagian dari syariat Islam.
Napak tilas kemajuan peradaban dan kedaulatan Islam dapat kita lihat bermula pada zaman Rasulullah SAW , yang ketika itu berperan sebagai tokoh sentral agama sekaligus kepala Negara baru dalam periode Madinah.
Langkah-langkah yang diambil Rasulullah sebagai contoh perluasan wilayah Islam di berbagai daerah di Arabiayah sekaligus membebaskan wilayah-wilayah tersebut dari kekuasaan asing, mempersatukan kaum muslimin dengan cara memepersaudarakan kaum muhajirin dan anshar, mengirim beberapa utusan ke kerajaan-kerajaan, ataupun melakukan berbagai perjanjian dengan non-muslim merupakan langkah awal politik kedaulatan Islam.
Langkah tersebut kemudian dilanjutkan oleh khalifatur-rasul Abu Bakar Ash-shiddiq yang dibai’at oleh mayoritas kaum muslimin pada masa itu. Pada masa kekhalifaannya, Abu Bakar memfokuskan pada pemberatasan orang-orang murtad (ridda). Dalam kepemimpinannya juga kaum muslimin dapat menghancurkan pasukan Persia didelta Furat serta meringkus pasukan Rumawi didaerah Syam, dengan ini Abu Bakar juga berarti sudah merintis jalan kearah kemenangan dan kedaulatan, setelah untuk itu agama Islam menyiapkan moral dan semangat yang besar.
Selanjutnya Ketika Abu Bakar berada dihujung kematiannya, dia menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya, dan dimasa kepemimpinan Umar-lah kedaulatan Islam mengalami berbagai perubahan dan kemajuan yang pesat. Hal ini dikarenakan kepribadian dan karakteristik pemimpin yang dimiliki Umar yang sampai sekarangpun susah dicari tandingannya.
Pribadinya yang keras dalam menetapkan syariat sekaligus lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap orang lain, menjadi perpaduan yang sangat berpengaruh pada kepemimpinannya masa itu. Ditambah lagi pemikirannya yang cemerlang dan terobosan-terobosannya membuat Islam semakin maju dan berkembang.
Ia berperan sebagai kepala Negara , tokoh agama, pemberi arahan. Bahkan merasa tidak cukup dengan itu, dia juga berperan sebagai pengawas bagi semua pejabat Negara yang diangkatnya, melihat sendiri keadilan dan pemerintahan yang dijalankan oleh mereka, serta sangat disiplin dalam memberlakukan aturan-aturannya. Karena itulah rakyatnya merasa aman dalam kepemimpinannya dan menjadikannya seorang pemimpin yang sangat dicintai.
Memang benar bahwa prinsip-prinsip dasar politik itu berpusat pada kaidah-kaidah dan ajaran Islam yang telah diberikan perinciannya oleh Rasulullah SAW, dan kemudian diikuti oleh Khalifah sebelumnya Abu Bakar as-Siddiq yang sekaligus memperjelas kaidah-kaidah tersebut, akan tetapi pada masa Umarlah prinsip-prinsip dasar dan bimbingan itu terwujud nyata dalam sebuah system pengaturan untuk negeri-negeri Arab dan untuk seluruh kedaulatan Islam. Dengan system inilah Kedaulatan Islam tetap terpelihara dan bertahan.
Masa Umar terkenal dengan perubahan dan perbaikan pemerintahan, ijtihad dan fikrahnya adalah ”poin” besar bagi berkembangnya daulat Islam. Bahkan langkah dan hasil pemikirannya menjadi sample system dasar pemerintahan sampai sekarang.
Ayat-ayat Makkiah Madaniah 5
E. Urgensi mempelajari Makkiah dan Madaniah.
Pembahasan tentang ilmu Makkiah dan Madaniah merupakan salah satu cabang ilmu Al-Qur’an yang penting untuk diketahui. Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi dalam kitabnya at-Tanbih ‘ala Fadhli ‘Ulumil Qur’an seperti yang dikutip oleh az-Zarkasyi menyatakan bahwa diantara ilmu-ilmu Al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang turunnya Al-Qur’an. Selanjutnya beliau menyebutkan 25 macam ilmu yang terkait dengan ilmu Nuzul Qur’an tersebut diantaranya ilmu yang mempelajari tentang urutan turunnya ayat Al-Qur’an diMakkah dan Madinah. Beliau mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui kedua puluh lima macam ilmu dan tak dapat membedakannya, maka ia tidak berhak berbicara tentang Al-Qur’an.
Adapun pentingnya mengetahui Makkiah dan Madaniah, diantaranya sebagai berikut :
1. Dengan mengetahui Makkiah dan Madaniah kita dapat membedakan antara ayat yang nasikh dan mansukh jika terdapat makna yang kontradiksi. Jika kita mengetahui dari kedua ayat yang kontradiksi tersebut salah satunya Makkiah dan lainnya Madaniah, maka yang turun belakangan (Madaniah) menghapus yang turun lebih dahulu (Makkiah).
2. Kita dapat mengetahui metode dan ciri khas dakwah yang diajarkan Islam lewat Nabi saw. bahwa tema yang diangkat dan gaya bahasa (retorika) dalam berdakwah dapat berbeda dengan melihat kondisi dan sasaran dakwah tersebut.
3. Dengan mengetahui Makki dan Madani kita bisa melihat gaya bahasa Al-Qur’an dimana susunan bahasa yang dipakai sesuai dengan kenyataan kepribadian lawan bicaranya (sasarannya).
4. Kita dapat melihat pembentukan dan penerapan syari’at islam yang ditempatkan pada proporsi yang tepat secara bertahap tergantung kesiapan ummat.
5. Mengetahui sejarah hidup Rasulullah saw. melalui ayat-ayat Al-Quran, karena sebab turunnya wahyu sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peistiwanya, baik dalam periode Makkah maupun Madinah.
Itulah bebarapa diantara urgensi mempelajari Makkiah dan Madaniah. Dengan mengetahui ilmu tersebut selain akan dapat menambah keyakinan kita bahwa Al-Qur’an yang sampai kepada kita memang benar-benar terhindar dari perubahan dan penambahan dari aslinya , kita juga diharapkan mampu memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahamam yang benar, sekaligus menerapkan bimbingan dan ajaran yang terdapat didalamnya dalam kehidupan kita didunia.
