Metode Pemahaman Hadis (1)
As-Sunnah atau hadis Nabi saw. merupakan penafsiran Al-Qur’an, baik dari
hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis.,
hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw. merupakan perwujudan dari
Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam sunnah Nabawiyah. (Sumb.1)
Hadis atau “sunnah” adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun), ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (akhlak Nabi) dan khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi). (Sumb.2)
Meskipun, hadis menduduki fungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an, akan tetapi dalam memahami sabda Nabi saw. relatif tidaklah mudah. Dibidang hadis, para muhadditsi>n telah merumuskan beberapa macam metode kajian hadis dalam upayanya membumikan pesan Tuhan lewat pernyataan verbal, aktifitas, dan taqrir Nabi saw.. Disamping itu, para ulama hadis juga mengenalkan berbagai teknik interpretasi dan model pendekatan dalam memahami hadis Nabi saw.. (Sumb.3)
Jika dilihat sekilas, maka kata “metode”, “teknik interpretasi” dan “pendekatan” ketika dikaitkan dengan pemahaman hadis, memiliki makna yang sama, yaitu cara atau langkah. Meski demikian, kita harus dapat membedakan tiga hal tersebut.
Dalam Memahami hadis Nabi saw. , metode diartikan sebagai cara menguraikan dan menjelaskan hadis, berikut langkah-langkahnya secara keseluruhan, dari awal hingga akhir. Dalam langkah-langkah tersebut, kita menggunakan teknik interpretasi, yaitu cara kita dalam menafsirkan dan memahami teks hadis. Selanjutnya, ketika kita menafsirkan teks hadis, kita perlu melihat teks tersebut dari berbagai aspek dan kerangka pikir, inilah yang dinamakan pendekatan.
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk seluruh umat manusia dan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini berarti ajaran Nabi saw. yang termaktub dalam hadis mencakup segala tempat dan waktu. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw. hidup pada tempat dan waktu tertentu. Maka dari itu, diantara hadis Hadis Nabi saw. ada yang sifatnya universal dan ada yang bersifat temporal dan local.
Segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan kondisi yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya hadis juga mempunyai kedudukan penting dalam memahami hadis Nabi saw.. Sebab itu, ada hadis yang lebih tepat dipahami secara tekstual dan ada yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual dengan menggunakan berbagai pendekatan disiplin ilmu pengetahuan, terutama ilmu social seperti, sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah. (Sumb.4)
Karena hadis Nabi saw. mengandung petunjuk yang bermacam-macam, maka kita dapat menerapkan berbagai metode, teknik interpretasi, dan model pendekatan yang beraneka ragam untuk dapat memahami hadis Nabi saw. dengan benar. Dibawah ini penulis mencoba memaparkan beberapa metode, teknik interpretasi dan pendekatan yang dimaksud.
----------------------------------------------
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amul Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Cet.I ; Bandung : Karisma, 1993), h.17.
2. Dalal Muhammad Abu salim, Tarikh as-Sunnah an-Nabawiyah al-Muthahharah (Kairo : Jami’atul Azhar, 2006), h.7.
3. Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet.I ; Jakarta : Rahmat Semesta Center, 2008), h.16.
4. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6.
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam sunnah Nabawiyah. (Sumb.1)
Hadis atau “sunnah” adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun), ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (akhlak Nabi) dan khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi). (Sumb.2)
Meskipun, hadis menduduki fungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an, akan tetapi dalam memahami sabda Nabi saw. relatif tidaklah mudah. Dibidang hadis, para muhadditsi>n telah merumuskan beberapa macam metode kajian hadis dalam upayanya membumikan pesan Tuhan lewat pernyataan verbal, aktifitas, dan taqrir Nabi saw.. Disamping itu, para ulama hadis juga mengenalkan berbagai teknik interpretasi dan model pendekatan dalam memahami hadis Nabi saw.. (Sumb.3)
Jika dilihat sekilas, maka kata “metode”, “teknik interpretasi” dan “pendekatan” ketika dikaitkan dengan pemahaman hadis, memiliki makna yang sama, yaitu cara atau langkah. Meski demikian, kita harus dapat membedakan tiga hal tersebut.
