Its time to changing....(tapi bukan satria baja hitam lho:))
hufh...
harus ada yang berubah dari hidupku yang bgn2 saja...
mungkin lifestyle atw cara mengefesienkan waktu..
coz'....saya sudah ketinggalan jauh sekali..:(:(
aghlabiyah alias kebanyakan teman2 dan orang2 disekitarku sudah berlari kencang...
sedang aku masih duduk2 santai tak tau diri...
dan sebagai hasilnya...aku tersungkur di zona berlabel "tak potensial" :(
jadi ingat sms seorang teman, katanya..."sayang sekali klo apa yang kita punya tidak dikembangkan..karena nantinya, itu akan buat kita berakhir bersama orang2 yang tdk punya kontribusi apa2 untuk ummat...so pesannya...agar bisa membangun relasi dan kenalan sebanyak2nya sebagai awal langkah sebuah usaha....biar ilmu yang ada bisa dinikmati orang banyak katanya....":)
hmm...dipikir2 benar juga....
seringkali dengan kenalan yang banyak,peluang untuk mendapat kesempatan pun juga menjadi besar....tentunya dibarengi dengan perbaikan diri yang terus menerus...
terima kasih kk :)
Thursday, March 25, 2010
Wednesday, March 24, 2010
21
Setelah dipikirkan dengan matang disertai dengan berbagai pertimbangan,maka eRu merancang jadwal belajarnya.
Ahad:Al-Qur'an dan Tafsir
Senin:Hadits dan Fiqhi
Selasa:Al-Qur'an dan Tafsir
Rabu:Sejarah dan Bahasa
Kamis:Hadits dan Fiqhi
Jum'at:Free (belajar bebas)
Sabtu:Muraja'ah Hafalan + Belajar apa saja
Demikianlah jadwal ini disusun,semoga eRunya bisa konsisten dan tetap semangat...he he he!!
Mohon Doanya agar eRu bisa seperti yang diharapkan:D
Tuesday, March 23, 2010
Mohammad Hatta Sang Proklamator dan Negarawan Sejati
Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
Dengan lirik yang begitu dalam,Iwan Fals menggambarkan sosoknya yang sederhana,jujur dan bijaksana.Lagu ini tentunya sudah sangat “familiar” ditelinga kita.Yah,Bung Hatta…Sebuah lagu yang khusus dipersembahkan untuk mengenang sosok negarawan,pejuang dan juga merupakan Wakil Presiden Indonesia yang pertama.
Drs.H.Mohammad Hatta atau biasa kita kenal dengan Bung Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat ,12 Agustus 1902.Putra dari H.Mohammad Djamil.Bung Hatta memiliki enam saudara perempuan dan ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Bung Hatta terlahir dari keluarga relijius.Ia mengawali jenjang pendidikannya di Sekolah Melayu,Bukittinggi.Setelah itu,Bung Hatta melanjutkan pendidikannya di MULO.MULO adalah singkatan dari bahasa belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,yang merupakan sistem pendidikan zaman kolonial Belanda di Indonesia.Kalau masa sekarang,MULO setingkat dengan SMP.Setelah itu,ia melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Dagang di Batavia atau yang sekarang kita kenal dengan Jakarta.Dengan prestasi yang baik,akhirnya pada tahun 1921,Bung Hatta berangkat ke Rotterdam untuk mendalami Ilmu Perdagangan dan menetap di sana selama 11 tahun.
Sejak di MULO,Bung Hatta telah tertarik dengan kegiatan organisasi.Ia merupakan aktivis yang ulung.Salah satu yang diikutinya adalah Jong Sumatranen Bond menjabat sebagai bendahara.Saat itu pula,Bung Hatta telah tertarik dengan dunia sosial politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idolanya ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,”kata Bung Hatta dalam Memoirnya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam
Selain itu, Bung Hatta juga seorang penulis.Karang-karangannya dimuat di majalah Jong Sumatera.Salah satunya berjudul “Namaku Hindania!”. Di Belanda,ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging.
Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Bung Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia.
Pada tahun 1932, Bung Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkapnya, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934.Bung Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945 secara aklamasi Bung Hatta ditetapkan sebagai wakil presiden Republik Indonesia mendampingi Ir. Soekarno sebagai presiden. Dan saat itu pula,ia memiliki nama besar sebagai Sang Proklamator Kemerdekaan. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Setelah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu .Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun.
Prespektif Kesetaraan Gender dalam Islam
Konsep kesetaraan gender tak pernah berhenti digembar-gemborkan, seiring dengan itu semakin banyak pula bermunculan tokoh-tokoh feminisme dari berbagai macam aliran yang notabene “katanya” sedang memperjuangkan hak-hak perempuan yang mereka anggap telah terdiskriminasi. Problematika ini memang sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, dan terus mengalami pasang surut hingga sekarang.
1. Kedudukan perempuan pada masa Nabi SAW
Perempuan pra-kedatangan Nabi SAW sama sekali tidak memiliki nilai dan kredibiltas apa-apa, mereka tidak ubahnya barang yang bisa saling diwarisi dan simbol kerugian, hal ini tergambar jelas dalam surat An-Nahl ( An-Nahl:58 ):
“ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Kemudian barulah setelah kedatangan agama Rasulullah SAW, perempuan kembali mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia secara utuh. Hal ini tercermin langsung pada setiap sisi kehidupan masyarakat waktu itu, dalam bidang pendidikan para perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam menimba ilmu, begitu juga dengan hak mengeluarkan pendapat, bertanya, dan sebagainya.
Dalam bidang politik para perempuan diikutsertakan dalam berbagai peperangan, dan segala sektor yang mampu mereka kerjakan.
Banyak contoh nyata yang tidak bisa kita abaikan dalam perjalanan sirah Nabi yang bercerita jelas tentang aktifitas perempuan pada masa itu.
Sosok yang paling dekat dengan Nabi, Siti Khadijah ra adalah pembisnis handal dan terkemuka, perniagaan beliau malah termasuk berkelas diantara lelaki dimasa itu.
Kemudian Siti Aisyah ra yang sangat terkenal dengan kecerdasannya dan menjadi empat besar dalam perawi hadist terbanyak.
Istri Abdullah bin Mas’ud seorang wisraswatawan yang sukses. Syifa yang pernah ditugaskan oleh khalifah Umar bin Khattab untuk menangani pasar kota Madinah dan banyak lagi contoh lain.
Dari ini terlihat nyata bahwa Islam membawa pencerahan dalam kehidupan perempuan, Islam lah yang mengusung revolusi hingga perempuan bisa memperoleh hak-hak mereka kembali, sesuatu hal yang tidak pernah diberikan oleh bangsa atau peradaban manapun sebelum Islam.
Perkembangan ini kemudian kembali mengalami kemerosotan pada abad kedua, saat para pemimpin Islam mulai memasukkan tradisi Helennistik dalam kancah politik, tradisini ini banyak mengadopsi ajaran Yahudi yang melihat peempuan sebagai sesuatu yang nyaris tidak memliki peran apa-apa didalam masyarakat.
2. Konsep kesetaraan gender dalam Al-Quran
Gender dapat diartikan sebagai pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan stasus sosial, untuk selanjutnya yang dilakukan oleh para feminisme adalah menganalisis berbagai kriteria untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Islam merupakan salah satu agama yang memiliki aturan hukum kehidupan sosial yang rinci. Hukum dan ajaran Islam ini terangkum didalam Al-Quran dan dengan tegas mengajarkan manusia tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl ayat 79
“Barangsiapa yang beramal shalih,baik laki-laki maupun perempuan,sedang dia dalam keadaan beriman, kecuali pasti kami akn memberikannya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”.
Dalam hal penciptaan persamaan ini pun diberlakukan, Allah SWT berfirman :”wahai manusia, bertakwalah kamu sekalian pada Allah yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu(adam), dan menciptakan pasangannya (hawa) dari dirinya”.
Selanjutnya firman Allah SWT: “dan yang paling mulia diantar kamu disisi Allah hanyalah orang-orang yang bertakwa”.
Tapi kemudian ada beberapa ayat yang bercerita tentang pembedaan laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menjadi bulan-bulanan para feminisme untuk menyorot Islam. Ajaran Islam dianggap sebelah pihak dan mengekang perempuan. Diantaranya larangan keluar rumah, perolehan warisan, hak menjadi pemimpin dan sebagainya.
Hal ini menggambarkan bahwa seperti ada dua sisi dalam Al-Qur’an, sisi yang pertama bebicara tentang persamaan laki-laki dan perempuan, sisi yang lain mendukung prioritas laki-laki dibanding perempuan.
Orosinalitas Al-Quran tetap ada sampai sekarang.yang kemudian terjadi adalah keragaman penafsiran dari konteks ayat yang ada. Pada umumnya pemahaman teks Al-Qur’an yang diambil dari pendekatan kaidah Ushul fiqh adalah pendekatan yang berorientasi pada pemahaman yang dimunculkan ole bahasa ( tekstual ). Hal ini cenderung membuat kita memahami suatu ayat secara zahir dan gagal memperoleh pesan moral yang ada dibaliknya.
Teks yang bersifat statis tidak bisa mengakomodasi dinamika masyarakat yang terus menerus, oleh karena itu diperlukan pendekatan untuk bisa mendapatkan pesan moral yang ada.
Dengan pendekatan tersebut kedua sisi penggambaran dalam Al-Qur’an bisa disatukan. pendekatan ini erat kaitannya dengan latar belakang dan waktu ditunkannya sebuah ayat. jika kita lihat ayat ayat yang berbicara tentang persamaan laki-laki dan perempuan adalah konteks yang tidak tunduk terhadap waktu dan perubahan, berbeda dengan ayat-ayat yang mendukung prioritas laki-laki terhadap perempuan yang tidak lepas dari background dan zaman diturunkannya ayat tersebut.
Jelaslah bahwa ayat-ayat yang tidak terpengaruh dengan segala perubahan menempati posisi yang “lebih” tinggi derajatnya dibanding dengan ayat-ayat berada dalam pengaruh keadaan sosial ekonomi yang relatif.
Jadi pada dasarnya kita tidak bisa hanya melihat pada konteks suatu ayat tanpa merujuk pada latarbelakang dan zaman turunnya ayat tersebut yaitu masa Rasulullah SAW dimana privilise para lelaki berimbang dengan tanggung jawab sosial yang mereka pikul saat itu. Mereka adalah sumber nafkah bagi keluarganya dan dibebankan untuk membayar mahar ketika akan menikah.
Oleh karena itu ayat-ayat tersebut tidaklah kemudian menjadi hukum yang absolut saat ini, Ketika tanggungjawab sosial tidak lagi dipikul oleh kaum lelaki sendirian, Saat segolongan perempuan telah mapan mencari nafkah. Maka tidak itu menutup kemungkinan dengan pendekatan-pendekatan lain pada Al-Qur’an dan hadits akan menelurkan hukum hukum yang relevan dengan kondisi saat ini, Termasuk analisis gender yang dimaksud.
Penutup
Islam adalah agama yang sempurna.ajaran yang tidak hanya memberikan ketenangan tapi juga penjagaan dan cinta. Terkadang tanpa sadar, saat kita merasa dikekang, diatur, dikungkung dan diajari, saat itu pulalah sebenarnya kita mendapatkan kebebasan yang kita cari, penghargaan yang kita inginkan, dan keadilan yang selalu kita teriakkan. Yang semestinya selalu kita tanamakan dihati kita adalah adil bukan berarti selalu sama, tapi adil adalah penempatan sesuatu pada tempatnya. Begitu juga dengan kita..kaum perempuan, Kita telah dimuliakan dengan pembagian peran yang sesui oleh Islam, maka kenapa kita harus terus berteriak-teriak menyeru meminta keadilan dengan mengabaikan kedudukan mulia yang sudah kita miliki?.