Pembahasan tentang ilmu Makkiah dan Madaniah merupakan salah satu cabang ilmu Al-Qur’an yang penting untuk diketahui. Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi dalam kitabnya at-Tanbih ‘ala Fadhli ‘Ulumil Qur’an seperti yang dikutip oleh az-Zarkasyi menyatakan bahwa diantara ilmu-ilmu Al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang turunnya Al-Qur’an. Selanjutnya beliau menyebutkan 25 macam ilmu yang terkait dengan ilmu Nuzul Qur’an tersebut diantaranya ilmu yang mempelajari tentang urutan turunnya ayat Al-Qur’an diMakkah dan Madinah. Beliau mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui kedua puluh lima macam ilmu dan tak dapat membedakannya, maka ia tidak berhak berbicara tentang Al-Qur’an.
Adapun pentingnya mengetahui Makkiah dan Madaniah, diantaranya sebagai berikut :
1. Dengan mengetahui Makkiah dan Madaniah kita dapat membedakan antara ayat yang nasikh dan mansukh jika terdapat makna yang kontradiksi. Jika kita mengetahui dari kedua ayat yang kontradiksi tersebut salah satunya Makkiah dan lainnya Madaniah, maka yang turun belakangan (Madaniah) menghapus yang turun lebih dahulu (Makkiah).
2. Kita dapat mengetahui metode dan ciri khas dakwah yang diajarkan Islam lewat Nabi saw. bahwa tema yang diangkat dan gaya bahasa (retorika) dalam berdakwah dapat berbeda dengan melihat kondisi dan sasaran dakwah tersebut.
3. Dengan mengetahui Makki dan Madani kita bisa melihat gaya bahasa Al-Qur’an dimana susunan bahasa yang dipakai sesuai dengan kenyataan kepribadian lawan bicaranya (sasarannya).
4. Kita dapat melihat pembentukan dan penerapan syari’at islam yang ditempatkan pada proporsi yang tepat secara bertahap tergantung kesiapan ummat.
5. Mengetahui sejarah hidup Rasulullah saw. melalui ayat-ayat Al-Quran, karena sebab turunnya wahyu sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peistiwanya, baik dalam periode Makkah maupun Madinah.
Itulah bebarapa diantara urgensi mempelajari Makkiah dan Madaniah. Dengan mengetahui ilmu tersebut selain akan dapat menambah keyakinan kita bahwa Al-Qur’an yang sampai kepada kita memang benar-benar terhindar dari perubahan dan penambahan dari aslinya , kita juga diharapkan mampu memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahamam yang benar, sekaligus menerapkan bimbingan dan ajaran yang terdapat didalamnya dalam kehidupan kita didunia.
Ayat-ayat Makkiah Madaniah 4
D. Klasifikasi Makkiah dan Madaniah.
Manna’ Khalil Qattan dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan 14 klasifikasi ayat dan surah dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan Makkiah dan Madaniah. Menurutnya klasifikasi ini merupakan hal yang terpenting untuk dipelajari oleh para ulama dalam pembahasan mengenai Makkiah dan Madaniah. Klasifikasi tersebut yaitu:
1. Surah yang diturunkan di Makkah.
Rasulullah saw. berada diMakkah kurang lebih selama 12 tahun 5 bulan 13 hari. Terhitung dari 17 Ramadhan tahun 41 sampai dengan awal Rabi’ul awal tahun 54 dari milad Nabi.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah bilangan surah Makkiah dan Madaniah, Al-Khudary dalam bukunya Tarikh Tasyri’ menyebutkan bahwa surah Makkiah berjumlah 91 surah dan surah Madaniah berjumlah 23 surah. Az-Zarkasyi menyebutkan jumlah surah Makkiah sebanyak 85 surah dan Madaniah 29 surah , sedang pendapat yang rajih seperti yang dikutip imam Suyuti dari Abu Hasan al-Hassari adalah Makkiah berjumlah 82 surah, Madaniah 20 surah dan 12 surah yang lain masih diperselisihkan.
Adapun surah-surah yang diklasifikasikan sebagai surah Makkiah adalah sebagai berikut : 1). Al-An’am, 2). Al-A’raf, 3). Yunus, 4). Hud, 5). Yusuf, 6). Ibrahim, 7). Al-Hijr, 8). An-Nahl, 9). al-Isra’, 10). Al-Kahf, 11). Maryam, 12). Taha, 13). Al-Anbiya’, 14). Al-hajj, 15). Al-Mu’minun, 16). Al-Furqan, 17). Asy-Syu’ara, 18). An-Naml, 19). Al-Qashas, 20). Al-Ankabut, 21). Ar-Rum, 22). Luqman, 23). As-Sajdah, 24). Saba’, 25). Fatir, 26). Yaasin, 27). As-Shaffat, 28). Shad, 29). Az-Zumar, 30). Al-Mu’min, 31). Fusshilat, 32). Asy-Syura, 33). Az-Zukhruf, 34). Ad-Dukhan, 35). Al-Jasiyah, 36). Al-Ahqaf, 37). Qaaf, 38). Az-Zaariyaat, 39). At-Thur
40). An-Najm, 41). Al-Qamar, 42). Al-Waqi’ah, 43). Al-Mulk, 44). Al-Qalam, 45). Al-Haqqah, 46). Al-Ma’arij, 47). Nuh, 48). Al-jin, 49). Al-Muzzammil, 50). Al-Mudatssir, 51). Al-Qiyamah, 52). Al-Insan, 53). Al-Mursalaat, 54). An-Naba’, 55). An-Naaziaat, 56). Abasa, 57). At-Takwiir, 58). Al-Infithaar, 59). Al-Insyiqaaq, 60). Al-Buruuj, 61). At-Thaariq, 62). Al-A’la, 63). Al-Ghaasyiyah, 64). Al-Fajr, 65). Al-Balad, 66). Asy-Syams, 67). Al-Lail, 68). Ad-Dhuha, 69). Al-Insyirah, 70). At-Tiin, 71). Al-‘Alaq, 72). Al-Adiyaat, 73). Al-Qaari’ah, 74). At-Takatsur, 75). Al-Ashr, 76). Al-Humazah, 77). Al-Fiil, 78). Quraisy, 79). Al-Ma’un, 80). Al-Kautsar, 81). Al-Kafirun, 82). Al-Lahb.
2. Surah yang diturunkan di Madinah.
Nabi menetap diMadinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, dari awal Rabi’ul awal sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari milad Nabi atau tahun 10 Hijriah. Surah yang turun dalam waktu itu menurut pendapat kebanyakan ulama adalah 20 surah yaitu : 1).al-Baqarah, 2).Ali Imran, 3). An-Nisa’, 4). al-Maidah, 5).al-Anfal, 6).at-Taubah, 7).an-Nur, 8).al-Ahzab, 9).Muhammad, 10).al-Fath, 11).al-Hujarat, 12).al-Hadid, 13). Al-Mujadalah, 14).al-Hasyr, 15).al-Mumtahanah, 16).al-Jumu’ah, 17).al-Munafiqun, 18).at-Talaq, 19).at-Tahrim, 20).an-Nasr.