Dalam Memahami hadis Nabi saw. , metode diartikan sebagai cara menguraikan dan menjelaskan hadis, berikut langkah-langkahnya secara keseluruhan, dari awal hingga akhir. Dalam langkah-langkah tersebut, kita menggunakan teknik interpretasi, yaitu cara kita dalam menafsirkan dan memahami teks hadis. Selanjutnya, ketika kita menafsirkan teks hadis, kita perlu melihat teks tersebut dari berbagai aspek dan kerangka pikir, inilah yang dinamakan pendekatan.
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk seluruh umat manusia dan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini berarti ajaran Nabi saw. yang termaktub dalam hadis mencakup segala tempat dan waktu. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw. hidup pada tempat dan waktu tertentu. Maka dari itu, diantara hadis Hadis Nabi saw. ada yang sifatnya universal dan ada yang bersifat temporal dan local.
Segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan kondisi yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya hadis juga mempunyai kedudukan penting dalam memahami hadis Nabi saw.. Sebab itu, ada hadis yang lebih tepat dipahami secara tekstual dan ada yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual dengan menggunakan berbagai pendekatan disiplin ilmu pengetahuan, terutama ilmu social seperti, sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah. (Sumb.4)
Karena hadis Nabi saw. mengandung petunjuk yang bermacam-macam, maka kita dapat menerapkan berbagai metode, teknik interpretasi, dan model pendekatan yang beraneka ragam untuk dapat memahami hadis Nabi saw. dengan benar. Dibawah ini penulis mencoba memaparkan beberapa metode, teknik interpretasi dan pendekatan yang dimaksud.
----------------------------------------------
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amul Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Cet.I ; Bandung : Karisma, 1993), h.17.
2. Dalal Muhammad Abu salim, Tarikh as-Sunnah an-Nabawiyah al-Muthahharah (Kairo : Jami’atul Azhar, 2006), h.7.
3. Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet.I ; Jakarta : Rahmat Semesta Center, 2008), h.16.
4. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6.
Metode Pemahaman Hadis (2)
A. Metode Memahami Hadis Nabi saw.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Arab disebut thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘metode” mengandung arti : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) ; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan satu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.” (Sumb : 1)
Jika dikaitkan dengan pemahaman hadis, maka metode diartikan sebagai suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi Muhammad Saw. dalam hadisnya. Secara umum, metode memahami hadis merupakan kerangka dan langkah-langkah yang digunakan dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. Secara keseluruhan, dari tahap awal hingga akhir.
Terdapat empat macam metode dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. yang telah diperkenalkan oleh para ulama terdahulu, yaitu : metode ijmali (global), metode tahlily (analitis), metode maudui’ (tematik) dan metode muqaran (komparatif).(Sumb :2) Metode-metode ini pula yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga dapat diperoleh makna ayat secara utuh dan jelas.
Adapun penjelasan lebih lanjut keempat metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Metode Ijmali (Global).
Dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dimaksud dengan metode Ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan makna global yang dikandung ayat-ayat tersebut. Penafsir memberikan penjelasan secara ringkas makna ayat dan tidak menyingung permasalahan lain selain dari makna yang dikehendaki dari ayat tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. (Sumb. 3)
Jika digunakan dalam memahami hadis, maka metode ijmali berarti menjelaskan dengan ringkas makna yang dikandung sebuah hadis secara keseluruhan dengan menggunakan bahasa yang populer dan mudah dipahami. Metode ini juga berarti menjelaskan secara global apa yang dimaksud tanpa menerangkan lebih lanjut segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut baik itu sanadnya maupun matannya.