Dalam kesempatan ini, penulis teringat dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Abu Usrah:” Tidak akan ada wanita “normal” yang mau dikatakan sama dengan laki-laki, dan
tidak akan ada laki-laki “normal” yang mau dikatakan sama dengan wanita,
laki-laki ya laki-laki, wanita ya wanita. Sampai hari Kiamat mereka tetap
berbeda.”
.................................................................
Sumber: Mencari Teori Kesetaraan, Acep sugiri.
Indonesia kita, Praktek Kesetaraan Gender Pada Masa Nabi SAW, Nasaruddin Umar.
1. Kedudukan perempuan pada masa Nabi SAW
Perempuan pra-kedatangan Nabi SAW sama sekali tidak memiliki nilai dan kredibiltas apa-apa, mereka tidak ubahnya barang yang bisa saling diwarisi dan simbol kerugian, hal ini tergambar jelas dalam surat An-Nahl ( An-Nahl:58 ):
“ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Kemudian barulah setelah kedatangan agama Rasulullah SAW, perempuan kembali mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia secara utuh. Hal ini tercermin langsung pada setiap sisi kehidupan masyarakat waktu itu, dalam bidang pendidikan para perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam menimba ilmu, begitu juga dengan hak mengeluarkan pendapat, bertanya, dan sebagainya.
Dalam bidang politik para perempuan diikutsertakan dalam berbagai peperangan, dan segala sektor yang mampu mereka kerjakan.
Banyak contoh nyata yang tidak bisa kita abaikan dalam perjalanan sirah Nabi yang bercerita jelas tentang aktifitas perempuan pada masa itu.
Sosok yang paling dekat dengan Nabi, Siti Khadijah ra adalah pembisnis handal dan terkemuka, perniagaan beliau malah termasuk berkelas diantara lelaki dimasa itu.
Kemudian Siti Aisyah ra yang sangat terkenal dengan kecerdasannya dan menjadi empat besar dalam perawi hadist terbanyak.
Istri Abdullah bin Mas’ud seorang wisraswatawan yang sukses. Syifa yang pernah ditugaskan oleh khalifah Umar bin Khattab untuk menangani pasar kota Madinah dan banyak lagi contoh lain.
Dari ini terlihat nyata bahwa Islam membawa pencerahan dalam kehidupan perempuan, Islam lah yang mengusung revolusi hingga perempuan bisa memperoleh hak-hak mereka kembali, sesuatu hal yang tidak pernah diberikan oleh bangsa atau peradaban manapun sebelum Islam.
Perkembangan ini kemudian kembali mengalami kemerosotan pada abad kedua, saat para pemimpin Islam mulai memasukkan tradisi Helennistik dalam kancah politik, tradisini ini banyak mengadopsi ajaran Yahudi yang melihat peempuan sebagai sesuatu yang nyaris tidak memliki peran apa-apa didalam masyarakat.
2. Konsep kesetaraan gender dalam Al-Quran
Gender dapat diartikan sebagai pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan stasus sosial, untuk selanjutnya yang dilakukan oleh para feminisme adalah menganalisis berbagai kriteria untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Islam merupakan salah satu agama yang memiliki aturan hukum kehidupan sosial yang rinci. Hukum dan ajaran Islam ini terangkum didalam Al-Quran dan dengan tegas mengajarkan manusia tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl ayat 79
“Barangsiapa yang beramal shalih,baik laki-laki maupun perempuan,sedang dia dalam keadaan beriman, kecuali pasti kami akn memberikannya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”.
Dalam hal penciptaan persamaan ini pun diberlakukan, Allah SWT berfirman :”wahai manusia, bertakwalah kamu sekalian pada Allah yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu(adam), dan menciptakan pasangannya (hawa) dari dirinya”.
Selanjutnya firman Allah SWT: “dan yang paling mulia diantar kamu disisi Allah hanyalah orang-orang yang bertakwa”.
Tapi kemudian ada beberapa ayat yang bercerita tentang pembedaan laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menjadi bulan-bulanan para feminisme untuk menyorot Islam. Ajaran Islam dianggap sebelah pihak dan mengekang perempuan. Diantaranya larangan keluar rumah, perolehan warisan, hak menjadi pemimpin dan sebagainya.
Hal ini menggambarkan bahwa seperti ada dua sisi dalam Al-Qur’an, sisi yang pertama bebicara tentang persamaan laki-laki dan perempuan, sisi yang lain mendukung prioritas laki-laki dibanding perempuan.
Orosinalitas Al-Quran tetap ada sampai sekarang.yang kemudian terjadi adalah keragaman penafsiran dari konteks ayat yang ada. Pada umumnya pemahaman teks Al-Qur’an yang diambil dari pendekatan kaidah Ushul fiqh adalah pendekatan yang berorientasi pada pemahaman yang dimunculkan ole bahasa ( tekstual ). Hal ini cenderung membuat kita memahami suatu ayat secara zahir dan gagal memperoleh pesan moral yang ada dibaliknya.
Teks yang bersifat statis tidak bisa mengakomodasi dinamika masyarakat yang terus menerus, oleh karena itu diperlukan pendekatan untuk bisa mendapatkan pesan moral yang ada.
Dengan pendekatan tersebut kedua sisi penggambaran dalam Al-Qur’an bisa disatukan. pendekatan ini erat kaitannya dengan latar belakang dan waktu ditunkannya sebuah ayat. jika kita lihat ayat ayat yang berbicara tentang persamaan laki-laki dan perempuan adalah konteks yang tidak tunduk terhadap waktu dan perubahan, berbeda dengan ayat-ayat yang mendukung prioritas laki-laki terhadap perempuan yang tidak lepas dari background dan zaman diturunkannya ayat tersebut.
Jelaslah bahwa ayat-ayat yang tidak terpengaruh dengan segala perubahan menempati posisi yang “lebih” tinggi derajatnya dibanding dengan ayat-ayat berada dalam pengaruh keadaan sosial ekonomi yang relatif.
Jadi pada dasarnya kita tidak bisa hanya melihat pada konteks suatu ayat tanpa merujuk pada latarbelakang dan zaman turunnya ayat tersebut yaitu masa Rasulullah SAW dimana privilise para lelaki berimbang dengan tanggung jawab sosial yang mereka pikul saat itu. Mereka adalah sumber nafkah bagi keluarganya dan dibebankan untuk membayar mahar ketika akan menikah.
Oleh karena itu ayat-ayat tersebut tidaklah kemudian menjadi hukum yang absolut saat ini, Ketika tanggungjawab sosial tidak lagi dipikul oleh kaum lelaki sendirian, Saat segolongan perempuan telah mapan mencari nafkah. Maka tidak itu menutup kemungkinan dengan pendekatan-pendekatan lain pada Al-Qur’an dan hadits akan menelurkan hukum hukum yang relevan dengan kondisi saat ini, Termasuk analisis gender yang dimaksud.
Penutup
Islam adalah agama yang sempurna.ajaran yang tidak hanya memberikan ketenangan tapi juga penjagaan dan cinta. Terkadang tanpa sadar, saat kita merasa dikekang, diatur, dikungkung dan diajari, saat itu pulalah sebenarnya kita mendapatkan kebebasan yang kita cari, penghargaan yang kita inginkan, dan keadilan yang selalu kita teriakkan. Yang semestinya selalu kita tanamakan dihati kita adalah adil bukan berarti selalu sama, tapi adil adalah penempatan sesuatu pada tempatnya. Begitu juga dengan kita..kaum perempuan, Kita telah dimuliakan dengan pembagian peran yang sesui oleh Islam, maka kenapa kita harus terus berteriak-teriak menyeru meminta keadilan dengan mengabaikan kedudukan mulia yang sudah kita miliki?.
Dalam kesempatan ini, penulis teringat dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Abu Usrah:” Tidak akan ada wanita “normal” yang mau dikatakan sama dengan laki-laki, dan
tidak akan ada laki-laki “normal” yang mau dikatakan sama dengan wanita,
laki-laki ya laki-laki, wanita ya wanita. Sampai hari Kiamat mereka tetap
berbeda.”
.................................................................
Sumber: Mencari Teori Kesetaraan, Acep sugiri.
Indonesia kita, Praktek Kesetaraan Gender Pada Masa Nabi SAW, Nasaruddin Umar.
Monday, March 22, 2010
Sebuah lagu Kado Ultahmu
Jauh melangkah meniti waktu berlalu
jauh berjalan lewati berjuta warna kehidupan
tanpa sadari dalam cermin wajah ini
bertambah umurku dalam hidup yang smakin merapuh
Allah bukalah hatiku
bimbing dijalan terangMu
selamatkanlah jiwa yang gelap
dalam cahaya rahmatMu
Allah kau Maha Cahaya
beri Petunjuk sang jiwa
ampuni diri yang lemah
dalam sesat kumelangkah
Allah maha Cahaya
menerangi sang jiwa...
Allah Maha penguasa
Padanya kami berserah....
menghitung buruk...
tanpa sadar airmata
menjadi saksi banyak waktu sia-sia
tanpa sadari dalam cermin wajah ini
bertambah umurku dalam hidup yang semakin merapuh
(Opick..Allah Maha Cahaya)
Selamat Ulang Tahun....
23 Maret 2010.........
hari ini....seseorang yang dekat dengan saya berulang tahun...........
sebenarnya ingin sekali memberikan sesuatu yang lebih berarti padanya....
tapi tak tau dia sedang membutuhkan apa....ditambah lagi...jarak yang jauh..
akhirnya, saya putuskan untuk menuliskannya sesuatu....
entah dilihatnya atau tidak....
menjadi pertimbangan untuknya atau tak mendapat perhatian sedikitpun darinya.........
tapi hanya inilah yang bisa kulakukan untuknya...
menulis....dan hanya selalu dengan tulisan..
seperti ulang tahunnya tahun kemarin
dan 2 tahun yang kemarinnya lagi.............
dan apa yang saya tuliskan hari ini...juga masih sama dengan apa yang saya tuliskan tahun2 kemarin........mengenai pembelajaran......dan menjadi lebih baik.
mulai hari ini.........
angka dalam sebutan umurnya menjadi bertambah satu..
tapi "satu" itu sangat berarti banyak........
bahwa mulai hari ini....kewajiban dan tanggung jawabnya menjadi lebih besar dari sebelumnya
bahwa mulai hari ini....tuntutannya untuk semakin bisa berfikir kedepan lebih banyak
bahwa mulai hari ini....dia harus sudah bisa belajar untuk memutuskan apa yang penting dan berharga untuknya...kemudian berjuang mendapatkannya...tidak berhenti sampai situ ,tapi juga menjaganya hingga akhir.........
alangkah bijak...jika memulai hari ini dengan melontar tanya pada diri sendiri...
apa yang selama ini sudah dilakukannya untuk dirinya sendiri dan orang lain?
sudahkah dia menebar manfaat atau hanya berdiam diri
hm.........
memang banyak yang harus disadari.
jangan marah jika saya menyebutmu masih kekanakan.......
saya hanya ingin kau sadar.....bahwa ketika kita menginginkan sesuatu, terkadang tidak bisa kita dapat dengan mudah dan hanya menunggu dia datang pada kita.
kita harus mengusahakannya...terus dan terus........
dalam berusaha pun, bukan dengan setengah setengah................tapi sungguh2....
dengan bgt...apa yang kita peroleh menjadi semakin punya arti...karena kita sudah berjuang penuh untuk itu.
dalam berusaha pun...
tidak berarti tidak akan mendapat masalah......
tapi yang penting bukan ada tidaknya masalah....tapi bagamana kita selesaikannya...
dan lagi2...menyelesaikan masalah bukan hanya dengan berputus asa........bukan juga dengan melarikan diri
tidak seperti itu sayang........
kau juga masih perlu mengusahakannya............
kali ini.......
saya tidak banyak bicara......
kali ini......
saya hanya ingin melihat usahamu....(jika kau masih mau berusaha)
semoga tidak pernah ada penyesalan apa-apa......
dan akhirnya.........
hari ini...dengan do'a yang sama......
selamat mentajdid diri....
semoga umur yang diberikannya bisa berberkah dan bermanfaat.......
segala mimpi dan harapan bisa tercapai........
dan semakin bisa menjadi Hamba yang baik...(amin ya Rabb)
..............................................