3. Surah yang diperselisihkan.
Jumlah surah yang diperselisihkan oleh para ulama antara Makkiah dan Madaniah sebanyak 12 surah yaitu : 1).al-Fatihah, 2).ar-Ra’d, 3).ar-Rahman, 4).as-Shaff, 5).at-Taghabun, 6).at-Tatfif, 7).al-Qadar, 8).al-Bayyinah, 9).az-Zalzalah, 10).al-Ikhlas, 11).al-Falaq, 12).an-Nas.
4. Ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah.
Penamaan suatu surah Makkiah atau Madaniah didasarkan pada sebagian besar ayat-ayat yang dikandungnya. Terkadang didalam surah Makkiah kita menemukan ayat-ayat Madaniah, begitu juga sebaliknya dalam surah Madaniah terkadang kita menjumpai ayat-ayat Makkiah, maka dalam hal para ulama biasa menyebutnya sebagai surah Makkiah kecuali ayat sekian dan sekian atau surah ini Madaniah kecuali ayat sekian. Sebagai contoh ayat Makkiah yang berada dalam surah Madaniah yaitu ayat ketiga dari surah Al-Anfal.
5. Ayat-ayat Madaniah dalam surah Makkiah.
Contoh ayat-ayat Madaniah dalam surah Makkiah adalah tiga ayat dari surah al-An’am, yaitu ayat 151,152 dan 153.
6. Ayat yang turun di Makkah tapi hukumnya Madani.
Maksudnya adalah ayat tersebut diturunkan di Makkah, akan tetapi turun sesudah Hijrahnya Nabi saw., ayat seperti ini tidak dihukumkan sebagai Makkiah tidak juga sebagai Madaniah, akan tetapi disebut sebagai ayat yang turun di Makkah tapi hukumnya Madaniah. Contohnya firman Allah dalam surat al-Hujarat (49) : 3 yang diturunkan di Makkah pada peristiwa Fathul Makkah.
7. Ayat yang turun di Madinah tapi hukumnya Makkiah.
Contohnya surat Mumtahanah, yang diturunkan di Madinah tetapi ditujukan untuk orang-orang Makkiah.
8. Ayat dalam surah Madaniah yang serupa dengan ayat yang diturunkan di Makkah (makkiah).
Maksudnya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam surah Madaniah akan tetapi memiliki ciri umum dan gaya bahasa surah Makkiah. contohnya firman Allah dalam surah Al-anfal/8 :32, untuk mengingat permintaan permintaan kaum muyrikin untuk disegerakan Azab kepada mereka :
Terjemahannya :
“dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah Kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada Kami azab yang pedih".
9. Ayat dalam surah Makkiah yang serupa dengan ayat yang diturunkan di Madinah (Madaniah).
Contohnya, surah an-Najm /53 : 32 :
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
Ayat ini Makkiah akan tetapi berbicara tentang sanksi-sanksi, dan dalam periode Makkah belum ada sanksi dan hal yang serupa dengan itu. Sanksi-sanksi banyak dibicarakan dalam periode Madinah.
10. Ayat yang dibawa dari Makkah ke Madinah.
Maksudnya adalah ayat yang turun di Makkah kemudian dibawa untuk disampaikan kepada penduduk Madinah. Misalnya, surah-surah yang dibawa orang-orang Muhajirin untuk diajarkan kepada kaum anshar di Madinah seperti surah al-A’la.
11. Ayat yang dibawa dari Madinah ke Makkah.
Seperti awal surah al-Bara’ah yang diperintahkan Nabi saw untuk dibawa kepada Abu bakar as-Shiddiq yang sedang melakukan haji pada waktu itu untuk dibacakan kepada kaum musyrikin Makkah.
12. Ayat-ayat yang turun pada malam hari dan siang hari.
Diantara ayat-ayat Al-Qur’an ada yang diturunkan pada malam hari akan tetapi kebanyakannya diturunkan pada siang hari. contoh yang diturunkan pada malam hari diantaranya bagian-bagan akhir surah Ali Imran.
13. Ayat-ayat yang turun dimusim panas dan musim dingin.
Contoh ayat-ayat yang turun pada musim panas adalah ayat yang berkenaan dengan perang Tabuk dalam surah at-Taubah /9 : 81
Sedang ayat yang turun di musim dingin seperti ayat yang berkenaan dengan perang khandaq.
14. Ayat yang turun pada waktu Nabi saw menetap dan yang turun ketika sedang dalam perjalanan.
Kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an turun ketika Nabi saw sedang menetap, selebihnya turun ketika nabi sedang berada dalam perjalanan. Sebagai contoh awal surah al-Anfal yang turun di Badar ketika selesai perang.
Itulah klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Makkiah dan Madaniah. Para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan ini hingga membuat klasifikasi yang sedemikan rupa. Klasifikasi ini memberikan gambaran tentang tertib nuzul ayat dan surah.
Manna’ Khalil Qattan dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan 14 klasifikasi ayat dan surah dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan Makkiah dan Madaniah. Menurutnya klasifikasi ini merupakan hal yang terpenting untuk dipelajari oleh para ulama dalam pembahasan mengenai Makkiah dan Madaniah. Klasifikasi tersebut yaitu:
1. Surah yang diturunkan di Makkah.
Rasulullah saw. berada diMakkah kurang lebih selama 12 tahun 5 bulan 13 hari. Terhitung dari 17 Ramadhan tahun 41 sampai dengan awal Rabi’ul awal tahun 54 dari milad Nabi.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah bilangan surah Makkiah dan Madaniah, Al-Khudary dalam bukunya Tarikh Tasyri’ menyebutkan bahwa surah Makkiah berjumlah 91 surah dan surah Madaniah berjumlah 23 surah. Az-Zarkasyi menyebutkan jumlah surah Makkiah sebanyak 85 surah dan Madaniah 29 surah , sedang pendapat yang rajih seperti yang dikutip imam Suyuti dari Abu Hasan al-Hassari adalah Makkiah berjumlah 82 surah, Madaniah 20 surah dan 12 surah yang lain masih diperselisihkan.
