2. Metode Tahlily (Analitis).
Metode Tahlily (Analitis) atau yang dinamai juga dengan metode Tajzi’iy oleh Baqir Al-Shadr merupakan kebalikan dari metode ijmali. (1) Jika metode ijmali dikatakan sebagai cara menjelaskan sesuatu dengan ringkas dan global, sebaliknya metode tahlily merupakan penjelasan secara rinci dan mendetail. (2)
Memahami hadis dengan metode ini berarti menjelaskan hadis dengan memaparkan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik itu dari aspek sanadnya (perawi), uraian makna kosakatanya, makna kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam matannya, faedahnya, sampai kepada penjelasan mengenai kualitas, asbab-wurud, mukharrij, bahkan pendapat ulama mengenai hadis yang dimaksud.
Secara umum, langkah-langkah yang perlu kita lakukan dalam metode tahlily, sebagai berikut:
a. Menetapkan hadis yang akan dibahas.
b. Melakukan takhrij al-hadis yaitu menunjukkan asal-usul sebuah hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. (3)
c. Meneliti keadaan para perawinya (sanad), termasuk bagaimana mereka menerima dan meriwayatkan hadis tersebut.
d. Meneliti matan hadis tersebut.
e. Menentukan mukharrijnya dan kualitas hadis tersebut.
f. Menganalisis matan hadis, baik itu kata perkata, ungkapan atau kalimat yang terdapat dalam hadis.
g. Menarik kesimpulan tentang makna hadis , setelah menganalisisnya dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
h. Menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan hadis yang dimaksud, seperti faedah dan pendapat para ulama mengenai hadis tersebut.
Sebagai contoh, kita ingin menerapkan metode tahlily dalam hadis Nabi saw dibawah ini :
اخرج البخاري بسنده عن ابي بردة بن ابي موسى الاشعري رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا نكاح الابولي )). (4
Maka yang perlu kita lakukan adalah mentakhrij hadisnya, meneliti dan menerangkan sanad atau para perawinya, mulai dari Abu Musa al-Asy’ary sampai kepada Bukhari. Dalam hal ini, mengenai riwayat hidup dan kapasitasnya serta cara menerima dan meriwayatkan hadis. Selanjutnya menjelaskan matan hadis tersebut, kata perkata. Apa yang dimaksud dengan “ نكاح ” dan “ ولي”. Juga penjelasan mengenai arti harf yang digunakan yaitu, harf "لا" dan"الا" .
Setelah mengetahui makna katanya, langkah berikutnya adalah menjelaskan makna keseluruhan hadis tersebut berdasar pada pengetahuan yang kita peroleh dari makna kata yang dikandung dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan yang ada. (6)
Disamping itu, kita juga harus menjelaskan segala aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, misalnya asbabul-wurudnya jika ada, faedah hadis, kualitas dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut.
Kelebihan dari metode tahlily diantaranya adalah :
a. Ruang lingkupnya luas sehingga memperkaya kita dengan berbagai pengetahuan sehubungan dengan hadis tersebut. oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu hadis.
b. Metode tahlily memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan satu hadis yang bisa jadi berbeda dengan oranglain. Hal ini yang mungkin membuat metode ini lebih pesat perkembangannya dibanding metode ijmali. (7)
Adapun kekurangan metode tahlily, antara lain :
a. Menjadikan petunjuk yang dikandung sebuah hadis bersifat parsial, sama halnya dengan metode ijmali. Hal ini kemungkinan besar karena dalam metode tahlily, tidak ada keharusan untuk membandingkan satu hadis dengan ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis yang lain. hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap bahkan menjadi tidak benar. (8)
b. Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif. (9) Selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat.
..............................................
Sumber :
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet.13 ; Bandung : Mizan, 1996), h.86
2. Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi at-Tasir al-Maudhu’i : Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya (Cet.1 ; Bandung : Pustaka Setia, 2002), h.24.
3. Ratibah Ibrahim Khattab Thahun, Mabahits fi ‘ilmi at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Cet.2 ; Kairo : Misr lil Khidmah al-‘Ilmiyah, 2004), h.8.
4. HR. Bukhari dan Muslim.
5. Dalal Muhammad Abu Salim, Min Hadyi an-Nubuwwah (Kairo : Jami’atul Azhar, t.th.), h.1.
6. Lihat ibid., h.2-12
7. Nashruddin Baidan, op. cit., h.54.
8. Ibid h.56.
9. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan, h.86
No comments:
Post a Comment