Seorang Muslim yang sebenarnya adalah seorang muslim yang harinya sekarang lebih baik daripada harinya kemarin........dia akan terus berusaha menjadi lebih baik...lebih baik..dan lebih bermanfaat..............
Pendekatan dalam Memahami Hadis Nabi saw. (2)
3. Pendekatan Psikologis.
Yang dimaksud dengan pendekatan psikologis disini adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan objek atau kepada siapa sebuah hadis ditujukan(1)
.
Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat Nabi saw. terkadang memberikan jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan yang sama. Dalam masalah ini, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam memahami hadis-hadis tersebut yaitu dengan pendekatan psikologi.
Sebagai contoh, hadis Nabi saw. tentang amalan yang paling utama, disebuah hadis Nabi menjawab bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan oranglain dan menyebarkan salam, dihadis lain Nabi bersabda shalat pada waktunya adalah yang paling utama, ada juga hadis yang menyatakan bahwa jihad dijalan Allah merupakan amalan yang paling utama dan lain sebagainya.
Jika kita melihat hadis-hadis tersebut secara tekstual, maka yang kita simpulkan adalah hadis-hadis tersebut saling bertentangan. Ketika satu diklaim benar maka yang lain menjadi salah. Akan tetapi, jika kita melihat konteksnya, bahwa Nabi ketika menyatakan sabdanya, melihat kepada kondisi dan kejiwaan orang yang bertanya. Karena kondisi mereka berbeda-beda, maka jawaban Nabi untuk merekapun berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
Menurut Prof. Dr. Syuhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah bersifat substantif. Yang substantif ada dua kemungkinan, yakni 1) relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan, 2) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Oleh karena itu hadis-hadis yang sejenis diatas, bersifat temporal dan kondisional. (2)
4. Pendekatan Integral dalam memahami hadis-hadis yang tampak Kontroversial.
Pada dasarnya, tidak ada Nash-Nash syariat yang saling bertentangan. Sebab, sumber nash-nash tersebut adalah satu, dan kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran.
Oleh karena itu, jika terdapat pertentangan antara satu hadis dengan hadis lain, maka hal itu hanya tampak diluar saja, bukan merupakan pertentangan secara hakikatnya. Dalam artian kita bisa menghilangkan pertentangan tersebut dengan beberapa cara yang telah gunakan oleh para ulama terdahulu. (3)
Sebelum itu, satu hal yang harus kita perhatikan bahwa dalam menghilangkan pertentangan diantara hadis-hadis yang ada, kita terlebih dahulu telah meneliti kualitas hadis-hadis tersebut. apakah shahih, hasan atau dhaif. Hal ini sangat penting, karena dalam pembahasan ini, yang menjadi syarat hanyalah hadis-hadis tersebut merupakan hadis shahih. Adapun hadis dhaif atau yang lemah sanadnya, maka tidak termasuk dalam pembahasan ini. (4)
Adapun cara yang ditempuh para ulama dalam menghilangkan pertentangan yang ada diantara hadis berbeda-beda, ada yang menggunakan satu cara, dua cara dan lain sebagainya dengan urutan langkah yang berbeda-beda pula. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Al-Jam’u , at-Taufiq atau al-Talfiq, (kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya).
b. Al-Nasikh wa al-Mansukh (petunjuk dalam hadis yang satu menghapus petunjuk hadis yang lain)
c. Al-Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat). Baik itu dilihat dari keadaan rawinya, tahammul wal ada’, lafaz khabar-nya dan lain sebagainya. (5)
d. Al-Tauqif (“menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan). Langkah ini pun masih bisa diberikan solusi dengan cara memberikan takwil atau interpretasi secara rasional terhadap hadis tersebut. (6)
Sebagai contoh, hadis yang tampaknya bertentangan yaitu hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa :
“ Rasulullah saw. melaknat perempuan yang sering menziarahi kubur “. (7)
Dengan hadis-hadis lain yang meyatakan bolehnya perempuan menziarahi kubur :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور , فزوروها.
“Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah”. (8)
Jika dilihat dari teks hadisnya, maka kedua hadis tersebut tampak bertentangan, hadis pertama mengandung larangan untuk menziarahi kubur, dan hadis kedua menyatakan kebolehannya.
Menurut Dr.Yusuf Qardhawi, kedua hadis diatas dapat digabungkan dan dapat diupayakan untuk disesuaikan makna kandungannya. Yaitu dengan mengartikan kata “ melaknat” yang terdapat pada hadis pertama sebagai peringatan terhadap perempuan yang “amat sering” melakukan ziarah. Hal ini sesuai dengan bentuk kata “zawwarat” yang berkonotasi amat sering. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya perhatian mereka pada pemenuhan hak para suami dan keluarganya, disamping kemungkinan keseringannya membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras dan lain sebagainya. Jika sebab ini dapat dihindari, maka tidak ada salahnya bagi perempuan untuk menziarahi kubur, karena hal itu juga termasuk salah satu upaya untuk mengingat mati. (9)
..................................................................
Sumber :
1. Arifudin Ahmad,op. cit., h.171.
2. Syuhudi Ismail, op. cit., h.26.
3. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.118.
4. Lihat ibid.
5. Lihat Jalaluddin Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Jil.2 (Cet.6 ; Saudi : Dar el-Thayyibah, 1423 H), h.654-659
6. Agil Husain Al-Munawwar, op. cit., h.24.
7. HR. Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi.
8. HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Anas.
9. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.122.
Yang dimaksud dengan pendekatan psikologis disini adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan objek atau kepada siapa sebuah hadis ditujukan(1)
.
Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat Nabi saw. terkadang memberikan jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan yang sama. Dalam masalah ini, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam memahami hadis-hadis tersebut yaitu dengan pendekatan psikologi.
Sebagai contoh, hadis Nabi saw. tentang amalan yang paling utama, disebuah hadis Nabi menjawab bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan oranglain dan menyebarkan salam, dihadis lain Nabi bersabda shalat pada waktunya adalah yang paling utama, ada juga hadis yang menyatakan bahwa jihad dijalan Allah merupakan amalan yang paling utama dan lain sebagainya.
Jika kita melihat hadis-hadis tersebut secara tekstual, maka yang kita simpulkan adalah hadis-hadis tersebut saling bertentangan. Ketika satu diklaim benar maka yang lain menjadi salah. Akan tetapi, jika kita melihat konteksnya, bahwa Nabi ketika menyatakan sabdanya, melihat kepada kondisi dan kejiwaan orang yang bertanya. Karena kondisi mereka berbeda-beda, maka jawaban Nabi untuk merekapun berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
Menurut Prof. Dr. Syuhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah bersifat substantif. Yang substantif ada dua kemungkinan, yakni 1) relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan, 2) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Oleh karena itu hadis-hadis yang sejenis diatas, bersifat temporal dan kondisional. (2)
4. Pendekatan Integral dalam memahami hadis-hadis yang tampak Kontroversial.
Pada dasarnya, tidak ada Nash-Nash syariat yang saling bertentangan. Sebab, sumber nash-nash tersebut adalah satu, dan kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran.
Oleh karena itu, jika terdapat pertentangan antara satu hadis dengan hadis lain, maka hal itu hanya tampak diluar saja, bukan merupakan pertentangan secara hakikatnya. Dalam artian kita bisa menghilangkan pertentangan tersebut dengan beberapa cara yang telah gunakan oleh para ulama terdahulu. (3)
Sebelum itu, satu hal yang harus kita perhatikan bahwa dalam menghilangkan pertentangan diantara hadis-hadis yang ada, kita terlebih dahulu telah meneliti kualitas hadis-hadis tersebut. apakah shahih, hasan atau dhaif. Hal ini sangat penting, karena dalam pembahasan ini, yang menjadi syarat hanyalah hadis-hadis tersebut merupakan hadis shahih. Adapun hadis dhaif atau yang lemah sanadnya, maka tidak termasuk dalam pembahasan ini. (4)
Adapun cara yang ditempuh para ulama dalam menghilangkan pertentangan yang ada diantara hadis berbeda-beda, ada yang menggunakan satu cara, dua cara dan lain sebagainya dengan urutan langkah yang berbeda-beda pula. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Al-Jam’u , at-Taufiq atau al-Talfiq, (kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya).
b. Al-Nasikh wa al-Mansukh (petunjuk dalam hadis yang satu menghapus petunjuk hadis yang lain)
c. Al-Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat). Baik itu dilihat dari keadaan rawinya, tahammul wal ada’, lafaz khabar-nya dan lain sebagainya. (5)
d. Al-Tauqif (“menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan). Langkah ini pun masih bisa diberikan solusi dengan cara memberikan takwil atau interpretasi secara rasional terhadap hadis tersebut. (6)
Sebagai contoh, hadis yang tampaknya bertentangan yaitu hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa :
“ Rasulullah saw. melaknat perempuan yang sering menziarahi kubur “. (7)
Dengan hadis-hadis lain yang meyatakan bolehnya perempuan menziarahi kubur :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور , فزوروها.
“Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah”. (8)
Jika dilihat dari teks hadisnya, maka kedua hadis tersebut tampak bertentangan, hadis pertama mengandung larangan untuk menziarahi kubur, dan hadis kedua menyatakan kebolehannya.
Menurut Dr.Yusuf Qardhawi, kedua hadis diatas dapat digabungkan dan dapat diupayakan untuk disesuaikan makna kandungannya. Yaitu dengan mengartikan kata “ melaknat” yang terdapat pada hadis pertama sebagai peringatan terhadap perempuan yang “amat sering” melakukan ziarah. Hal ini sesuai dengan bentuk kata “zawwarat” yang berkonotasi amat sering. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya perhatian mereka pada pemenuhan hak para suami dan keluarganya, disamping kemungkinan keseringannya membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras dan lain sebagainya. Jika sebab ini dapat dihindari, maka tidak ada salahnya bagi perempuan untuk menziarahi kubur, karena hal itu juga termasuk salah satu upaya untuk mengingat mati. (9)
..................................................................
Sumber :
1. Arifudin Ahmad,op. cit., h.171.
2. Syuhudi Ismail, op. cit., h.26.
3. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.118.
4. Lihat ibid.
5. Lihat Jalaluddin Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Jil.2 (Cet.6 ; Saudi : Dar el-Thayyibah, 1423 H), h.654-659
6. Agil Husain Al-Munawwar, op. cit., h.24.
7. HR. Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi.
8. HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Anas.
9. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.122.
Pendekatan dalam Memahami Hadis Nabi saw. (1)
C. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis Nabi saw.
Hadis bagi umat Islam merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik dan benar. namun, untuk memahami hadis secara benar relatif tidak “gampang”, khususnya jika kita menemukan hadis-hadis yang tampaknya bertentangan.(1)
Selain itu, dalam diskursus ilmu hadis kita mendapati bahwa ada hadis yang memilki asbab al-wurud khusus, dan ada yang tidak. Untuk kategori pertama, kita dapat menggunakan perangkat asbab wurud tersebut untuk membantu dalam memahami hadis nabi saw.