Adapun surah-surah yang diklasifikasikan sebagai surah Makkiah adalah sebagai berikut : 1). Al-An’am, 2). Al-A’raf, 3). Yunus, 4). Hud, 5). Yusuf, 6). Ibrahim, 7). Al-Hijr, 8). An-Nahl, 9). al-Isra’, 10). Al-Kahf, 11). Maryam, 12). Taha, 13). Al-Anbiya’, 14). Al-hajj, 15). Al-Mu’minun, 16). Al-Furqan, 17). Asy-Syu’ara, 18). An-Naml, 19). Al-Qashas, 20). Al-Ankabut, 21). Ar-Rum, 22). Luqman, 23). As-Sajdah, 24). Saba’, 25). Fatir, 26). Yaasin, 27). As-Shaffat, 28). Shad, 29). Az-Zumar, 30). Al-Mu’min, 31). Fusshilat, 32). Asy-Syura, 33). Az-Zukhruf, 34). Ad-Dukhan, 35). Al-Jasiyah, 36). Al-Ahqaf, 37). Qaaf, 38). Az-Zaariyaat, 39). At-Thur
40). An-Najm, 41). Al-Qamar, 42). Al-Waqi’ah, 43). Al-Mulk, 44). Al-Qalam, 45). Al-Haqqah, 46). Al-Ma’arij, 47). Nuh, 48). Al-jin, 49). Al-Muzzammil, 50). Al-Mudatssir, 51). Al-Qiyamah, 52). Al-Insan, 53). Al-Mursalaat, 54). An-Naba’, 55). An-Naaziaat, 56). Abasa, 57). At-Takwiir, 58). Al-Infithaar, 59). Al-Insyiqaaq, 60). Al-Buruuj, 61). At-Thaariq, 62). Al-A’la, 63). Al-Ghaasyiyah, 64). Al-Fajr, 65). Al-Balad, 66). Asy-Syams, 67). Al-Lail, 68). Ad-Dhuha, 69). Al-Insyirah, 70). At-Tiin, 71). Al-‘Alaq, 72). Al-Adiyaat, 73). Al-Qaari’ah, 74). At-Takatsur, 75). Al-Ashr, 76). Al-Humazah, 77). Al-Fiil, 78). Quraisy, 79). Al-Ma’un, 80). Al-Kautsar, 81). Al-Kafirun, 82). Al-Lahb.
2. Surah yang diturunkan di Madinah.
Nabi menetap diMadinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, dari awal Rabi’ul awal sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari milad Nabi atau tahun 10 Hijriah. Surah yang turun dalam waktu itu menurut pendapat kebanyakan ulama adalah 20 surah yaitu : 1).al-Baqarah, 2).Ali Imran, 3). An-Nisa’, 4). al-Maidah, 5).al-Anfal, 6).at-Taubah, 7).an-Nur, 8).al-Ahzab, 9).Muhammad, 10).al-Fath, 11).al-Hujarat, 12).al-Hadid, 13). Al-Mujadalah, 14).al-Hasyr, 15).al-Mumtahanah, 16).al-Jumu’ah, 17).al-Munafiqun, 18).at-Talaq, 19).at-Tahrim, 20).an-Nasr.
3. Surah yang diperselisihkan.
Jumlah surah yang diperselisihkan oleh para ulama antara Makkiah dan Madaniah sebanyak 12 surah yaitu : 1).al-Fatihah, 2).ar-Ra’d, 3).ar-Rahman, 4).as-Shaff, 5).at-Taghabun, 6).at-Tatfif, 7).al-Qadar, 8).al-Bayyinah, 9).az-Zalzalah, 10).al-Ikhlas, 11).al-Falaq, 12).an-Nas.
4. Ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah.
Penamaan suatu surah Makkiah atau Madaniah didasarkan pada sebagian besar ayat-ayat yang dikandungnya. Terkadang didalam surah Makkiah kita menemukan ayat-ayat Madaniah, begitu juga sebaliknya dalam surah Madaniah terkadang kita menjumpai ayat-ayat Makkiah, maka dalam hal para ulama biasa menyebutnya sebagai surah Makkiah kecuali ayat sekian dan sekian atau surah ini Madaniah kecuali ayat sekian. Sebagai contoh ayat Makkiah yang berada dalam surah Madaniah yaitu ayat ketiga dari surah Al-Anfal.
5. Ayat-ayat Madaniah dalam surah Makkiah.
Contoh ayat-ayat Madaniah dalam surah Makkiah adalah tiga ayat dari surah al-An’am, yaitu ayat 151,152 dan 153.
6. Ayat yang turun di Makkah tapi hukumnya Madani.
Maksudnya adalah ayat tersebut diturunkan di Makkah, akan tetapi turun sesudah Hijrahnya Nabi saw., ayat seperti ini tidak dihukumkan sebagai Makkiah tidak juga sebagai Madaniah, akan tetapi disebut sebagai ayat yang turun di Makkah tapi hukumnya Madaniah. Contohnya firman Allah dalam surat al-Hujarat (49) : 3 yang diturunkan di Makkah pada peristiwa Fathul Makkah.
7. Ayat yang turun di Madinah tapi hukumnya Makkiah.
Contohnya surat Mumtahanah, yang diturunkan di Madinah tetapi ditujukan untuk orang-orang Makkiah.
8. Ayat dalam surah Madaniah yang serupa dengan ayat yang diturunkan di Makkah (makkiah).
Maksudnya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam surah Madaniah akan tetapi memiliki ciri umum dan gaya bahasa surah Makkiah. contohnya firman Allah dalam surah Al-anfal/8 :32, untuk mengingat permintaan permintaan kaum muyrikin untuk disegerakan Azab kepada mereka :
Terjemahannya :
“dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah Kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada Kami azab yang pedih".
9. Ayat dalam surah Makkiah yang serupa dengan ayat yang diturunkan di Madinah (Madaniah).
Contohnya, surah an-Najm /53 : 32 :
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
Ayat ini Makkiah akan tetapi berbicara tentang sanksi-sanksi, dan dalam periode Makkah belum ada sanksi dan hal yang serupa dengan itu. Sanksi-sanksi banyak dibicarakan dalam periode Madinah.
10. Ayat yang dibawa dari Makkah ke Madinah.
Maksudnya adalah ayat yang turun di Makkah kemudian dibawa untuk disampaikan kepada penduduk Madinah. Misalnya, surah-surah yang dibawa orang-orang Muhajirin untuk diajarkan kepada kaum anshar di Madinah seperti surah al-A’la.
11. Ayat yang dibawa dari Madinah ke Makkah.
Seperti awal surah al-Bara’ah yang diperintahkan Nabi saw untuk dibawa kepada Abu bakar as-Shiddiq yang sedang melakukan haji pada waktu itu untuk dibacakan kepada kaum musyrikin Makkah.
12. Ayat-ayat yang turun pada malam hari dan siang hari.
Diantara ayat-ayat Al-Qur’an ada yang diturunkan pada malam hari akan tetapi kebanyakannya diturunkan pada siang hari. contoh yang diturunkan pada malam hari diantaranya bagian-bagan akhir surah Ali Imran.