Sebagai contoh hadis Nabi saw. :
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابي سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( بني الاسلام على خمس : شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله, واقام الصلاة, وايتاء الذكاة, والحج, وصوم رمضان)). (Sumb.4)
Jika kita menggunakan metode ijmali untuk memahami hadis diatas, maka makna yang kita peroleh adalah bahwa agama Islam berdiri diatas lima rukun yaitu : syahadat atas Allah dan rasul-Nya, mendirikan shalat, zakat , haji
dan puasa. Tanpa penjelasan lebih lanjut lagi mengenai bagaimana kualitas masing-masing perawinya, arti kata dan frase yang dikandungnya secara mendalam, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan hadis tersebut.
Dengan kata lain, dengan metode ijmali kita hanya mendapatkan gambaran ringkas dari hadis secara keseluruhan.
Bagaimanapun bentuk metodologi, tetap saja merupakan hasil ijtihadi manusia, oleh karena itu disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. (Sumb.5) Dalam kaitannya dengan ini, metode ijmali yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami hadis-hadis Nabi saw. memiliki kelebihan sebagai berikut :
a. Praktiks dan mudah dipahami karena lebih ringkas dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu metode ini sesuai dengan pemula, dalam artian sesuai dengan orang yang baru belajar memahami hadis juga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis dalam waktu yang singkat dan tidak menginginkan penjelasan secara detail.
b. Dengan mengunakan metode ini, dapat membendung pemahaman-pemahaman yang terlalu jauh dari makna hadis yang dimaksud. Hal ini dikarenakan dengan metode ijmali, kita hanya mendapatkan makna yang dikandung secara ringkas dan jelas. (Sumb.6)
c. Bahasanya cenderung lebih mudah dimengerti dan enak dibaca.
Disamping kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, metode ini juga memiliki kekurangan, diantaranya :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung dalam sebuah hadis bersifat parsial.(Sumb.7) Kerena boleh jadi hadis tersebut memiliki penjelasan atau hubungan dengan hadis yang lain. sehingga makna yang kita pahami dari sebuah hadis dengan menggunakan metode ijmai ini belum merupakan makna final dari makna yang seharusnya.
b. Kita tidak memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih banyak sehubungan dengan hadis yang dimaksud. Sehingga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis secara rinci dan lebih jauh lagi tidak bisa mencapai tujuannya dengan menggunakan metode ini.
---------------------------------------------
Sumber :
1. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.10 ; Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h.580-581 ; dikutip dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Cet.2 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), h.1.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.18.
3. Samsul Bahri, Metodologi Ilmu Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim (t.t. : Teras, t.th.), h.45.
4. HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i.
5. Nashruddin Baidan, op. cit., h.21.
6. Ibid ., h.22-23.
7. Ibid. h.24.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Arab disebut thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘metode” mengandung arti : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) ; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan satu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.” (Sumb : 1)
Jika dikaitkan dengan pemahaman hadis, maka metode diartikan sebagai suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi Muhammad Saw. dalam hadisnya. Secara umum, metode memahami hadis merupakan kerangka dan langkah-langkah yang digunakan dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. Secara keseluruhan, dari tahap awal hingga akhir.
Terdapat empat macam metode dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. yang telah diperkenalkan oleh para ulama terdahulu, yaitu : metode ijmali (global), metode tahlily (analitis), metode maudui’ (tematik) dan metode muqaran (komparatif).(Sumb :2) Metode-metode ini pula yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga dapat diperoleh makna ayat secara utuh dan jelas.
Adapun penjelasan lebih lanjut keempat metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Metode Ijmali (Global).
Dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dimaksud dengan metode Ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan makna global yang dikandung ayat-ayat tersebut. Penafsir memberikan penjelasan secara ringkas makna ayat dan tidak menyingung permasalahan lain selain dari makna yang dikehendaki dari ayat tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. (Sumb. 3)
Jika digunakan dalam memahami hadis, maka metode ijmali berarti menjelaskan dengan ringkas makna yang dikandung sebuah hadis secara keseluruhan dengan menggunakan bahasa yang populer dan mudah dipahami. Metode ini juga berarti menjelaskan secara global apa yang dimaksud tanpa menerangkan lebih lanjut segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut baik itu sanadnya maupun matannya.