Adapun untuk hadis-hadis yang tidak memilki asbab wurud tertentu, maka kita dapat melakukan analisis pemahaman hadis (fiqhul hadis) dengan menggunakan berbagai macam pendekatan, baik itu historis, sosiologis, antropologis bahkan pendekatan psikologis.
Dengan pendekatan-pendekatan ini, diharapkan dapat membantu kita untuk memperoleh pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. (2)
Pada dasarnya yang dimaksud dengan metode pendekatan menurut Fajrul munawir adalah pola pikir (al-Ittijah al-Fikri) yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah. (3) Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami hadis nabi saw. diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan bahasa (linguistic).
Pendekatan lingusitik atau bahasa adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami hadis nabi saw. (4)
Salah satu kekhususan yang dimiliki hadis Nabi saw. adalah bahwa matan hadis memiliki bentuk yang beragam. Diantara bentuk matan tersebut yaitu, jawami’ al-kalim (ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tamstsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi dan lain sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadis ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi saw. pun harus berbeda-beda. (5)
Dalam memahami hadis nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang terdapat dalam hadis, jika telah dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut. setelah itu, baru dapat ditarik kesimpulan makna dari hadis tersebut.
Contohnya, hadis Nabi saw. sebagai berikut :
"الصيام جنة". (6
Dalam hadis diatas kita bisa melihat bahwa rasulullah saw. menyamakan puasa dengan perisai. Untuk memahami hadis ini, maka kita dapat melakukan pendekatan bahasa. Kata “جنة” dalam hadis diartikan sebagai perisai. Sedang perisai, yang kita kenal merupakan suatu alat yang biasa dipakai untuk melindungi diri.
Salah satu hikmah puasa diantaranya merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran serta penahan diri dari hal-hal yang yang dilarang oleh Allah swt.(7) Ketika seseorang berpuasa, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak amalan puasanya dan hal-hal lain yang tidak disukai Allah swt. (maksiat) .
Oleh karena itu wajar Rasulullah saw. dalam hadisnya menyamakan puasa dengan perisai. karena puasa merupakan penghalang bagi seseorang untuk melakukan segala sesuatu yang diingininya. Dan merupakan pelindung bagi orang tersebut baik dari hal-hal maksiat dan dosa di dunia ataupun dari api neraka di akhirat.
2. Pendekatan Historis, Sosiologi dan Antropologis.
a. Pendekatan historis.
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadis Nabi saw. dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis tersebut disampaikan Nabi saw.
Dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi social dan situasi historis kultural yang mengitarinya. (8)
Pendekatan ini menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi saw. bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu? Serta mengamati proses terjadinya.(9)
Pendekatan model ini sudah ada sejak masa para ulama terdahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbab wurud, yang menuturkan sebab-sebab mengapa nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa Nabi menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis nabi saw. dengan pendekatan historis mencakup, waktu, tempat, latar belakang, pelaku dan objek hadis tersebut.
b. Pendekatan Sosologis dan Antropologis.
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku. (10)
Adapun pendekatan Antropologis memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan ini adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruang dan waktu. (11)
Dengan pendekatan historis, sosiologi dan Antropologis diharapkan akan memperoleh pemahaman baru yang lebih apresiasip terhadap perubahan masyarakat (social change) dan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan social yang merupakan implikasi dari perkembangan dan kemajuan zaman.
Contoh aplikasi pemahaman hadis nabi saw, dengan pendekatan historis, sosiologis dan antroplogis dapat dilihat dari hadis berikut :
"لا تسا فر امراة الا ومعها محرم".
“Tidak diperbolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya”. (12)
Jika dilihat secara tekstual, hadis diatas mengandung larangan bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan (safir) sendirian, tanpa disertai mahramnya.
Hadis diatas tidak memiliki asbabul wurud khusus. Dan jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat pada masa itu, sangat mungkin larangan itu dilatar belakangi kekhawatiran Nabi saw. terhadap keselamatan perempuan jika berpergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Mengingat kondisi saat itu, seorang yang melakukan perjalanan, biasa menggunakan unta, keledai ataupun sejenisnya. Tidak jarang pula harus melewati gurun pasir yang sangat luas dan jauh dari keramaian. Ditambah lagi, waktu itu ada anggapan yang negatif dan kurang etis jika perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian. (13)
Oleh karena itu, saat sekarang, ketika kondisi masyarakat sudah berubah, dimana jarak yang jauh sudah tidak menjadi masalah, ditambah dengan system keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam berpergian, maka illah dari larangan tersebut menjadi hilang dan wanita boleh saja melakukan perjalanan sendirian untuk menuanaikan urusannya. (14)
Disini dapat dilihat, konsep “Mahram” yang mengalami reinterpretasi, sehingga tidak lagi harus dipahami sebagai person, tetapi juga system keamanan yang dapat menjamin keselamatan bagi kaum wanita tersebut. pemahaman semacam ini akan lebih apresiasif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. (15)
......................................................................
Sumber :
1. Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h.24-25.
2. Lihat ibid., h.25
3. Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim (t.t. : Teras, t.th.), h.138
4. Lihat ibid., h.143.
5. Arifuddin Ahmad, op. cit., h.3
6. Hadis ini diriwayatkan oleh banyak sanad, diantaranya Abu Hurairah dalam Bukhari dan Muslim.
7. Yusuf Qardhawi, Fiqh as-Shia>m, terj. Ma’ruf Abdul Jalil Th. I. Wahid Ahmadi dan Jasiman, Fiqhi Puasa (Cet.8 ; Surakarta : Era Intermedia, 2009), h.23.
8. Aqil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, op. cit., h.26
9. Ibid., h.27
10. Ibid.
11.Ibid.
12.HR. Bukhari dan Muslim.
13.Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.136.
14. Ibid.
15. Agil Husai Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, op. cit., h.31.
Hadis bagi umat Islam merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik dan benar. namun, untuk memahami hadis secara benar relatif tidak “gampang”, khususnya jika kita menemukan hadis-hadis yang tampaknya bertentangan.(1)
Selain itu, dalam diskursus ilmu hadis kita mendapati bahwa ada hadis yang memilki asbab al-wurud khusus, dan ada yang tidak. Untuk kategori pertama, kita dapat menggunakan perangkat asbab wurud tersebut untuk membantu dalam memahami hadis nabi saw.
Adapun untuk hadis-hadis yang tidak memilki asbab wurud tertentu, maka kita dapat melakukan analisis pemahaman hadis (fiqhul hadis) dengan menggunakan berbagai macam pendekatan, baik itu historis, sosiologis, antropologis bahkan pendekatan psikologis.
Dengan pendekatan-pendekatan ini, diharapkan dapat membantu kita untuk memperoleh pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. (2)
Pada dasarnya yang dimaksud dengan metode pendekatan menurut Fajrul munawir adalah pola pikir (al-Ittijah al-Fikri) yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah. (3) Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami hadis nabi saw. diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan bahasa (linguistic).
Pendekatan lingusitik atau bahasa adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami hadis nabi saw. (4)
Salah satu kekhususan yang dimiliki hadis Nabi saw. adalah bahwa matan hadis memiliki bentuk yang beragam. Diantara bentuk matan tersebut yaitu, jawami’ al-kalim (ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tamstsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi dan lain sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadis ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi saw. pun harus berbeda-beda. (5)
Dalam memahami hadis nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang terdapat dalam hadis, jika telah dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut. setelah itu, baru dapat ditarik kesimpulan makna dari hadis tersebut.
Contohnya, hadis Nabi saw. sebagai berikut :
"الصيام جنة". (6
Dalam hadis diatas kita bisa melihat bahwa rasulullah saw. menyamakan puasa dengan perisai. Untuk memahami hadis ini, maka kita dapat melakukan pendekatan bahasa. Kata “جنة” dalam hadis diartikan sebagai perisai. Sedang perisai, yang kita kenal merupakan suatu alat yang biasa dipakai untuk melindungi diri.
Salah satu hikmah puasa diantaranya merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran serta penahan diri dari hal-hal yang yang dilarang oleh Allah swt.(7) Ketika seseorang berpuasa, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak amalan puasanya dan hal-hal lain yang tidak disukai Allah swt. (maksiat) .
Oleh karena itu wajar Rasulullah saw. dalam hadisnya menyamakan puasa dengan perisai. karena puasa merupakan penghalang bagi seseorang untuk melakukan segala sesuatu yang diingininya. Dan merupakan pelindung bagi orang tersebut baik dari hal-hal maksiat dan dosa di dunia ataupun dari api neraka di akhirat.
2. Pendekatan Historis, Sosiologi dan Antropologis.
a. Pendekatan historis.
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadis Nabi saw. dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis tersebut disampaikan Nabi saw.
Dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi social dan situasi historis kultural yang mengitarinya. (8)
Pendekatan ini menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi saw. bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu? Serta mengamati proses terjadinya.(9)
Pendekatan model ini sudah ada sejak masa para ulama terdahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbab wurud, yang menuturkan sebab-sebab mengapa nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa Nabi menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis nabi saw. dengan pendekatan historis mencakup, waktu, tempat, latar belakang, pelaku dan objek hadis tersebut.
b. Pendekatan Sosologis dan Antropologis.
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku. (10)
Adapun pendekatan Antropologis memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan ini adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruang dan waktu. (11)
Dengan pendekatan historis, sosiologi dan Antropologis diharapkan akan memperoleh pemahaman baru yang lebih apresiasip terhadap perubahan masyarakat (social change) dan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan social yang merupakan implikasi dari perkembangan dan kemajuan zaman.
Contoh aplikasi pemahaman hadis nabi saw, dengan pendekatan historis, sosiologis dan antroplogis dapat dilihat dari hadis berikut :
"لا تسا فر امراة الا ومعها محرم".
“Tidak diperbolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya”. (12)
Jika dilihat secara tekstual, hadis diatas mengandung larangan bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan (safir) sendirian, tanpa disertai mahramnya.
Hadis diatas tidak memiliki asbabul wurud khusus. Dan jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat pada masa itu, sangat mungkin larangan itu dilatar belakangi kekhawatiran Nabi saw. terhadap keselamatan perempuan jika berpergian tanpa disertai suami atau mahramnya. Mengingat kondisi saat itu, seorang yang melakukan perjalanan, biasa menggunakan unta, keledai ataupun sejenisnya. Tidak jarang pula harus melewati gurun pasir yang sangat luas dan jauh dari keramaian. Ditambah lagi, waktu itu ada anggapan yang negatif dan kurang etis jika perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian. (13)
Oleh karena itu, saat sekarang, ketika kondisi masyarakat sudah berubah, dimana jarak yang jauh sudah tidak menjadi masalah, ditambah dengan system keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam berpergian, maka illah dari larangan tersebut menjadi hilang dan wanita boleh saja melakukan perjalanan sendirian untuk menuanaikan urusannya. (14)
Disini dapat dilihat, konsep “Mahram” yang mengalami reinterpretasi, sehingga tidak lagi harus dipahami sebagai person, tetapi juga system keamanan yang dapat menjamin keselamatan bagi kaum wanita tersebut. pemahaman semacam ini akan lebih apresiasif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. (15)
......................................................................
Sumber :
1. Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h.24-25.
2. Lihat ibid., h.25
3. Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim (t.t. : Teras, t.th.), h.138
4. Lihat ibid., h.143.
5. Arifuddin Ahmad, op. cit., h.3
6. Hadis ini diriwayatkan oleh banyak sanad, diantaranya Abu Hurairah dalam Bukhari dan Muslim.
7. Yusuf Qardhawi, Fiqh as-Shia>m, terj. Ma’ruf Abdul Jalil Th. I. Wahid Ahmadi dan Jasiman, Fiqhi Puasa (Cet.8 ; Surakarta : Era Intermedia, 2009), h.23.
8. Aqil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, op. cit., h.26
9. Ibid., h.27
10. Ibid.
11.Ibid.