13. Ayat-ayat yang turun dimusim panas dan musim dingin.
Contoh ayat-ayat yang turun pada musim panas adalah ayat yang berkenaan dengan perang Tabuk dalam surah at-Taubah /9 : 81
Sedang ayat yang turun di musim dingin seperti ayat yang berkenaan dengan perang khandaq.
14. Ayat yang turun pada waktu Nabi saw menetap dan yang turun ketika sedang dalam perjalanan.
Kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an turun ketika Nabi saw sedang menetap, selebihnya turun ketika nabi sedang berada dalam perjalanan. Sebagai contoh awal surah al-Anfal yang turun di Badar ketika selesai perang.
Itulah klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Makkiah dan Madaniah. Para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan ini hingga membuat klasifikasi yang sedemikan rupa. Klasifikasi ini memberikan gambaran tentang tertib nuzul ayat dan surah.
Ayat-ayat Makkiah Madaniah 3
C. Ciri khas Makkiah dan Madaniah.
Para Mufassir dalam menentukan Makkiah dan Madaniah merujuk kepada riwayat dan kenyataan sejarah yang menceritakan tentang turunnya suatu ayat atau surah didalam Al-Qur’an baik itu yang turun sebelum hijrah atau sesudah hijrah. Dengan cara tersebut para mufassir akhirnya dapat menghimpun ayat-ayat Makkiah dan Madaniah serta dapat membedakannya. Setelah terhimpun para ulama kemudian meneliti Makkiah dan Madaniah dan meyimpulkan beberapa ketentuan dan ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing. Ciri tersebut baik dari segi gaya bahasa maupun tema yang dibicarakan.
Adapun ketentuan dan ciri khas tersebut sebagai berikut :
1. Ketentuan dan ciri khas Makkiah
Diantara ketentuan Makkiah yaitu :
a. Surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat “sajdah’ maka dikategorikan sebagai Makkiah.
b. Setiap surah yang didalamnya terdapat lafadz كلا (sekali-kali tidak demikian) adalah Makkiah. Lafadz tersebut hanya terdapat pada pertengahan sampai akhir al-qur’an. Al-Amanny menyebutkan hikmahnya bahwa karena kebanyakan separuh yang akhir dari Qur’an diturunkan di Makkah, dan mayoritas penduduk Makkah bersikap sombong, sehingga “Kalla” didalam Al-Qur’an disebut berulangkali untuk mengingkari dan menegur mereka .
c. Setiap surah yang mengandung seruan ياايهاالناس dan tidak mengandung seruan ياايهاالذين امنوا maka digolongkan sebagai Makkiah, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat kalimat :
ياايهاالذين امنوااركعوا واسجدوا….
Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut temasuk ayat Makkiah.
d. Setiap surah yang didalamnya terdapat kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu adalah Makkiah kecuali al-Baqarah.
e. Setiap surah yang bercerita tentang Adam dan Iblis adalah Makkiah, kecuali al-Baqarah.
f. Surah yang diawali dengan huruf hija’iyah seperti الم , الر ,حم dan sebagainya adalah Makkiah kecuali surah al-Baqarah dan Ali Imran, sedang surah ar-Rad mash diperselisihkan.
Adapun ciri Makkiah dilihat dari segi gaya bahasa dan temanya adalah:
a. Mengandung ajakan kepada tauhid dan aqidah yang murni, terutama menyangkut uluhiyah, pembuktian risalah, keimanan kepada hari akhir, gambaran tentang syurga dan nikmatnya, neraka dan azabnya, serta argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
b. Mengandung seruan untuk beakhlak mulia dan berbuat kebajikan, serta larangan untuk melakukan keburukan dan kejahatan, seperti memakan harta anak yatim secara zalim, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, saling menumpahkan darah dan tradisi jahiliyah lainnya.
c. Mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran bagi orang-orang yang ingkar, dan sebagai penghibur dan penguat hati Rasulullah SAW agar senantiasa sabar dalam menyampaikan risalah.
d. Pada umumnya ayat-ayat maupun surah-surahnya pendek, ringkas, bernada keras, mengetarkan hati dan disertai dengan lafal lafal sumpah.
e. Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka.
2. Ketentuan dan ciri khas Madaniah.
Madaniah sendiri memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. Setiap surah yang berisi kewajiban dan had (sanksi) adalah Madaniah.
b. Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahlul kitab adalah Madaniah
c. Surah yang didalamnya menyebutkan tentang orang munafiq termasuk Madaniah kecuali surah al-Ankabut.
d. Surah yang didalamnya menyebutkan soal jihad dan menjelaskan hukum-hukumnya.
Adapun gaya bahasa dan tema yang menjadi ciri Madaniah adalah sebagai berikut:
a. Banyak menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, faraidh (hukum pembagian warisan), masalah jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik diwaktu damai maupun ketika perang. selain itu banyak menjelaskan tentang kaidah hokum dan perundang-undangan.
b. Memaparkan dialog dan seruan kepada ahlul kitab dari yahudi dan Nasrani, ajakan kepada mereka untuk memeluk Islam, larangan dalam berlebih-lebihan dalam beragama dan penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah.
c. Menjelaskan perilaku orang munafiq, menjelaskan bahayanya terhadap agama.
d. Ayat dan surah-surahnya panjang-panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat, menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Dengan ciri-ciri inilah para ulama dapat membedakan dan mengklasifikasikan antara Makkiah dan Madaniah. Semua ciri-ciri ini menggambarkan langkah-langkah penuh hikmah yang bertahap, sebagaimana yang ditempuh Islam dalam menetapkan syariat. Ketentuan yang ditetapkan bagi penduduk Makkah (sebelum hijrah) tidak mungkin sama dengan ketentuan yang ditetapkan bagi penduduk Madinah (sesudah hijrah) karena kebutuhan dan kondisi keduanya berbeda. Lingkungan Makkah dengan segala tradisi jahiliyah dan dipenuhi kemusyrikan membutuhkan seruan keimanan dan ketauhidan. Sedang pada periode madinah, Islam sudah menjadi satu masyarakat baru yang lebih membutuhkan penjelasan hukum,tata negara dan perundang-undangan.
Para Mufassir dalam menentukan Makkiah dan Madaniah merujuk kepada riwayat dan kenyataan sejarah yang menceritakan tentang turunnya suatu ayat atau surah didalam Al-Qur’an baik itu yang turun sebelum hijrah atau sesudah hijrah. Dengan cara tersebut para mufassir akhirnya dapat menghimpun ayat-ayat Makkiah dan Madaniah serta dapat membedakannya. Setelah terhimpun para ulama kemudian meneliti Makkiah dan Madaniah dan meyimpulkan beberapa ketentuan dan ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing. Ciri tersebut baik dari segi gaya bahasa maupun tema yang dibicarakan.