Sebagai contoh hadis Nabi saw. :
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابي سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( بني الاسلام على خمس : شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله, واقام الصلاة, وايتاء الذكاة, والحج, وصوم رمضان)). (Sumb.4)
Jika kita menggunakan metode ijmali untuk memahami hadis diatas, maka makna yang kita peroleh adalah bahwa agama Islam berdiri diatas lima rukun yaitu : syahadat atas Allah dan rasul-Nya, mendirikan shalat, zakat , haji
dan puasa. Tanpa penjelasan lebih lanjut lagi mengenai bagaimana kualitas masing-masing perawinya, arti kata dan frase yang dikandungnya secara mendalam, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan hadis tersebut.
Dengan kata lain, dengan metode ijmali kita hanya mendapatkan gambaran ringkas dari hadis secara keseluruhan.
Bagaimanapun bentuk metodologi, tetap saja merupakan hasil ijtihadi manusia, oleh karena itu disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. (Sumb.5) Dalam kaitannya dengan ini, metode ijmali yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami hadis-hadis Nabi saw. memiliki kelebihan sebagai berikut :
a. Praktiks dan mudah dipahami karena lebih ringkas dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu metode ini sesuai dengan pemula, dalam artian sesuai dengan orang yang baru belajar memahami hadis juga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis dalam waktu yang singkat dan tidak menginginkan penjelasan secara detail.
b. Dengan mengunakan metode ini, dapat membendung pemahaman-pemahaman yang terlalu jauh dari makna hadis yang dimaksud. Hal ini dikarenakan dengan metode ijmali, kita hanya mendapatkan makna yang dikandung secara ringkas dan jelas. (Sumb.6)
c. Bahasanya cenderung lebih mudah dimengerti dan enak dibaca.
Disamping kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, metode ini juga memiliki kekurangan, diantaranya :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung dalam sebuah hadis bersifat parsial.(Sumb.7) Kerena boleh jadi hadis tersebut memiliki penjelasan atau hubungan dengan hadis yang lain. sehingga makna yang kita pahami dari sebuah hadis dengan menggunakan metode ijmai ini belum merupakan makna final dari makna yang seharusnya.
b. Kita tidak memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih banyak sehubungan dengan hadis yang dimaksud. Sehingga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis secara rinci dan lebih jauh lagi tidak bisa mencapai tujuannya dengan menggunakan metode ini.
---------------------------------------------
Sumber :
1. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.10 ; Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h.580-581 ; dikutip dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Cet.2 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), h.1.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.18.
3. Samsul Bahri, Metodologi Ilmu Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim (t.t. : Teras, t.th.), h.45.
4. HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i.
5. Nashruddin Baidan, op. cit., h.21.
6. Ibid ., h.22-23.
7. Ibid. h.24.
Metode Pemahaman Hadis (3)
2. Metode Tahlily (Analitis).
Metode Tahlily (Analitis) atau yang dinamai juga dengan metode Tajzi’iy oleh Baqir Al-Shadr merupakan kebalikan dari metode ijmali. (1) Jika metode ijmali dikatakan sebagai cara menjelaskan sesuatu dengan ringkas dan global, sebaliknya metode tahlily merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. (2)
Memahami hadis dengan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanadnya (perawi), uraian makna kosakatanya, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matannya, faedahnya, sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab-wurud, mukharrij, bahkan pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
Secara umum, langkah-langkah yang perlu kita lakukan dalam metode tahlily, sebagai berikut:
a. Menetapkan hadis yang akan dibahas.
b. Melakukan takhrij al-hadis yaitu menunjukkan asal-usul sebuah hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. (3)
c. Meneliti keadaan para perawinya (sanad), termasuk bagaimana mereka menerima dan meriwayatkan hadis tersebut.
d. Meneliti matan hadis tersebut.
e. Menentukan mukharrijnya dan kualitas hadis tersebut.
f. Menganalisis matan hadis, baik itu kata perkata, ungkapan atau kalimat yang terdapat dalam hadis.
g. Menarik kesimpulan tentang makna hadis , setelah menganalisisnya dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
h. Menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan hadis yang dimaksud, seperti faedah dan pendapat para ulama mengenai hadis tersebut.