12.HR. Bukhari dan Muslim.
13.Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.136.
14. Ibid.
15. Agil Husai Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, op. cit., h.31.
Teknik Interpretasi Hadis
B. Teknik Memahami Hadis Nabi saw.
Diantara hadis hadis Nabi saw. ada yang berlaku universal dan tidak dibatasi tempat dan waktu, ada juga yang bersifat temporal dan lokal. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, padangan dan wawasan yang luas hingga dapat mengetahui tujuan syariat dan hakikat agama. (1)
Oleh karena itu dalam memahami hadis Nabi saw. kita dapat menggunakan beberapa teknik interpretasi ( cara menasirkan teks hadis). Dikenal tiga teknik interpretasi, yaitu, interpretasi tekstual, kontekstual dan interkontekstual.
1. Interpretasi tekstual.
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud sebuah hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja. (2)
Dr. Arifuddin Ahmad dalam bukunya paradigma baru memahami hadis Nabi saw. mendefenisikan interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan petunjuknya, waktu, sabab wurud, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis nabi yang dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal. (3)
Salah satu contoh hadis yang bersifat universal dan dapat dipahami secara tekstual yaitu :
عن جابر ابن عبدالله رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : الحرب خدعة.
“Dari Jabir ibn Abdillah ra., Nabi saw. bersabda : “perang itu siasat”. (4)
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis diatas sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat. Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya dengan menyerahkan diri kepada musuh. (5)
2. Interpretasi kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi pemahaman sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik interpretasi kontekstual ,(6) teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain yang berhubungan dengan hadis tersebut. (7)
Sedang menurut Yusuf Qardhawi, diantara cara yang baik memahami hadis Nabi saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat (alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami melalui kejadian yang menyertainya. (8)
Lebih lanjut lagi menurut beliau, adakalanya seseorang dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak menetapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud hadis yang sebenarnya. Bahkan, bisa jadi dia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meski tampak berpegang padanya. (9)
Dengan demikian, memahami hadis nabi saw. dengan teknik interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya :
a. Bentuk dan cakupan petunjuk hadis. Antara lain, yang berupa jawami’ al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsil (perumpamaan), hiwar (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadis tersebut bersifat universal atau temporal dan local.
b. Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima perang dan sebagainya.
c. Latar historis (asbab al-wurud), dan sasaran ditujukannya hadis. (10)
d. Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadis Nabi saw dengan mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.
Sebagai contoh, hadis berikut :
"الائمة من قريش".
“Para imam (haruslah) dari Quraisy” (11)
Atau hadis Nabi saw. yang berbunyi :
"لايزال هذا الامر في قريش مابقي منهم اثنان".
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpin), selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja”. (12)
Jika hadis diatas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat disimpulkan bahwa ketika hadis tersebut dinyatakan , Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraisy. (13)
Jika dipahami secara tekstual, maka hadis ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Untuk itu dalam memahami hadis ini, kita perlu melihat konteksnya.Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadis ini bersifat temporal.
Menurut ibnu Khaldun seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi, ketika Nabi saw. menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraisy-lah yang memiliki kekuatan dan kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau pemerintahan.(14) Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada orang bukan dari suku Quraisy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka dia dapat diangkat menjadi pemimpin.
Dengan interpretasi kontekstual seperti ini, maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman hadis, selain itu, kita dapat mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Al-Qur’an yang diawal terlihat bertentangan.
Demikian, dalam hadis-hadis nabi saw. ada yang lebih tepat jika dipahami secara tekstual, ada juga yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual. Interpretasi tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut.
Adapun interpretasi kontekstual dilakukan bila ada qarinah (petunjuk) yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami tidak sebagaimana teks lahirnya saja (tekstual). (15)
3. Interpretasi interkontekstual.
Yang dimaksud dengan interpretasi interkontekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis nabi saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Al-Qur’an yang terkait. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan teknik interpretasi interkontekstual, maka kita perlu memperhatikan teks dan konteksnya.
Hal ini sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an dan kadang berupa penjelas atau penguat bagi hadis yang lain.
Sebagai contoh, Hadis Rasulullah saw :
“ Dari Rib’y bin Hirasy berkata : “Seseorang dari Bani’ Amir menceritakan kepada kami sewaktu ia minta izin untuk masuk kerumah Nabi saw., dan waktu itu beliau berada didalam rumah. Orang itu mengucapkan : “Bolehkah saya masuk?”. Kemudian Rasulullah saw meminta pelayannya : “Keluarlah dan ajarkan kepada orang itu tentang tata cara minta izin, katakana kepadanya : “Ucapkanlah Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk?”. Orang itu mendengar apa yang disabdakan Nabi, maka ia mengucapkan :”Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk?”. Kemudian Nabi saw. memberi izin kepadanya, maka dia pun terus masuk”. (16)
Hadis diatas mengandung petunjuk bahwa jika seseorang ingin memasuki rumah orang lain, maka terlebih dahulu harus memberi salam dan meminta izinnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. yang berbunyi :
"ياايهاالذين امنوا لاتدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستانسوا وتسلموا على اهلها".
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (17)
Lebih lanjut lagi, dihadis yang lain Nabi saw. menjelaskan batas-batas minta izin :
"الاستئذان ثلاث, فان اذن لك, والافارجع".
“Minta izin itu sampai tiga kali. Bila diizinkan maka masuklah kamu, dan bila tdak aka pulanglah kamu.” (18)
......................................................................................
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.131.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.21.
3. Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi : Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet.1 ; Jakarta : Renaisans, 2005), h.205.
4. HR. Jama’ah kecuali Abu Dawud.
5. Syuhudi Ismail, op. cit., h.11.
6. Nasaruddin Umar, loc. cit.
7. Arifuddin Ahmad, loc, cit.
8. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.131.
9. Lihat ibid., h.145.
10. Nasaruddin Umar, loc. cit.
11. HR. Ahmad melalui para perawi yang tsiqah.
12. HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.
13. Arifuddin Ahmad, op. cit., h.183.
14. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.138.
15. Syuhudi Ismail, op. cit., h.6
16. HR. Abu Daud.
17. QS. An-Nur/24 :27.
18. HR. Bukhari dan Muslim.
Diantara hadis hadis Nabi saw. ada yang berlaku universal dan tidak dibatasi tempat dan waktu, ada juga yang bersifat temporal dan lokal. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, padangan dan wawasan yang luas hingga dapat mengetahui tujuan syariat dan hakikat agama. (1)
Oleh karena itu dalam memahami hadis Nabi saw. kita dapat menggunakan beberapa teknik interpretasi ( cara menasirkan teks hadis). Dikenal tiga teknik interpretasi, yaitu, interpretasi tekstual, kontekstual dan interkontekstual.
1. Interpretasi tekstual.
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud sebuah hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja. (2)
Dr. Arifuddin Ahmad dalam bukunya paradigma baru memahami hadis Nabi saw. mendefenisikan interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan petunjuknya, waktu, sabab wurud, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis nabi yang dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal. (3)
Salah satu contoh hadis yang bersifat universal dan dapat dipahami secara tekstual yaitu :
عن جابر ابن عبدالله رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : الحرب خدعة.
“Dari Jabir ibn Abdillah ra., Nabi saw. bersabda : “perang itu siasat”. (4)
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis diatas sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat. Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya dengan menyerahkan diri kepada musuh. (5)
2. Interpretasi kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi pemahaman sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik interpretasi kontekstual ,(6) teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain yang berhubungan dengan hadis tersebut. (7)
Sedang menurut Yusuf Qardhawi, diantara cara yang baik memahami hadis Nabi saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat (alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami melalui kejadian yang menyertainya. (8)
Lebih lanjut lagi menurut beliau, adakalanya seseorang dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak menetapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud hadis yang sebenarnya. Bahkan, bisa jadi dia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meski tampak berpegang padanya. (9)
Dengan demikian, memahami hadis nabi saw. dengan teknik interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya :
a. Bentuk dan cakupan petunjuk hadis. Antara lain, yang berupa jawami’ al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsil (perumpamaan), hiwar (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadis tersebut bersifat universal atau temporal dan local.
b. Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima perang dan sebagainya.
c. Latar historis (asbab al-wurud), dan sasaran ditujukannya hadis. (10)
d. Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadis Nabi saw dengan mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.
Sebagai contoh, hadis berikut :
"الائمة من قريش".
“Para imam (haruslah) dari Quraisy” (11)
Atau hadis Nabi saw. yang berbunyi :
"لايزال هذا الامر في قريش مابقي منهم اثنان".
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpin), selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja”. (12)
Jika hadis diatas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat disimpulkan bahwa ketika hadis tersebut dinyatakan , Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraisy. (13)
Jika dipahami secara tekstual, maka hadis ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Untuk itu dalam memahami hadis ini, kita perlu melihat konteksnya.Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadis ini bersifat temporal.
Menurut ibnu Khaldun seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi, ketika Nabi saw. menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraisy-lah yang memiliki kekuatan dan kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau pemerintahan.(14) Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada orang bukan dari suku Quraisy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka dia dapat diangkat menjadi pemimpin.
Dengan interpretasi kontekstual seperti ini, maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman hadis, selain itu, kita dapat mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Al-Qur’an yang diawal terlihat bertentangan.
Demikian, dalam hadis-hadis nabi saw. ada yang lebih tepat jika dipahami secara tekstual, ada juga yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual. Interpretasi tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut.
Adapun interpretasi kontekstual dilakukan bila ada qarinah (petunjuk) yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami tidak sebagaimana teks lahirnya saja (tekstual). (15)
3. Interpretasi interkontekstual.
Yang dimaksud dengan interpretasi interkontekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis nabi saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Al-Qur’an yang terkait. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan teknik interpretasi interkontekstual, maka kita perlu memperhatikan teks dan konteksnya.
Hal ini sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an dan kadang berupa penjelas atau penguat bagi hadis yang lain.
Sebagai contoh, Hadis Rasulullah saw :
“ Dari Rib’y bin Hirasy berkata : “Seseorang dari Bani’ Amir menceritakan kepada kami sewaktu ia minta izin untuk masuk kerumah Nabi saw., dan waktu itu beliau berada didalam rumah. Orang itu mengucapkan : “Bolehkah saya masuk?”. Kemudian Rasulullah saw meminta pelayannya : “Keluarlah dan ajarkan kepada orang itu tentang tata cara minta izin, katakana kepadanya : “Ucapkanlah Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk?”. Orang itu mendengar apa yang disabdakan Nabi, maka ia mengucapkan :”Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk?”. Kemudian Nabi saw. memberi izin kepadanya, maka dia pun terus masuk”. (16)
Hadis diatas mengandung petunjuk bahwa jika seseorang ingin memasuki rumah orang lain, maka terlebih dahulu harus memberi salam dan meminta izinnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. yang berbunyi :
"ياايهاالذين امنوا لاتدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستانسوا وتسلموا على اهلها".
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (17)
Lebih lanjut lagi, dihadis yang lain Nabi saw. menjelaskan batas-batas minta izin :
"الاستئذان ثلاث, فان اذن لك, والافارجع".
“Minta izin itu sampai tiga kali. Bila diizinkan maka masuklah kamu, dan bila tdak aka pulanglah kamu.” (18)
......................................................................................
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.131.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.21.
3. Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi : Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet.1 ; Jakarta : Renaisans, 2005), h.205.
4. HR. Jama’ah kecuali Abu Dawud.
5. Syuhudi Ismail, op. cit., h.11.
6. Nasaruddin Umar, loc. cit.
7. Arifuddin Ahmad, loc, cit.
8. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.131.