Adapun ketentuan dan ciri khas tersebut sebagai berikut :
1. Ketentuan dan ciri khas Makkiah
Diantara ketentuan Makkiah yaitu :
a. Surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat “sajdah’ maka dikategorikan sebagai Makkiah.
b. Setiap surah yang didalamnya terdapat lafadz كلا (sekali-kali tidak demikian) adalah Makkiah. Lafadz tersebut hanya terdapat pada pertengahan sampai akhir al-qur’an. Al-Amanny menyebutkan hikmahnya bahwa karena kebanyakan separuh yang akhir dari Qur’an diturunkan di Makkah, dan mayoritas penduduk Makkah bersikap sombong, sehingga “Kalla” didalam Al-Qur’an disebut berulangkali untuk mengingkari dan menegur mereka .
c. Setiap surah yang mengandung seruan ياايهاالناس dan tidak mengandung seruan ياايهاالذين امنوا maka digolongkan sebagai Makkiah, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat kalimat :
ياايهاالذين امنوااركعوا واسجدوا….
Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut temasuk ayat Makkiah.
d. Setiap surah yang didalamnya terdapat kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu adalah Makkiah kecuali al-Baqarah.
e. Setiap surah yang bercerita tentang Adam dan Iblis adalah Makkiah, kecuali al-Baqarah.
f. Surah yang diawali dengan huruf hija’iyah seperti الم , الر ,حم dan sebagainya adalah Makkiah kecuali surah al-Baqarah dan Ali Imran, sedang surah ar-Rad mash diperselisihkan.
Adapun ciri Makkiah dilihat dari segi gaya bahasa dan temanya adalah:
a. Mengandung ajakan kepada tauhid dan aqidah yang murni, terutama menyangkut uluhiyah, pembuktian risalah, keimanan kepada hari akhir, gambaran tentang syurga dan nikmatnya, neraka dan azabnya, serta argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
b. Mengandung seruan untuk beakhlak mulia dan berbuat kebajikan, serta larangan untuk melakukan keburukan dan kejahatan, seperti memakan harta anak yatim secara zalim, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, saling menumpahkan darah dan tradisi jahiliyah lainnya.
c. Mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran bagi orang-orang yang ingkar, dan sebagai penghibur dan penguat hati Rasulullah SAW agar senantiasa sabar dalam menyampaikan risalah.
d. Pada umumnya ayat-ayat maupun surah-surahnya pendek, ringkas, bernada keras, mengetarkan hati dan disertai dengan lafal lafal sumpah.
e. Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka.
2. Ketentuan dan ciri khas Madaniah.
Madaniah sendiri memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. Setiap surah yang berisi kewajiban dan had (sanksi) adalah Madaniah.
b. Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahlul kitab adalah Madaniah
c. Surah yang didalamnya menyebutkan tentang orang munafiq termasuk Madaniah kecuali surah al-Ankabut.
d. Surah yang didalamnya menyebutkan soal jihad dan menjelaskan hukum-hukumnya.
Adapun gaya bahasa dan tema yang menjadi ciri Madaniah adalah sebagai berikut:
a. Banyak menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, faraidh (hukum pembagian warisan), masalah jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik diwaktu damai maupun ketika perang. selain itu banyak menjelaskan tentang kaidah hokum dan perundang-undangan.
b. Memaparkan dialog dan seruan kepada ahlul kitab dari yahudi dan Nasrani, ajakan kepada mereka untuk memeluk Islam, larangan dalam berlebih-lebihan dalam beragama dan penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah.
c. Menjelaskan perilaku orang munafiq, menjelaskan bahayanya terhadap agama.
d. Ayat dan surah-surahnya panjang-panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat, menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Dengan ciri-ciri inilah para ulama dapat membedakan dan mengklasifikasikan antara Makkiah dan Madaniah. Semua ciri-ciri ini menggambarkan langkah-langkah penuh hikmah yang bertahap, sebagaimana yang ditempuh Islam dalam menetapkan syariat. Ketentuan yang ditetapkan bagi penduduk Makkah (sebelum hijrah) tidak mungkin sama dengan ketentuan yang ditetapkan bagi penduduk Madinah (sesudah hijrah) karena kebutuhan dan kondisi keduanya berbeda. Lingkungan Makkah dengan segala tradisi jahiliyah dan dipenuhi kemusyrikan membutuhkan seruan keimanan dan ketauhidan. Sedang pada periode madinah, Islam sudah menjadi satu masyarakat baru yang lebih membutuhkan penjelasan hukum,tata negara dan perundang-undangan.
Ayat-ayat Makkiah Madaniah 2
B. Para ulama dalam menentukan ayat-ayat Makkiah dan Madaniah.
Para ulama dalam menentukan ayat-ayat Al-Qur’an termasuk Makkiah atau Madaniah menggunakan dua pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Sima’i naqli (periwayatan), yaitu dengan merujuk pada riwayat-riwayat shahih dari para sahabat Nabi saw. yang mengetahui secara langsung tentang turunnya wahyu, tempat, waktu dan sebab turunnya suatu ayat. Begitu juga dengan riwayat para tabi’in yang berjumpa dan meriwayatkan dari para sahabat nabi saw perihal turunnya wahyu.
قال عبدالله بن مسعود رضي الله عنه – والله الذي لااله غيره مانزلت سورة من كتاب الله الا وانا اعلم فيما نزلت ولواعلم ان احدا اعلم مني بكتاب الله تبلغه الابل لركبت اليه .(رواه البخاري ومسلم في صحيحهما).
Abdullah Ibn Mas’ud berkata : “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui dimana surah itu diturunkan, dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Seandainya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu dariku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya”.
Mengenai hal ini Qadi Abu Bakar ibnu at-Tayyib al-Baqalani dalam bukunya al-Intishar sepereti yang dikutip az-Zarkasyi memaparkan bahwa pengetahuan tentang Makki dan Madani mengacu kepada riwayat para sahabat dan tabi’in dan mengenai itu tidak ada penjelasan dari Nabi saw., karena Allah swt. tidak memerintahkan hal tersebut dan tidak juga menjadikannya sebagai kewajiban ummat. Yang wajib bagi para ahli ilmu adalah mengetahui nasikh dan mansukh, meskipun demikian untuk mengetahui hal itu tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah saw.