Sebagai contoh, kita ingin menerapkan metode tahlily dalam hadis Nabi saw dibawah ini :
اخرج البخاري بسنده عن ابي بردة بن ابي موسى الاشعري رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا نكاح الابولي )). (4
Maka yang perlu kita lakukan adalah mentakhrij hadisnya, meneliti dan menerangkan sanad atau para perawinya, mulai dari Abu Musa al-Asy’ary sampai kepada Bukhari. Dalam hal ini, mengenai riwayat hidup dan kapasitasnya serta cara menerima dan meriwayatkan hadis. Selanjutnya menjelaskan matan hadis tersebut, kata perkata. Apa yang dimaksud dengan “ نكاح ” dan “ ولي”. Juga penjelasan mengenai arti harf yang digunakan yaitu, harf "لا" dan"الا" .
Setelah mengetahui makna katanya, langkah berikutnya adalah menjelaskan makna keseluruhan hadis tersebut berdasar pada pengetahuan yang kita peroleh dari makna kata yang dikandung dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan yang ada. (6)
Disamping itu, kita juga harus menjelaskan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, misalnya asbabul-wurudnya jika ada, faedah hadis, kualitas dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut.
Kelebihan dari metode tahlily diantaranya adalah :
a. Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu hadis.
b. Metode tahlily memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan satu hadis yang bisa jadi berbeda dengan oranglain. Hal ini yang mungkin membuat metode ini lebih pesat perkembangannya dibanding metode ijmali. (7)
Adapun kekurangan metode tahlily, antara lain :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung sebuah hadis bersifat parsial, sama halnya dengan metode ijmali. Hal ini kemungkinan besar karena dalam metode tahlily, tidak ada keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis yang lain. hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap bahkan menjadi tidak benar. (8)
b. Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif. (9) Selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat.
..............................................
Sumber :
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet.13 ; Bandung : Mizan, 1996), h.86
2. Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi at-Tasir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya (Cet.1 ; Bandung : Pustaka Setia, 2002), h.24.
3. Ratibah Ibrahim Khattab Thahun, Mabahits fi ‘ilmi at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Cet.2 ; Kairo : Misr lil Khidmah al-‘Ilmiyah, 2004), h.8.
4. HR. Bukhari dan Muslim.
5. Dalal Muhammad Abu Salim, Min Hadyi an-Nubuwwah (Kairo : Jami’atul Azhar, t.th.), h.1.
6. Lihat ibid., h.2-12
7. Nashruddin Baidan, op. cit., h.54.
8. Ibid h.56.
9. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan, h.86
Metode Tahlily (Analitis) atau yang dinamai juga dengan metode Tajzi’iy oleh Baqir Al-Shadr merupakan kebalikan dari metode ijmali. (1) Jika metode ijmali dikatakan sebagai cara menjelaskan sesuatu dengan ringkas dan global, sebaliknya metode tahlily merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. (2)
Memahami hadis dengan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanadnya (perawi), uraian makna kosakatanya, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matannya, faedahnya, sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab-wurud, mukharrij, bahkan pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
Secara umum, langkah-langkah yang perlu kita lakukan dalam metode tahlily, sebagai berikut:
a. Menetapkan hadis yang akan dibahas.
b. Melakukan takhrij al-hadis yaitu menunjukkan asal-usul sebuah hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. (3)
c. Meneliti keadaan para perawinya (sanad), termasuk bagaimana mereka menerima dan meriwayatkan hadis tersebut.
d. Meneliti matan hadis tersebut.
e. Menentukan mukharrijnya dan kualitas hadis tersebut.
f. Menganalisis matan hadis, baik itu kata perkata, ungkapan atau kalimat yang terdapat dalam hadis.
g. Menarik kesimpulan tentang makna hadis , setelah menganalisisnya dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
h. Menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan hadis yang dimaksud, seperti faedah dan pendapat para ulama mengenai hadis tersebut.