9. Lihat ibid., h.145.
10. Nasaruddin Umar, loc. cit.
11. HR. Ahmad melalui para perawi yang tsiqah.
12. HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.
13. Arifuddin Ahmad, op. cit., h.183.
14. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.138.
15. Syuhudi Ismail, op. cit., h.6
16. HR. Abu Daud.
17. QS. An-Nur/24 :27.
18. HR. Bukhari dan Muslim.
Metode Pemahaman Hadis (4)
3. Metode Muqaran (Komparatif).
Sesuai dengan namanya, metode ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparatif). Metode muqaran jika digunakan untuk memahami hadis nabi saw. berarti menjelaskan makna hadis tersebut dengan cara membandingkannya dengan hadis-hadis yang lain atau dengan ayat Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, metode ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk, pertama, membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang memiliki kesamaan topik dengan redaksi yang berbeda.
Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis, atau antara hadis satu dengan yang lain yang secara lahiriah terlihat kontradiktif. Ketiga, membandingkan pendapat para ulama tentang penafsiran suatu ayat atau hadis.(1)
Kelebihan dari metode muqaran adalah memberikan pengetahuan yang lebih luas dibanding metode-metode yang lain, karena dengan metode ini kita didorong untuk mengkaji berbagai macam hadis, ayat-ayat al-Qur’an serta pendapat-pendapat ulama mengenai hadis yang kita maksud. Selain itu, dengan metode ini memungkinkan kita mengetahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis.
Adapun kekurangan metode ini diantaranya bahwa metode muqaran tidak cocok dipakai bagi pemula dan orang yang menginginkan makna sebuah hadis secara cepat dan ringkas. Hal ini disebabkan pembahasan didalamnya sangat luas. Kekurangan yang lain, metode ini kurang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada karena pada dasarnya penekanan metode ini adalah pada perbandingan bukan pemecahan masalah seperti yang dihasilkan oleh metode tematik. (2)
4. Metode Maudhu’i (tematik).
Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, metode maudhu’i merupakan salah satu cara mengkaji Al-Qur’an dengan mengumpulkan seluruh atau sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dalam tema tertentu, untuk kemudian dikaitkan satu sama lain, hingga akhirnya diambil satu kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut prespektif Al-Qur’an. (3)
Dalam hubungannya dengan hadis, maka metode maudhu’i diartikan sebagai sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan lain sebagainya.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami as-Sunnah dengan benar, kita harus menghimpun semua hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘am dan yang khas. Sehingga dengan ini tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh makna yang lebih jelas.(4)
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’i adalah sebagai berikut :
a. Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang telah ditentukan.
c. Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik pembahasannya.
d. Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
e. Meneliti hadis dari tiap klasifikasi, jika salah satu hadisnya shahih, maka keseluruhan hadis-hadis dalam klasifikasi yang sama tidak perlu diteliti lagi keshahihannya.
f. Menganalisis hadis-hadis tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, muthlaq dengan muqayyad, ‘am dan khas. Dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
g. Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga akan lebih baik jika mufasir menganalisi matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata, ungkapan, asbab wurud dan hal-hal lain yang biasa dilakukan dalam metode tahlily. (5)
h. Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
Metode maudhu’i dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, karena metode ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk berusaha memberikan jawaban bagi permasalahan tersebut yang diambil dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Hadis, disamping memperhatikan penemuan manusia. Sebagai hasilnya, banyak bermunculan karya ilmiah yang membahas topik tertentu menurut prespektif al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, perempuan dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis dan lain sebagainya.(6)
Kelebihan metode maudhu’i selain karena dapat menjawab tantangan zaman dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan rumit, metode ini juga memiliki kelebihan yang lain, diantaranya :
a. Penerapannya praktis dan sistematis, hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an dan hadis dengan waktu yang lebih efektif dan efesien.
b. Metode tematik membuat tafsir Al-Qur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga, masyarakat tertarik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini didapatkan dari ketiga metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang pokok.
c. Dengan ditetapkannya tema tertentu , maka pemahaman kita terhadap hadis Nabi saw. menjadi utuh. Kita hanya perlu membahas segala aspek yang berkaitan dengan tema tersebut tanpa perlu membahas hal-hal lain diluar tema yang ditetapkan. (7)
Adapun kekurangannya, metode ini terikat pada tema yang telah ditetapkannya dan tidak membahas lebih jauh hal-hal diluar dari tema tersebut, sehingga metode ini kurang tepat bagi orang yang menginginkan penjelasan yang terperinci mengenai suatu hadis dari segala aspeknya.
-----------------------------------------
Sumber :
1. Nashruddin Baidan, op. cit., h.65. lihat juga Abdul Hayy Farmawy, op. cit., h. 39.
2. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h. 143-144
3. M. Quraish Shihab, Membumikan. h,87. Lihat juga Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Cet.5 ; Jakarta : Penamadani, 2008), h.13.
4. Yusuf Qardhawi, Kaifa., h. 106.
5. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet.2 ; Bandung : Mizan, 1996) h.xiv
6. Nasaruddin Umar, op. cit., h.13
7. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h.165-167
Sesuai dengan namanya, metode ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparatif). Metode muqaran jika digunakan untuk memahami hadis nabi saw. berarti menjelaskan makna hadis tersebut dengan cara membandingkannya dengan hadis-hadis yang lain atau dengan ayat Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, metode ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk, pertama, membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang memiliki kesamaan topik dengan redaksi yang berbeda.
Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis, atau antara hadis satu dengan yang lain yang secara lahiriah terlihat kontradiktif. Ketiga, membandingkan pendapat para ulama tentang penafsiran suatu ayat atau hadis.(1)
Kelebihan dari metode muqaran adalah memberikan pengetahuan yang lebih luas dibanding metode-metode yang lain, karena dengan metode ini kita didorong untuk mengkaji berbagai macam hadis, ayat-ayat al-Qur’an serta pendapat-pendapat ulama mengenai hadis yang kita maksud. Selain itu, dengan metode ini memungkinkan kita mengetahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis.
Adapun kekurangan metode ini diantaranya bahwa metode muqaran tidak cocok dipakai bagi pemula dan orang yang menginginkan makna sebuah hadis secara cepat dan ringkas. Hal ini disebabkan pembahasan didalamnya sangat luas. Kekurangan yang lain, metode ini kurang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada karena pada dasarnya penekanan metode ini adalah pada perbandingan bukan pemecahan masalah seperti yang dihasilkan oleh metode tematik. (2)
4. Metode Maudhu’i (tematik).
Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, metode maudhu’i merupakan salah satu cara mengkaji Al-Qur’an dengan mengumpulkan seluruh atau sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dalam tema tertentu, untuk kemudian dikaitkan satu sama lain, hingga akhirnya diambil satu kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut prespektif Al-Qur’an. (3)
Dalam hubungannya dengan hadis, maka metode maudhu’i diartikan sebagai sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan lain sebagainya.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami as-Sunnah dengan benar, kita harus menghimpun semua hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘am dan yang khas. Sehingga dengan ini tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh makna yang lebih jelas.(4)
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’i adalah sebagai berikut :
a. Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang telah ditentukan.
c. Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik pembahasannya.
d. Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
e. Meneliti hadis dari tiap klasifikasi, jika salah satu hadisnya shahih, maka keseluruhan hadis-hadis dalam klasifikasi yang sama tidak perlu diteliti lagi keshahihannya.
f. Menganalisis hadis-hadis tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, muthlaq dengan muqayyad, ‘am dan khas. Dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
g. Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga akan lebih baik jika mufasir menganalisi matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata, ungkapan, asbab wurud dan hal-hal lain yang biasa dilakukan dalam metode tahlily. (5)
h. Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
Metode maudhu’i dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, karena metode ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk berusaha memberikan jawaban bagi permasalahan tersebut yang diambil dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Hadis, disamping memperhatikan penemuan manusia. Sebagai hasilnya, banyak bermunculan karya ilmiah yang membahas topik tertentu menurut prespektif al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, perempuan dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis dan lain sebagainya.(6)
Kelebihan metode maudhu’i selain karena dapat menjawab tantangan zaman dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan rumit, metode ini juga memiliki kelebihan yang lain, diantaranya :
a. Penerapannya praktis dan sistematis, hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an dan hadis dengan waktu yang lebih efektif dan efesien.
b. Metode tematik membuat tafsir Al-Qur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga, masyarakat tertarik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini didapatkan dari ketiga metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang pokok.
c. Dengan ditetapkannya tema tertentu , maka pemahaman kita terhadap hadis Nabi saw. menjadi utuh. Kita hanya perlu membahas segala aspek yang berkaitan dengan tema tersebut tanpa perlu membahas hal-hal lain diluar tema yang ditetapkan. (7)
Adapun kekurangannya, metode ini terikat pada tema yang telah ditetapkannya dan tidak membahas lebih jauh hal-hal diluar dari tema tersebut, sehingga metode ini kurang tepat bagi orang yang menginginkan penjelasan yang terperinci mengenai suatu hadis dari segala aspeknya.
-----------------------------------------
Sumber :
1. Nashruddin Baidan, op. cit., h.65. lihat juga Abdul Hayy Farmawy, op. cit., h. 39.
2. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h. 143-144
3. M. Quraish Shihab, Membumikan. h,87. Lihat juga Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Cet.5 ; Jakarta : Penamadani, 2008), h.13.
4. Yusuf Qardhawi, Kaifa., h. 106.
5. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet.2 ; Bandung : Mizan, 1996) h.xiv
6. Nasaruddin Umar, op. cit., h.13
7. Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h.165-167
Metode Pemahaman Hadis (3)
2. Metode Tahlily (Analitis).
Metode Tahlily (Analitis) atau yang dinamai juga dengan metode Tajzi’iy oleh Baqir Al-Shadr merupakan kebalikan dari metode ijmali. (1) Jika metode ijmali dikatakan sebagai cara menjelaskan sesuatu dengan ringkas dan global, sebaliknya metode tahlily merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. (2)
Memahami hadis dengan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanadnya (perawi), uraian makna kosakatanya, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matannya, faedahnya, sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab-wurud, mukharrij, bahkan pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
Secara umum, langkah-langkah yang perlu kita lakukan dalam metode tahlily, sebagai berikut:
a. Menetapkan hadis yang akan dibahas.
b. Melakukan takhrij al-hadis yaitu menunjukkan asal-usul sebuah hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. (3)
c. Meneliti keadaan para perawinya (sanad), termasuk bagaimana mereka menerima dan meriwayatkan hadis tersebut.
d. Meneliti matan hadis tersebut.
e. Menentukan mukharrijnya dan kualitas hadis tersebut.
f. Menganalisis matan hadis, baik itu kata perkata, ungkapan atau kalimat yang terdapat dalam hadis.
g. Menarik kesimpulan tentang makna hadis , setelah menganalisisnya dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
h. Menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan hadis yang dimaksud, seperti faedah dan pendapat para ulama mengenai hadis tersebut.
Sebagai contoh, kita ingin menerapkan metode tahlily dalam hadis Nabi saw dibawah ini :
اخرج البخاري بسنده عن ابي بردة بن ابي موسى الاشعري رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا نكاح الابولي )). (4
Maka yang perlu kita lakukan adalah mentakhrij hadisnya, meneliti dan menerangkan sanad atau para perawinya, mulai dari Abu Musa al-Asy’ary sampai kepada Bukhari. Dalam hal ini, mengenai riwayat hidup dan kapasitasnya serta cara menerima dan meriwayatkan hadis. Selanjutnya menjelaskan matan hadis tersebut, kata perkata. Apa yang dimaksud dengan “ نكاح ” dan “ ولي”. Juga penjelasan mengenai arti harf yang digunakan yaitu, harf "لا" dan"الا" .
