B. Teknik Memahami Hadis Nabi saw.
Diantara hadis hadis Nabi saw. ada yang berlaku universal dan tidak dibatasi tempat dan waktu, ada juga yang bersifat temporal dan lokal. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, padangan dan wawasan yang luas hingga dapat mengetahui tujuan syariat dan hakikat agama. (1)
Oleh karena itu dalam memahami hadis Nabi saw. kita dapat menggunakan beberapa teknik interpretasi ( cara menasirkan teks hadis). Dikenal tiga teknik interpretasi, yaitu, interpretasi tekstual, kontekstual dan interkontekstual.
1. Interpretasi tekstual.
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud sebuah hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja. (2)
Dr. Arifuddin Ahmad dalam bukunya paradigma baru memahami hadis Nabi saw. mendefenisikan interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan petunjuknya, waktu, sabab wurud, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis nabi yang dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal. (3)
Salah satu contoh hadis yang bersifat universal dan dapat dipahami secara tekstual yaitu :
عن جابر ابن عبدالله رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : الحرب خدعة.
“Dari Jabir ibn Abdillah ra., Nabi saw. bersabda : “perang itu siasat”. (4)
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis diatas sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat. Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya dengan menyerahkan diri kepada musuh. (5)
2. Interpretasi kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi pemahaman sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik interpretasi kontekstual ,(6) teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain yang berhubungan dengan hadis tersebut. (7)
Sedang menurut Yusuf Qardhawi, diantara cara yang baik memahami hadis Nabi saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat (alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami melalui kejadian yang menyertainya. (8)
Lebih lanjut lagi menurut beliau, adakalanya seseorang dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak menetapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud hadis yang sebenarnya. Bahkan, bisa jadi dia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meski tampak berpegang padanya. (9)
Dengan demikian, memahami hadis nabi saw. dengan teknik interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya :
a. Bentuk dan cakupan petunjuk hadis. Antara lain, yang berupa jawami’ al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsil (perumpamaan), hiwar (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadis tersebut bersifat universal atau temporal dan local.
b. Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima perang dan sebagainya.
c. Latar historis (asbab al-wurud), dan sasaran ditujukannya hadis. (10)
d. Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadis Nabi saw dengan mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.
Sebagai contoh, hadis berikut :
"الائمة من قريش".
“Para imam (haruslah) dari Quraisy” (11)
Atau hadis Nabi saw. yang berbunyi :
"لايزال هذا الامر في قريش مابقي منهم اثنان".
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpin), selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja”. (12)
Jika hadis diatas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat disimpulkan bahwa ketika hadis tersebut dinyatakan , Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraisy. (13)
Jika dipahami secara tekstual, maka hadis ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Untuk itu dalam memahami hadis ini, kita perlu melihat konteksnya.Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadis ini bersifat temporal.
Menurut ibnu Khaldun seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi, ketika Nabi saw. menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraisy-lah yang memiliki kekuatan dan kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau pemerintahan.(14) Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada orang bukan dari suku Quraisy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka dia dapat diangkat menjadi pemimpin.
Dengan interpretasi kontekstual seperti ini, maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman hadis, selain itu, kita dapat mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Al-Qur’an yang diawal terlihat bertentangan.
Demikian, dalam hadis-hadis nabi saw. ada yang lebih tepat jika dipahami secara tekstual, ada juga yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual. Interpretasi tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut.
Adapun interpretasi kontekstual dilakukan bila ada qarinah (petunjuk) yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami tidak sebagaimana teks lahirnya saja (tekstual). (15)
3. Interpretasi interkontekstual.
Yang dimaksud dengan interpretasi interkontekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis nabi saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Al-Qur’an yang terkait. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan teknik interpretasi interkontekstual, maka kita perlu memperhatikan teks dan konteksnya.
Hal ini sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an dan kadang berupa penjelas atau penguat bagi hadis yang lain.
Sebagai contoh, Hadis Rasulullah saw :
“ Dari Rib’y bin Hirasy berkata : “Seseorang dari Bani’ Amir menceritakan kepada kami sewaktu ia minta izin untuk masuk kerumah Nabi saw., dan waktu itu beliau berada didalam rumah. Orang itu mengucapkan : “Bolehkah saya masuk?”. Kemudian Rasulullah saw meminta pelayannya : “Keluarlah dan ajarkan kepada orang itu tentang tata cara minta izin, katakana kepadanya : “Ucapkanlah Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk?”. Orang itu mendengar apa yang disabdakan Nabi, maka ia mengucapkan :”Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk?”. Kemudian Nabi saw. memberi izin kepadanya, maka dia pun terus masuk”. (16)
Hadis diatas mengandung petunjuk bahwa jika seseorang ingin memasuki rumah orang lain, maka terlebih dahulu harus memberi salam dan meminta izinnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. yang berbunyi :
"ياايهاالذين امنوا لاتدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستانسوا وتسلموا على اهلها".
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (17)
Lebih lanjut lagi, dihadis yang lain Nabi saw. menjelaskan batas-batas minta izin :
"الاستئذان ثلاث, فان اذن لك, والافارجع".
“Minta izin itu sampai tiga kali. Bila diizinkan maka masuklah kamu, dan bila tdak aka pulanglah kamu.” (18)
......................................................................................
Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.131.
2. Nasaruddin Umar, op. cit., h.21.
3. Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi : Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet.1 ; Jakarta : Renaisans, 2005), h.205.
4. HR. Jama’ah kecuali Abu Dawud.
5. Syuhudi Ismail, op. cit., h.11.
6. Nasaruddin Umar, loc. cit.
7. Arifuddin Ahmad, loc, cit.
8. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.131.
9. Lihat ibid., h.145.
10. Nasaruddin Umar, loc. cit.
11. HR. Ahmad melalui para perawi yang tsiqah.
12. HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.
13. Arifuddin Ahmad, op. cit., h.183.
14. Yusuf Qardhawi, Kaifa, h.138.
15. Syuhudi Ismail, op. cit., h.6
16. HR. Abu Daud.
17. QS. An-Nur/24 :27.
18. HR. Bukhari dan Muslim.
No comments:
Post a Comment