Sebagai contoh, kita ingin menerapkan metode tahlily dalam hadis Nabi saw dibawah ini :
اخرج البخاري بسنده عن ابي بردة بن ابي موسى الاشعري رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا نكاح الابولي )). (4
Maka yang perlu kita lakukan adalah mentakhrij hadisnya, meneliti dan menerangkan sanad atau para perawinya, mulai dari Abu Musa al-Asy’ary sampai kepada Bukhari. Dalam hal ini, mengenai riwayat hidup dan kapasitasnya serta cara menerima dan meriwayatkan hadis. Selanjutnya menjelaskan matan hadis tersebut, kata perkata. Apa yang dimaksud dengan “ نكاح ” dan “ ولي”. Juga penjelasan mengenai arti harf yang digunakan yaitu, harf "لا" dan"الا" .
Setelah mengetahui makna katanya, langkah berikutnya adalah menjelaskan makna keseluruhan hadis tersebut berdasar pada pengetahuan yang kita peroleh dari makna kata yang dikandung dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan yang ada. (6)
Disamping itu, kita juga harus menjelaskan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, misalnya asbabul-wurudnya jika ada, faedah hadis, kualitas dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut.
Kelebihan dari metode tahlily diantaranya adalah :
a. Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu hadis.
b. Metode tahlily memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan satu hadis yang bisa jadi berbeda dengan oranglain. Hal ini yang mungkin membuat metode ini lebih pesat perkembangannya dibanding metode ijmali. (7)
Adapun kekurangan metode tahlily, antara lain :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung sebuah hadis bersifat parsial, sama halnya dengan metode ijmali. Hal ini kemungkinan besar karena dalam metode tahlily, tidak ada keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis yang lain. hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap bahkan menjadi tidak benar. (8)
b. Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif. (9) Selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat.
..............................................
Sumber :
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet.13 ; Bandung : Mizan, 1996), h.86
2. Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi at-Tasir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya (Cet.1 ; Bandung : Pustaka Setia, 2002), h.24.
3. Ratibah Ibrahim Khattab Thahun, Mabahits fi ‘ilmi at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Cet.2 ; Kairo : Misr lil Khidmah al-‘Ilmiyah, 2004), h.8.
4. HR. Bukhari dan Muslim.
5. Dalal Muhammad Abu Salim, Min Hadyi an-Nubuwwah (Kairo : Jami’atul Azhar, t.th.), h.1.
6. Lihat ibid., h.2-12
7. Nashruddin Baidan, op. cit., h.54.
8. Ibid h.56.
9. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan, h.86
Metode Pemahaman Hadis (4)
3. Metode Muqaran (Komparatif).
Sesuai dengan namanya, metode ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparatif). Metode muqaran jika digunakan untuk memahami hadis nabi saw. berarti menjelaskan makna hadis tersebut dengan cara membandingkannya dengan hadis-hadis yang lain atau dengan ayat Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, metode ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk, pertama, membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang memiliki kesamaan topik dengan redaksi yang berbeda.
Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis, atau antara hadis satu dengan yang lain yang secara lahiriah terlihat kontradiktif. Ketiga, membandingkan pendapat para ulama tentang penafsiran suatu ayat atau hadis.(1)
Kelebihan dari metode muqaran adalah memberikan pengetahuan yang lebih luas dibanding metode-metode yang lain, karena dengan metode ini kita didorong untuk mengkaji berbagai macam hadis, ayat-ayat al-Qur’an serta pendapat-pendapat ulama mengenai hadis yang kita maksud. Selain itu, dengan metode ini memungkinkan kita mengetahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis.