Setelah mengetahui makna katanya, langkah berikutnya adalah menjelaskan makna keseluruhan hadis tersebut berdasar pada pengetahuan yang kita peroleh dari makna kata yang dikandung dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan yang ada. (6)
Disamping itu, kita juga harus menjelaskan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, misalnya asbabul-wurudnya jika ada, faedah hadis, kualitas dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut.
Kelebihan dari metode tahlily diantaranya adalah :
a. Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu hadis.
b. Metode tahlily memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan satu hadis yang bisa jadi berbeda dengan oranglain. Hal ini yang mungkin membuat metode ini lebih pesat perkembangannya dibanding metode ijmali. (7)
Adapun kekurangan metode tahlily, antara lain :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung sebuah hadis bersifat parsial, sama halnya dengan metode ijmali. Hal ini kemungkinan besar karena dalam metode tahlily, tidak ada keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis yang lain. hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap bahkan menjadi tidak benar. (8)
b. Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif. (9) Selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat.
..............................................
Sumber :
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet.13 ; Bandung : Mizan, 1996), h.86
2. Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi at-Tasir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya (Cet.1 ; Bandung : Pustaka Setia, 2002), h.24.
3. Ratibah Ibrahim Khattab Thahun, Mabahits fi ‘ilmi at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Cet.2 ; Kairo : Misr lil Khidmah al-‘Ilmiyah, 2004), h.8.
4. HR. Bukhari dan Muslim.
5. Dalal Muhammad Abu Salim, Min Hadyi an-Nubuwwah (Kairo : Jami’atul Azhar, t.th.), h.1.
6. Lihat ibid., h.2-12
7. Nashruddin Baidan, op. cit., h.54.
8. Ibid h.56.
9. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan, h.86
Metode Tahlily (Analitis) atau yang dinamai juga dengan metode Tajzi’iy oleh Baqir Al-Shadr merupakan kebalikan dari metode ijmali. (1) Jika metode ijmali dikatakan sebagai cara menjelaskan sesuatu dengan ringkas dan global, sebaliknya metode tahlily merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. (2)
Memahami hadis dengan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanadnya (perawi), uraian makna kosakatanya, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matannya, faedahnya, sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab-wurud, mukharrij, bahkan pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
Secara umum, langkah-langkah yang perlu kita lakukan dalam metode tahlily, sebagai berikut:
a. Menetapkan hadis yang akan dibahas.
b. Melakukan takhrij al-hadis yaitu menunjukkan asal-usul sebuah hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. (3)
c. Meneliti keadaan para perawinya (sanad), termasuk bagaimana mereka menerima dan meriwayatkan hadis tersebut.
d. Meneliti matan hadis tersebut.
e. Menentukan mukharrijnya dan kualitas hadis tersebut.
f. Menganalisis matan hadis, baik itu kata perkata, ungkapan atau kalimat yang terdapat dalam hadis.
g. Menarik kesimpulan tentang makna hadis , setelah menganalisisnya dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
h. Menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan hadis yang dimaksud, seperti faedah dan pendapat para ulama mengenai hadis tersebut.
Sebagai contoh, kita ingin menerapkan metode tahlily dalam hadis Nabi saw dibawah ini :
اخرج البخاري بسنده عن ابي بردة بن ابي موسى الاشعري رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا نكاح الابولي )). (4
Maka yang perlu kita lakukan adalah mentakhrij hadisnya, meneliti dan menerangkan sanad atau para perawinya, mulai dari Abu Musa al-Asy’ary sampai kepada Bukhari. Dalam hal ini, mengenai riwayat hidup dan kapasitasnya serta cara menerima dan meriwayatkan hadis. Selanjutnya menjelaskan matan hadis tersebut, kata perkata. Apa yang dimaksud dengan “ نكاح ” dan “ ولي”. Juga penjelasan mengenai arti harf yang digunakan yaitu, harf "لا" dan"الا" .
Setelah mengetahui makna katanya, langkah berikutnya adalah menjelaskan makna keseluruhan hadis tersebut berdasar pada pengetahuan yang kita peroleh dari makna kata yang dikandung dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan yang ada. (6)
Disamping itu, kita juga harus menjelaskan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, misalnya asbabul-wurudnya jika ada, faedah hadis, kualitas dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut.
Kelebihan dari metode tahlily diantaranya adalah :
a. Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu hadis.
b. Metode tahlily memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan satu hadis yang bisa jadi berbeda dengan oranglain. Hal ini yang mungkin membuat metode ini lebih pesat perkembangannya dibanding metode ijmali. (7)
Adapun kekurangan metode tahlily, antara lain :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung sebuah hadis bersifat parsial, sama halnya dengan metode ijmali. Hal ini kemungkinan besar karena dalam metode tahlily, tidak ada keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis yang lain. hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap bahkan menjadi tidak benar. (8)
b. Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif. (9) Selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat.
..............................................
Sumber :
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet.13 ; Bandung : Mizan, 1996), h.86
2. Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi at-Tasir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya (Cet.1 ; Bandung : Pustaka Setia, 2002), h.24.
3. Ratibah Ibrahim Khattab Thahun, Mabahits fi ‘ilmi at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Cet.2 ; Kairo : Misr lil Khidmah al-‘Ilmiyah, 2004), h.8.
4. HR. Bukhari dan Muslim.
5. Dalal Muhammad Abu Salim, Min Hadyi an-Nubuwwah (Kairo : Jami’atul Azhar, t.th.), h.1.
6. Lihat ibid., h.2-12
7. Nashruddin Baidan, op. cit., h.54.
8. Ibid h.56.
9. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan, h.86
Metode Pemahaman Hadis (2)
A. Metode Memahami Hadis Nabi saw.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Arab disebut thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘metode” mengandung arti : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) ; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan satu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.” (Sumb : 1)
Jika dikaitkan dengan pemahaman hadis, maka metode diartikan sebagai suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi Muhammad Saw. dalam hadisnya. Secara umum, metode memahami hadis merupakan kerangka dan langkah-langkah yang digunakan dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. Secara keseluruhan, dari tahap awal hingga akhir.
Terdapat empat macam metode dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. yang telah diperkenalkan oleh para ulama terdahulu, yaitu : metode ijmali (global), metode tahlily (analitis), metode maudui’ (tematik) dan metode muqaran (komparatif).(Sumb :2) Metode-metode ini pula yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga dapat diperoleh makna ayat secara utuh dan jelas.
Adapun penjelasan lebih lanjut keempat metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Metode Ijmali (Global).
Dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dimaksud dengan metode Ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan makna global yang dikandung ayat-ayat tersebut. Penafsir memberikan penjelasan secara ringkas makna ayat dan tidak menyingung permasalahan lain selain dari makna yang dikehendaki dari ayat tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. (Sumb. 3)
Jika digunakan dalam memahami hadis, maka metode ijmali berarti menjelaskan dengan ringkas makna yang dikandung sebuah hadis secara keseluruhan dengan menggunakan bahasa yang populer dan mudah dipahami. Metode ini juga berarti menjelaskan secara global apa yang dimaksud tanpa menerangkan lebih lanjut segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut baik itu sanadnya maupun matannya.
Sebagai contoh hadis Nabi saw. :
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابي سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( بني الاسلام على خمس : شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله, واقام الصلاة, وايتاء الذكاة, والحج, وصوم رمضان)). (Sumb.4)
Jika kita menggunakan metode ijmali untuk memahami hadis diatas, maka makna yang kita peroleh adalah bahwa agama Islam berdiri diatas lima rukun yaitu : syahadat atas Allah dan rasul-Nya, mendirikan shalat, zakat , haji
dan puasa. Tanpa penjelasan lebih lanjut lagi mengenai bagaimana kualitas masing-masing perawinya, arti kata dan frase yang dikandungnya secara mendalam, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan hadis tersebut.
Dengan kata lain, dengan metode ijmali kita hanya mendapatkan gambaran ringkas dari hadis secara keseluruhan.
Bagaimanapun bentuk metodologi, tetap saja merupakan hasil ijtihadi manusia, oleh karena itu disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. (Sumb.5) Dalam kaitannya dengan ini, metode ijmali yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami hadis-hadis Nabi saw. memiliki kelebihan sebagai berikut :
a. Praktiks dan mudah dipahami karena lebih ringkas dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu metode ini sesuai dengan pemula, dalam artian sesuai dengan orang yang baru belajar memahami hadis juga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis dalam waktu yang singkat dan tidak menginginkan penjelasan secara detail.
b. Dengan mengunakan metode ini, dapat membendung pemahaman-pemahaman yang terlalu jauh dari makna hadis yang dimaksud. Hal ini dikarenakan dengan metode ijmali, kita hanya mendapatkan makna yang dikandung secara ringkas dan jelas. (Sumb.6)
c. Bahasanya cenderung lebih mudah dimengerti dan enak dibaca.
Disamping kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, metode ini juga memiliki kekurangan, diantaranya :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung dalam sebuah hadis bersifat parsial.(Sumb.7) Kerena boleh jadi hadis tersebut memiliki penjelasan atau hubungan dengan hadis yang lain. sehingga makna yang kita pahami dari sebuah hadis dengan menggunakan metode ijmai ini belum merupakan makna final dari makna yang seharusnya.
b. Kita tidak memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih banyak sehubungan dengan hadis yang dimaksud. Sehingga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis secara rinci dan lebih jauh lagi tidak bisa mencapai tujuannya dengan menggunakan metode ini.
---------------------------------------------
Sumber :
1. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.10 ; Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h.580-581 ; dikutip dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Cet.2 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), h.1.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.18.
3. Samsul Bahri, Metodologi Ilmu Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim (t.t. : Teras, t.th.), h.45.
4. HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i.
5. Nashruddin Baidan, op. cit., h.21.
6. Ibid ., h.22-23.
7. Ibid. h.24.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Arab disebut thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘metode” mengandung arti : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) ; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan satu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.” (Sumb : 1)
Jika dikaitkan dengan pemahaman hadis, maka metode diartikan sebagai suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi Muhammad Saw. dalam hadisnya. Secara umum, metode memahami hadis merupakan kerangka dan langkah-langkah yang digunakan dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. Secara keseluruhan, dari tahap awal hingga akhir.
Terdapat empat macam metode dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi saw. yang telah diperkenalkan oleh para ulama terdahulu, yaitu : metode ijmali (global), metode tahlily (analitis), metode maudui’ (tematik) dan metode muqaran (komparatif).(Sumb :2) Metode-metode ini pula yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga dapat diperoleh makna ayat secara utuh dan jelas.
Adapun penjelasan lebih lanjut keempat metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Metode Ijmali (Global).
Dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dimaksud dengan metode Ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan makna global yang dikandung ayat-ayat tersebut. Penafsir memberikan penjelasan secara ringkas makna ayat dan tidak menyingung permasalahan lain selain dari makna yang dikehendaki dari ayat tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. (Sumb. 3)
Jika digunakan dalam memahami hadis, maka metode ijmali berarti menjelaskan dengan ringkas makna yang dikandung sebuah hadis secara keseluruhan dengan menggunakan bahasa yang populer dan mudah dipahami. Metode ini juga berarti menjelaskan secara global apa yang dimaksud tanpa menerangkan lebih lanjut segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut baik itu sanadnya maupun matannya.
Sebagai contoh hadis Nabi saw. :
حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابي سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( بني الاسلام على خمس : شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله, واقام الصلاة, وايتاء الذكاة, والحج, وصوم رمضان)). (Sumb.4)
Jika kita menggunakan metode ijmali untuk memahami hadis diatas, maka makna yang kita peroleh adalah bahwa agama Islam berdiri diatas lima rukun yaitu : syahadat atas Allah dan rasul-Nya, mendirikan shalat, zakat , haji
dan puasa. Tanpa penjelasan lebih lanjut lagi mengenai bagaimana kualitas masing-masing perawinya, arti kata dan frase yang dikandungnya secara mendalam, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan hadis tersebut.