2. Pendekatan Qiyasi ijtihad (analogi hasil ijtihad), yaitu dengan merujuk pada ciri Makkiah dan Madaniah yang tetapkan oleh para ulama.
Jika dalam surat Makkiah terdapat ayat yang mengandung ciri Madaniah, maka dikategorikan sebagai ayat Madaniah. dan sebaliknya jika dalam surat Madaniah terdapat ayat yang memiliki karateristik Makkiah maka dihitung sebagai ayat Makkiah. Begitu juga jika dalam satu surah mengandung karateristik Makkiah maka dimasukkan kedalam kelompok surah Makkiah, dan jika mengandung karakteristik Madaniah maka dikategorikan kedalam surah Madaniah.
Pendekatan Sima’i berdasarkan pada berita pendengaran melalui jalan periwayatan, sedang pendekatan Qiyasi berdasar pada penalaran atau akal, dua metode ini merupakan metode pengetahuan yang valid dan termasuk dalam metode penelitian ilmiah .
Para ulama dalam menentukan ayat-ayat Al-Qur’an termasuk Makkiah atau Madaniah menggunakan dua pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Sima’i naqli (periwayatan), yaitu dengan merujuk pada riwayat-riwayat shahih dari para sahabat Nabi saw. yang mengetahui secara langsung tentang turunnya wahyu, tempat, waktu dan sebab turunnya suatu ayat. Begitu juga dengan riwayat para tabi’in yang berjumpa dan meriwayatkan dari para sahabat nabi saw perihal turunnya wahyu.
قال عبدالله بن مسعود رضي الله عنه – والله الذي لااله غيره مانزلت سورة من كتاب الله الا وانا اعلم فيما نزلت ولواعلم ان احدا اعلم مني بكتاب الله تبلغه الابل لركبت اليه .(رواه البخاري ومسلم في صحيحهما).
Abdullah Ibn Mas’ud berkata : “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui dimana surah itu diturunkan, dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Seandainya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu dariku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya”.
Mengenai hal ini Qadi Abu Bakar ibnu at-Tayyib al-Baqalani dalam bukunya al-Intishar sepereti yang dikutip az-Zarkasyi memaparkan bahwa pengetahuan tentang Makki dan Madani mengacu kepada riwayat para sahabat dan tabi’in dan mengenai itu tidak ada penjelasan dari Nabi saw., karena Allah swt. tidak memerintahkan hal tersebut dan tidak juga menjadikannya sebagai kewajiban ummat. Yang wajib bagi para ahli ilmu adalah mengetahui nasikh dan mansukh, meskipun demikian untuk mengetahui hal itu tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah saw.
2. Pendekatan Qiyasi ijtihad (analogi hasil ijtihad), yaitu dengan merujuk pada ciri Makkiah dan Madaniah yang tetapkan oleh para ulama.
Jika dalam surat Makkiah terdapat ayat yang mengandung ciri Madaniah, maka dikategorikan sebagai ayat Madaniah. dan sebaliknya jika dalam surat Madaniah terdapat ayat yang memiliki karateristik Makkiah maka dihitung sebagai ayat Makkiah. Begitu juga jika dalam satu surah mengandung karateristik Makkiah maka dimasukkan kedalam kelompok surah Makkiah, dan jika mengandung karakteristik Madaniah maka dikategorikan kedalam surah Madaniah.
Pendekatan Sima’i berdasarkan pada berita pendengaran melalui jalan periwayatan, sedang pendekatan Qiyasi berdasar pada penalaran atau akal, dua metode ini merupakan metode pengetahuan yang valid dan termasuk dalam metode penelitian ilmiah .
Ayat-ayat Makkiah Madaniah 1
A. Defenisi ayat-ayat Makkiah dan Madaniah.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan maksud dari ayat-ayat Makkiah dan Madaniah, hal ini disebabkan dalam memberikan pengertian tersebut para ulama menitikberatkan pada aspek yang berbeda. Adapun defenisi tersebut sebagai berikut:
1. Sebagian ulama menitikberatkan pada segi ( مكان النزول ) lokasi atau tempat turun ayat Al-Qur’an sebagai acuan, hingga defenisi dari ayat-ayat Makkiah adalah semua ayat yang turun di Makkah walaupun ayat ayat tersebut turun sesudah Hijrah Nabi saw., dan Madaniyah adalah semua ayat yang turun diMadinah.
Imam Suyuti menambahkan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat Makkiah adalah termasuk ayat-ayat yang turun diwilayah sekitarnya yang masuk dalam wilayah geografis Makkah seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Begitu juga semua ayat-ayat yang turun di wilayah sekitar Madinah seperi Uhud dan Badr dikategorikan kedalam ayat-ayat Madaniah .
Akan tetapi defenisi ini kurang tepat dan terbatas dalam mengartikan Makkiah dan Madaniah karena tidak mencakup ayat-ayat Al-Qur’an yang turun diluar Makkah, Madinah dan sekitarnya. Sebagai contoh ayat yang turun di Tabuk dalam surat at-Taubah / 9 : 42 :
Begitu juga dengan firman Allah SWT yang turun di Baitul Maqdis dalam surat az-Zukhruf / 43 : 45 :
2. Sebagian ulama yang lain mengambil aspek ( المخاطبين ) audience atau sasaran turunnya ayat-ayat tersebut sebagai dasar, hingga ayat-ayat Makkiah menurut pendapat mereka adalah ayat-ayat yang sasarannya adalah penduduk Makkah, sedang Madaniah adalah ayat-ayat yang sasarannya ditujukan pada penduduk Madinah.
Jadi, menurut pendapat ini, semua ayat yang diawali dengan lafaz (ياايهاالناس) maka ayat tersebut dikategorikan sebagai ayat-ayat Makkiah karena mayoritas penduduk Makkah masih dalam keadaan Kufr, sedang sebaliknya, penduduk Madinah mayoritasnya telah beriman dan masuk Islam, itu sebabnya mereka diseru dengan lafaz ( ياايهاالذين امنوا )maka semua ayat-ayat yang diawali dengan lafz tersebut dikategorikan kedalam ayat-ayat Madaniah.