Adapun kekurangan metode ini diantaranya bahwa metode muqaran tidak cocok dipakai bagi pemula dan orang yang menginginkan makna sebuah hadis secara cepat dan ringkas. Hal ini disebabkan pembahasan didalamnya sangat luas. Kekurangan yang lain, metode ini kurang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada karena pada dasarnya penekanan metode ini adalah pada perbandingan bukan pemecahan masalah seperti yang dihasilkan oleh metode tematik. (2)
4. Metode Maudhu’i (tematik).
Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, metode maudhu’i merupakan salah satu cara mengkaji Al-Qur’an dengan mengumpulkan seluruh atau sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dalam tema tertentu, untuk kemudian dikaitkan satu sama lain, hingga akhirnya diambil satu kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut prespektif Al-Qur’an. (3)
Dalam hubungannya dengan hadis, maka metode maudhu’i diartikan sebagai sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan lain sebagainya.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami as-Sunnah dengan benar, kita harus menghimpun semua hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘am dan yang khas. Sehingga dengan ini tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh makna yang lebih jelas.(4)
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’i adalah sebagai berikut :
a. Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang telah ditentukan.
c. Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik pembahasannya.
d. Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
e. Meneliti hadis dari tiap klasifikasi, jika salah satu hadisnya shahih, maka keseluruhan hadis-hadis dalam klasifikasi yang sama tidak perlu diteliti lagi keshahihannya.
f. Menganalisis hadis-hadis tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, muthlaq dengan muqayyad, ‘am dan khas. Dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
g. Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga akan lebih baik jika mufasir menganalisi matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata, ungkapan, asbab wurud dan hal-hal lain yang biasa dilakukan dalam metode tahlily. (5)
h. Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
Metode maudhu’i dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, karena metode ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk berusaha memberikan jawaban bagi permasalahan tersebut yang diambil dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Hadis, disamping memperhatikan penemuan manusia. Sebagai hasilnya, banyak bermunculan karya ilmiah yang membahas topik tertentu menurut prespektif al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, perempuan dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis dan lain sebagainya.(6)
Kelebihan metode maudhu’i selain karena dapat menjawab tantangan zaman dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan rumit, metode ini juga memiliki kelebihan yang lain, diantaranya :
a. Penerapannya praktis dan sistematis, hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an dan hadis dengan waktu yang lebih efektif dan efesien.
b. Metode tematik membuat tafsir Al-Qur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga, masyarakat tertarik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini didapatkan dari ketiga metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang pokok.
c. Dengan ditetapkannya tema tertentu , maka pemahaman kita terhadap hadis Nabi saw. menjadi utuh. Kita hanya perlu membahas segala aspek yang berkaitan dengan tema tersebut tanpa perlu membahas hal-hal lain diluar tema yang ditetapkan. (7)
Adapun kekurangannya, metode ini terikat pada tema yang telah ditetapkannya dan tidak membahas lebih jauh hal-hal diluar dari tema tersebut, sehingga metode ini kurang tepat bagi orang yang menginginkan penjelasan yang terperinci mengenai suatu hadis dari segala aspeknya.
-----------------------------------------
Sumber :
1. Nashruddin Baidan, op. cit., h.65. lihat juga Abdul Hayy Farmawy, op. cit., h. 39.
2. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h. 143-144
3. M. Quraish Shihab, Membumikan. h,87. Lihat juga Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Cet.5 ; Jakarta : Penamadani, 2008), h.13.
4. Yusuf Qardhawi, Kaifa., h. 106.
5. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet.2 ; Bandung : Mizan, 1996) h.xiv
6. Nasaruddin Umar, op. cit., h.13
7. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h.165-167
Sesuai dengan namanya, metode ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparatif). Metode muqaran jika digunakan untuk memahami hadis nabi saw. berarti menjelaskan makna hadis tersebut dengan cara membandingkannya dengan hadis-hadis yang lain atau dengan ayat Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, metode ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk, pertama, membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang memiliki kesamaan topik dengan redaksi yang berbeda.
Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis, atau antara hadis satu dengan yang lain yang secara lahiriah terlihat kontradiktif. Ketiga, membandingkan pendapat para ulama tentang penafsiran suatu ayat atau hadis.(1)
Kelebihan dari metode muqaran adalah memberikan pengetahuan yang lebih luas dibanding metode-metode yang lain, karena dengan metode ini kita didorong untuk mengkaji berbagai macam hadis, ayat-ayat al-Qur’an serta pendapat-pendapat ulama mengenai hadis yang kita maksud. Selain itu, dengan metode ini memungkinkan kita mengetahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis.
Adapun kekurangan metode ini diantaranya bahwa metode muqaran tidak cocok dipakai bagi pemula dan orang yang menginginkan makna sebuah hadis secara cepat dan ringkas. Hal ini disebabkan pembahasan didalamnya sangat luas. Kekurangan yang lain, metode ini kurang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada karena pada dasarnya penekanan metode ini adalah pada perbandingan bukan pemecahan masalah seperti yang dihasilkan oleh metode tematik. (2)
4. Metode Maudhu’i (tematik).
Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, metode maudhu’i merupakan salah satu cara mengkaji Al-Qur’an dengan mengumpulkan seluruh atau sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dalam tema tertentu, untuk kemudian dikaitkan satu sama lain, hingga akhirnya diambil satu kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut prespektif Al-Qur’an. (3)
Dalam hubungannya dengan hadis, maka metode maudhu’i diartikan sebagai sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan lain sebagainya.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami as-Sunnah dengan benar, kita harus menghimpun semua hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘am dan yang khas. Sehingga dengan ini tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh makna yang lebih jelas.(4)
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’i adalah sebagai berikut :
a. Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang telah ditentukan.
c. Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik pembahasannya.
d. Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
e. Meneliti hadis dari tiap klasifikasi, jika salah satu hadisnya shahih, maka keseluruhan hadis-hadis dalam klasifikasi yang sama tidak perlu diteliti lagi keshahihannya.
f. Menganalisis hadis-hadis tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, muthlaq dengan muqayyad, ‘am dan khas. Dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
g. Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga akan lebih baik jika mufasir menganalisi matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata, ungkapan, asbab wurud dan hal-hal lain yang biasa dilakukan dalam metode tahlily. (5)
h. Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
Metode maudhu’i dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, karena metode ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk berusaha memberikan jawaban bagi permasalahan tersebut yang diambil dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Hadis, disamping memperhatikan penemuan manusia. Sebagai hasilnya, banyak bermunculan karya ilmiah yang membahas topik tertentu menurut prespektif al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, perempuan dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis dan lain sebagainya.(6)
Kelebihan metode maudhu’i selain karena dapat menjawab tantangan zaman dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan rumit, metode ini juga memiliki kelebihan yang lain, diantaranya :
a. Penerapannya praktis dan sistematis, hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an dan hadis dengan waktu yang lebih efektif dan efesien.
b. Metode tematik membuat tafsir Al-Qur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga, masyarakat tertarik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini didapatkan dari ketiga metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang pokok.
c. Dengan ditetapkannya tema tertentu , maka pemahaman kita terhadap hadis Nabi saw. menjadi utuh. Kita hanya perlu membahas segala aspek yang berkaitan dengan tema tersebut tanpa perlu membahas hal-hal lain diluar tema yang ditetapkan. (7)
Adapun kekurangannya, metode ini terikat pada tema yang telah ditetapkannya dan tidak membahas lebih jauh hal-hal diluar dari tema tersebut, sehingga metode ini kurang tepat bagi orang yang menginginkan penjelasan yang terperinci mengenai suatu hadis dari segala aspeknya.
-----------------------------------------
Sumber :
1. Nashruddin Baidan, op. cit., h.65. lihat juga Abdul Hayy Farmawy, op. cit., h. 39.
2. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h. 143-144
3. M. Quraish Shihab, Membumikan. h,87. Lihat juga Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Cet.5 ; Jakarta : Penamadani, 2008), h.13.
4. Yusuf Qardhawi, Kaifa., h. 106.
5. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet.2 ; Bandung : Mizan, 1996) h.xiv
6. Nasaruddin Umar, op. cit., h.13
7. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h.165-167
No comments:
Post a Comment