Dengan kata lain, dengan metode ijmali kita hanya mendapatkan gambaran ringkas dari hadis secara keseluruhan.
Bagaimanapun bentuk metodologi, tetap saja merupakan hasil ijtihadi manusia, oleh karena itu disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. (Sumb.5) Dalam kaitannya dengan ini, metode ijmali yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami hadis-hadis Nabi saw. memiliki kelebihan sebagai berikut :
a. Praktiks dan mudah dipahami karena lebih ringkas dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu metode ini sesuai dengan pemula, dalam artian sesuai dengan orang yang baru belajar memahami hadis juga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis dalam waktu yang singkat dan tidak menginginkan penjelasan secara detail.
b. Dengan mengunakan metode ini, dapat membendung pemahaman-pemahaman yang terlalu jauh dari makna hadis yang dimaksud. Hal ini dikarenakan dengan metode ijmali, kita hanya mendapatkan makna yang dikandung secara ringkas dan jelas. (Sumb.6)
c. Bahasanya cenderung lebih mudah dimengerti dan enak dibaca.
Disamping kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, metode ini juga memiliki kekurangan, diantaranya :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung dalam sebuah hadis bersifat parsial.(Sumb.7) Kerena boleh jadi hadis tersebut memiliki penjelasan atau hubungan dengan hadis yang lain. sehingga makna yang kita pahami dari sebuah hadis dengan menggunakan metode ijmai ini belum merupakan makna final dari makna yang seharusnya.
b. Kita tidak memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih banyak sehubungan dengan hadis yang dimaksud. Sehingga bagi orang-orang yang ingin memahami hadis secara rinci dan lebih jauh lagi tidak bisa mencapai tujuannya dengan menggunakan metode ini.
---------------------------------------------
Sumber :
1. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.10 ; Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h.580-581 ; dikutip dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Cet.2 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), h.1.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.18.
3. Samsul Bahri, Metodologi Ilmu Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim (t.t. : Teras, t.th.), h.45.
4. HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i.
5. Nashruddin Baidan, op. cit., h.21.
6. Ibid ., h.22-23.
7. Ibid. h.24.
Sunday, March 21, 2010
Metode Pemahaman Hadis (1)
As-Sunnah atau hadis Nabi saw. merupakan penafsiran Al-Qur’an, baik dari hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis., hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw. merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam sunnah Nabawiyah. (Sumb.1)
Hadis atau “sunnah” adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun), ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (akhlak Nabi) dan khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi). (Sumb.2)
Meskipun, hadis menduduki fungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an, akan tetapi dalam memahami sabda Nabi saw. relatif tidaklah mudah. Dibidang hadis, para muhadditsi>n telah merumuskan beberapa macam metode kajian hadis dalam upayanya membumikan pesan Tuhan lewat pernyataan verbal, aktifitas, dan taqrir Nabi saw.. Disamping itu, para ulama hadis juga mengenalkan berbagai teknik interpretasi dan model pendekatan dalam memahami hadis Nabi saw.. (Sumb.3)
Jika dilihat sekilas, maka kata “metode”, “teknik interpretasi” dan “pendekatan” ketika dikaitkan dengan pemahaman hadis, memiliki makna yang sama, yaitu cara atau langkah. Meski demikian, kita harus dapat membedakan tiga hal tersebut.
Dalam Memahami hadis Nabi saw. , metode diartikan sebagai cara menguraikan dan menjelaskan hadis, berikut langkah-langkahnya secara keseluruhan, dari awal hingga akhir. Dalam langkah-langkah tersebut, kita menggunakan teknik interpretasi, yaitu cara kita dalam menafsirkan dan memahami teks hadis. Selanjutnya, ketika kita menafsirkan teks hadis, kita perlu melihat teks tersebut dari berbagai aspek dan kerangka pikir, inilah yang dinamakan pendekatan.
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk seluruh umat manusia dan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini berarti ajaran Nabi saw. yang termaktub dalam hadis mencakup segala tempat dan waktu. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw. hidup pada tempat dan waktu tertentu. Maka dari itu, diantara hadis Hadis Nabi saw. ada yang sifatnya universal dan ada yang bersifat temporal dan local.
Segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan kondisi yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya hadis juga mempunyai kedudukan penting dalam memahami hadis Nabi saw.. Sebab itu, ada hadis yang lebih tepat dipahami secara tekstual dan ada yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual dengan menggunakan berbagai pendekatan disiplin ilmu pengetahuan, terutama ilmu social seperti, sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah. (Sumb.4)
Karena hadis Nabi saw. mengandung petunjuk yang bermacam-macam, maka kita dapat menerapkan berbagai metode, teknik interpretasi, dan model pendekatan yang beraneka ragam untuk dapat memahami hadis Nabi saw. dengan benar. Dibawah ini penulis mencoba memaparkan beberapa metode, teknik interpretasi dan pendekatan yang dimaksud.
----------------------------------------------
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amul Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Cet.I ; Bandung : Karisma, 1993), h.17.
2. Dalal Muhammad Abu salim, Tarikh as-Sunnah an-Nabawiyah al-Muthahharah (Kairo : Jami’atul Azhar, 2006), h.7.
3. Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet.I ; Jakarta : Rahmat Semesta Center, 2008), h.16.
4. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6.
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam sunnah Nabawiyah. (Sumb.1)
Hadis atau “sunnah” adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun), ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (akhlak Nabi) dan khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi). (Sumb.2)
Meskipun, hadis menduduki fungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an, akan tetapi dalam memahami sabda Nabi saw. relatif tidaklah mudah. Dibidang hadis, para muhadditsi>n telah merumuskan beberapa macam metode kajian hadis dalam upayanya membumikan pesan Tuhan lewat pernyataan verbal, aktifitas, dan taqrir Nabi saw.. Disamping itu, para ulama hadis juga mengenalkan berbagai teknik interpretasi dan model pendekatan dalam memahami hadis Nabi saw.. (Sumb.3)
Jika dilihat sekilas, maka kata “metode”, “teknik interpretasi” dan “pendekatan” ketika dikaitkan dengan pemahaman hadis, memiliki makna yang sama, yaitu cara atau langkah. Meski demikian, kita harus dapat membedakan tiga hal tersebut.
Dalam Memahami hadis Nabi saw. , metode diartikan sebagai cara menguraikan dan menjelaskan hadis, berikut langkah-langkahnya secara keseluruhan, dari awal hingga akhir. Dalam langkah-langkah tersebut, kita menggunakan teknik interpretasi, yaitu cara kita dalam menafsirkan dan memahami teks hadis. Selanjutnya, ketika kita menafsirkan teks hadis, kita perlu melihat teks tersebut dari berbagai aspek dan kerangka pikir, inilah yang dinamakan pendekatan.
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk seluruh umat manusia dan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini berarti ajaran Nabi saw. yang termaktub dalam hadis mencakup segala tempat dan waktu. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw. hidup pada tempat dan waktu tertentu. Maka dari itu, diantara hadis Hadis Nabi saw. ada yang sifatnya universal dan ada yang bersifat temporal dan local.
Segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan kondisi yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya hadis juga mempunyai kedudukan penting dalam memahami hadis Nabi saw.. Sebab itu, ada hadis yang lebih tepat dipahami secara tekstual dan ada yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual dengan menggunakan berbagai pendekatan disiplin ilmu pengetahuan, terutama ilmu social seperti, sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah. (Sumb.4)
Karena hadis Nabi saw. mengandung petunjuk yang bermacam-macam, maka kita dapat menerapkan berbagai metode, teknik interpretasi, dan model pendekatan yang beraneka ragam untuk dapat memahami hadis Nabi saw. dengan benar. Dibawah ini penulis mencoba memaparkan beberapa metode, teknik interpretasi dan pendekatan yang dimaksud.
----------------------------------------------
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amul Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Cet.I ; Bandung : Karisma, 1993), h.17.
2. Dalal Muhammad Abu salim, Tarikh as-Sunnah an-Nabawiyah al-Muthahharah (Kairo : Jami’atul Azhar, 2006), h.7.
3. Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet.I ; Jakarta : Rahmat Semesta Center, 2008), h.16.
4. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6.
Nabda' BiismiLLah
Memang suDah seperti itu Seharusnya...
kita memulai dengan Nama Allah disegala Langkah,Ucap dan Laku...
semoga semua berberkah dan bisa menjadi Manfaat...
amieeeeeeeeeeeen.....
setelah tidur panjang dan menghilang lama...
"kembali" ini semoga bisa membawa sesuatu yang sedikit bisa berarti...
untuk semua orang..
dan diri sendiri utamanya...
untuk itu...
mengawali semua coretan yang akan ada...
saya ingin meng-copy paste sebuah laGu ...yang juga termasuk favorit saya...
sekedar pengingat dan "alarm" bantu agar terus selalu berusaha dalam segala hal
agar tidak berputus asa hanya dalam hitungan menit...
agar selalu penuh semangat dan semangat....
agar tidak melangkah pongah dan meremehkan banyak hal...
agar selalu sadar akan "dhaif" diri dan mengharap "Kuat" dari-Nya...
agar selalu bisa mentajdid diri dan menjadi lebih baik
dari waktu ke waktu.............
Lagunya berjudul "suCi sekeping Hati" vocal Saujana Voice....
Sekeping Hati dibawa berlari
Jauh melalui jalanan sepi
jalan kebenaran indah terbentang
di hadapanmu para pejuang....
tapi...
jalan kebenaran...
tak akan selamanya sunyi...
ada ujian yang datang melanda...
ada perangkap menunggu mangsa...
akan kuatkah kaki yang melangkah
bila disapa duri yang menanti
akan kaburkah mata yang menatap
pada debu yang pasti kan hinggap
mengharap senang dalam berjuang
bagai merindukan bulan ditengah siang
jalannya tak seindah mata
pangkalnya jauh
ujungnya belum tiba
(SauJana VoiCe)
kita memulai dengan Nama Allah disegala Langkah,Ucap dan Laku...
semoga semua berberkah dan bisa menjadi Manfaat...
amieeeeeeeeeeeen.....
setelah tidur panjang dan menghilang lama...
"kembali" ini semoga bisa membawa sesuatu yang sedikit bisa berarti...
untuk semua orang..
dan diri sendiri utamanya...
untuk itu...
mengawali semua coretan yang akan ada...
saya ingin meng-copy paste sebuah laGu ...yang juga termasuk favorit saya...
sekedar pengingat dan "alarm" bantu agar terus selalu berusaha dalam segala hal
agar tidak berputus asa hanya dalam hitungan menit...
agar selalu penuh semangat dan semangat....
agar tidak melangkah pongah dan meremehkan banyak hal...
agar selalu sadar akan "dhaif" diri dan mengharap "Kuat" dari-Nya...
agar selalu bisa mentajdid diri dan menjadi lebih baik
dari waktu ke waktu.............
Lagunya berjudul "suCi sekeping Hati" vocal Saujana Voice....
Sekeping Hati dibawa berlari
Jauh melalui jalanan sepi
jalan kebenaran indah terbentang
di hadapanmu para pejuang....
tapi...
jalan kebenaran...
tak akan selamanya sunyi...
ada ujian yang datang melanda...
ada perangkap menunggu mangsa...
akan kuatkah kaki yang melangkah
bila disapa duri yang menanti
akan kaburkah mata yang menatap
pada debu yang pasti kan hinggap
mengharap senang dalam berjuang
bagai merindukan bulan ditengah siang
jalannya tak seindah mata
pangkalnya jauh
ujungnya belum tiba
(SauJana VoiCe)
Subscribe to:
Posts (Atom)