Defenisi ini pun tidak tepat dan tidak mencakup semua ayat-ayat Al-Qur’an dalam pembagiannya, Muhammad abdul Azhim az-Zarqany dalam bukunya Manahilul ‘irfan menyebutkan dua alasan tidak tepatnya defenisi ini, yaitu : pertama, Diantara ayat-ayat Al-Qur’an ada ayat-ayat yang tidak diawali dengan kedua lafaz diatas seperti firman Allah swt. dalam permulaan surat al-Ahzab / 33 : 1
begitu juga dengan permulaan surat al-Munafiqun / 63 : 1
Kedua, pembagian berdasarkan pendapat ini tidak konsisten dengan aspek yang menjadi dasar tolaknya yaitu dua bentuk lafaz yang telah disebutkan diatas. Diantara ayat-ayat Madaniah ada yang diawali dengan shighah (ياايهاالناس) seperti permulaan surat An-nisa (4) : 1:
3. Pendapat yang ketiga menitikberatkan pada aspek (ترتيب الزماني للايات) urutan zaman turunnya ayat dan berdasarkan hijrah Rasulullah saw.. Jika dilihat dari segi ini ayat-ayat Makkiah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah saw. hijrah, sedang Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah saw. Hijrah meskipun ayat tersebut turun di Makkah.
Pendapat inilah yang paling masyhur dikalangan para ulama dan dianggap paling benar dalam mendefenisikan ayat-ayat Makkiah dan Madaniah karena syumul (mencakup) semua ayat-ayat Makkiah dan Madaniah sebagai ayat-ayat Al-Qur’an .
Semua ayat yang turun sebelum Nabi saw. hijrah maka dia termasuk Makkiah meskipun ayat tersebut turun ketika Nabi sedang berada dalam perjalanan ke Madinah. Dan sebaliknya, semua ayat yang turun sesudah Nabi saw. hijrah maka ayat tersebut terhitung Madaniah meskipun turun di Makkah.
Sebagai contoh ayat ketiga dalam surat Al-Maidah /5 : 3 :
Ayat diatas dikategorikan kedalam ayat Madaniah meskipun ayat tersebut turun di Arafah.
Dalam Mushaf Utsmani yang disebut Makkiah dan Madaniah adalah lebih menujukkan kepada surat-suratnya bukan pada ayat-ayatnya, meskipun yang menyebabkan dia disebut surat Makkiah atau Madaniah karena ayat-ayat didalamnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan maksud dari ayat-ayat Makkiah dan Madaniah, hal ini disebabkan dalam memberikan pengertian tersebut para ulama menitikberatkan pada aspek yang berbeda. Adapun defenisi tersebut sebagai berikut:
1. Sebagian ulama menitikberatkan pada segi ( مكان النزول ) lokasi atau tempat turun ayat Al-Qur’an sebagai acuan, hingga defenisi dari ayat-ayat Makkiah adalah semua ayat yang turun di Makkah walaupun ayat ayat tersebut turun sesudah Hijrah Nabi saw., dan Madaniyah adalah semua ayat yang turun diMadinah.
Imam Suyuti menambahkan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat Makkiah adalah termasuk ayat-ayat yang turun diwilayah sekitarnya yang masuk dalam wilayah geografis Makkah seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Begitu juga semua ayat-ayat yang turun di wilayah sekitar Madinah seperi Uhud dan Badr dikategorikan kedalam ayat-ayat Madaniah .
Akan tetapi defenisi ini kurang tepat dan terbatas dalam mengartikan Makkiah dan Madaniah karena tidak mencakup ayat-ayat Al-Qur’an yang turun diluar Makkah, Madinah dan sekitarnya. Sebagai contoh ayat yang turun di Tabuk dalam surat at-Taubah / 9 : 42 :
Begitu juga dengan firman Allah SWT yang turun di Baitul Maqdis dalam surat az-Zukhruf / 43 : 45 :
2. Sebagian ulama yang lain mengambil aspek ( المخاطبين ) audience atau sasaran turunnya ayat-ayat tersebut sebagai dasar, hingga ayat-ayat Makkiah menurut pendapat mereka adalah ayat-ayat yang sasarannya adalah penduduk Makkah, sedang Madaniah adalah ayat-ayat yang sasarannya ditujukan pada penduduk Madinah.
Jadi, menurut pendapat ini, semua ayat yang diawali dengan lafaz (ياايهاالناس) maka ayat tersebut dikategorikan sebagai ayat-ayat Makkiah karena mayoritas penduduk Makkah masih dalam keadaan Kufr, sedang sebaliknya, penduduk Madinah mayoritasnya telah beriman dan masuk Islam, itu sebabnya mereka diseru dengan lafaz ( ياايهاالذين امنوا )maka semua ayat-ayat yang diawali dengan lafz tersebut dikategorikan kedalam ayat-ayat Madaniah.
Defenisi ini pun tidak tepat dan tidak mencakup semua ayat-ayat Al-Qur’an dalam pembagiannya, Muhammad abdul Azhim az-Zarqany dalam bukunya Manahilul ‘irfan menyebutkan dua alasan tidak tepatnya defenisi ini, yaitu : pertama, Diantara ayat-ayat Al-Qur’an ada ayat-ayat yang tidak diawali dengan kedua lafaz diatas seperti firman Allah swt. dalam permulaan surat al-Ahzab / 33 : 1
begitu juga dengan permulaan surat al-Munafiqun / 63 : 1
Kedua, pembagian berdasarkan pendapat ini tidak konsisten dengan aspek yang menjadi dasar tolaknya yaitu dua bentuk lafaz yang telah disebutkan diatas. Diantara ayat-ayat Madaniah ada yang diawali dengan shighah (ياايهاالناس) seperti permulaan surat An-nisa (4) : 1:
3. Pendapat yang ketiga menitikberatkan pada aspek (ترتيب الزماني للايات) urutan zaman turunnya ayat dan berdasarkan hijrah Rasulullah saw.. Jika dilihat dari segi ini ayat-ayat Makkiah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah saw. hijrah, sedang Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah saw. Hijrah meskipun ayat tersebut turun di Makkah.
Pendapat inilah yang paling masyhur dikalangan para ulama dan dianggap paling benar dalam mendefenisikan ayat-ayat Makkiah dan Madaniah karena syumul (mencakup) semua ayat-ayat Makkiah dan Madaniah sebagai ayat-ayat Al-Qur’an .
Semua ayat yang turun sebelum Nabi saw. hijrah maka dia termasuk Makkiah meskipun ayat tersebut turun ketika Nabi sedang berada dalam perjalanan ke Madinah. Dan sebaliknya, semua ayat yang turun sesudah Nabi saw. hijrah maka ayat tersebut terhitung Madaniah meskipun turun di Makkah.
Sebagai contoh ayat ketiga dalam surat Al-Maidah /5 : 3 :
Ayat diatas dikategorikan kedalam ayat Madaniah meskipun ayat tersebut turun di Arafah.
Dalam Mushaf Utsmani yang disebut Makkiah dan Madaniah adalah lebih menujukkan kepada surat-suratnya bukan pada ayat-ayatnya, meskipun yang menyebabkan dia disebut surat Makkiah atau Madaniah karena ayat-ayat didalamnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)