Tuesday, March 23, 2010

Prespektif Kesetaraan Gender dalam Islam

Konsep kesetaraan gender tak pernah berhenti digembar-gemborkan, seiring dengan itu semakin banyak pula bermunculan tokoh-tokoh feminisme dari berbagai macam aliran yang notabene “katanya” sedang memperjuangkan hak-hak perempuan yang mereka anggap telah terdiskriminasi. Problematika ini memang sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, dan terus mengalami pasang surut hingga sekarang.

1. Kedudukan perempuan pada masa Nabi SAW

Perempuan pra-kedatangan Nabi SAW sama sekali tidak memiliki nilai dan kredibiltas apa-apa, mereka tidak ubahnya barang yang bisa saling diwarisi dan simbol kerugian, hal ini tergambar jelas dalam surat An-Nahl ( An-Nahl:58 ):

“ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.


Kemudian barulah setelah kedatangan agama Rasulullah SAW, perempuan kembali mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia secara utuh. Hal ini tercermin langsung pada setiap sisi kehidupan masyarakat waktu itu, dalam bidang pendidikan para perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam menimba ilmu, begitu juga dengan hak mengeluarkan pendapat, bertanya, dan sebagainya.
Dalam bidang politik para perempuan diikutsertakan dalam berbagai peperangan, dan segala sektor yang mampu mereka kerjakan.

Banyak contoh nyata yang tidak bisa kita abaikan dalam perjalanan sirah Nabi yang bercerita jelas tentang aktifitas perempuan pada masa itu.
Sosok yang paling dekat dengan Nabi, Siti Khadijah ra adalah pembisnis handal dan terkemuka, perniagaan beliau malah termasuk berkelas diantara lelaki dimasa itu.
Kemudian Siti Aisyah ra yang sangat terkenal dengan kecerdasannya dan menjadi empat besar dalam perawi hadist terbanyak.
Istri Abdullah bin Mas’ud seorang wisraswatawan yang sukses. Syifa yang pernah ditugaskan oleh khalifah Umar bin Khattab untuk menangani pasar kota Madinah dan banyak lagi contoh lain.


Dari ini terlihat nyata bahwa Islam membawa pencerahan dalam kehidupan perempuan, Islam lah yang mengusung revolusi hingga perempuan bisa memperoleh hak-hak mereka kembali, sesuatu hal yang tidak pernah diberikan oleh bangsa atau peradaban manapun sebelum Islam.
Perkembangan ini kemudian kembali mengalami kemerosotan pada abad kedua, saat para pemimpin Islam mulai memasukkan tradisi Helennistik dalam kancah politik, tradisini ini banyak mengadopsi ajaran Yahudi yang melihat peempuan sebagai sesuatu yang nyaris tidak memliki peran apa-apa didalam masyarakat.

2. Konsep kesetaraan gender dalam Al-Quran

Gender dapat diartikan sebagai pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan stasus sosial, untuk selanjutnya yang dilakukan oleh para feminisme adalah menganalisis berbagai kriteria untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial antara laki-laki dan perempuan.

Islam merupakan salah satu agama yang memiliki aturan hukum kehidupan sosial yang rinci. Hukum dan ajaran Islam ini terangkum didalam Al-Quran dan dengan tegas mengajarkan manusia tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl ayat 79

“Barangsiapa yang beramal shalih,baik laki-laki maupun perempuan,sedang dia dalam keadaan beriman, kecuali pasti kami akn memberikannya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”.

Dalam hal penciptaan persamaan ini pun diberlakukan, Allah SWT berfirman :”wahai manusia, bertakwalah kamu sekalian pada Allah yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu(adam), dan menciptakan pasangannya (hawa) dari dirinya”.
Selanjutnya firman Allah SWT: “dan yang paling mulia diantar kamu disisi Allah hanyalah orang-orang yang bertakwa”.

Tapi kemudian ada beberapa ayat yang bercerita tentang pembedaan laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menjadi bulan-bulanan para feminisme untuk menyorot Islam. Ajaran Islam dianggap sebelah pihak dan mengekang perempuan. Diantaranya larangan keluar rumah, perolehan warisan, hak menjadi pemimpin dan sebagainya.

Hal ini menggambarkan bahwa seperti ada dua sisi dalam Al-Qur’an, sisi yang pertama bebicara tentang persamaan laki-laki dan perempuan, sisi yang lain mendukung prioritas laki-laki dibanding perempuan.

Orosinalitas Al-Quran tetap ada sampai sekarang.yang kemudian terjadi adalah keragaman penafsiran dari konteks ayat yang ada. Pada umumnya pemahaman teks Al-Qur’an yang diambil dari pendekatan kaidah Ushul fiqh adalah pendekatan yang berorientasi pada pemahaman yang dimunculkan ole bahasa ( tekstual ). Hal ini cenderung membuat kita memahami suatu ayat secara zahir dan gagal memperoleh pesan moral yang ada dibaliknya.

Teks yang bersifat statis tidak bisa mengakomodasi dinamika masyarakat yang terus menerus, oleh karena itu diperlukan pendekatan untuk bisa mendapatkan pesan moral yang ada.

Dengan pendekatan tersebut kedua sisi penggambaran dalam Al-Qur’an bisa disatukan. pendekatan ini erat kaitannya dengan latar belakang dan waktu ditunkannya sebuah ayat. jika kita lihat ayat ayat yang berbicara tentang persamaan laki-laki dan perempuan adalah konteks yang tidak tunduk terhadap waktu dan perubahan, berbeda dengan ayat-ayat yang mendukung prioritas laki-laki terhadap perempuan yang tidak lepas dari background dan zaman diturunkannya ayat tersebut.
Jelaslah bahwa ayat-ayat yang tidak terpengaruh dengan segala perubahan menempati posisi yang “lebih” tinggi derajatnya dibanding dengan ayat-ayat berada dalam pengaruh keadaan sosial ekonomi yang relatif.

Jadi pada dasarnya kita tidak bisa hanya melihat pada konteks suatu ayat tanpa merujuk pada latarbelakang dan zaman turunnya ayat tersebut yaitu masa Rasulullah SAW dimana privilise para lelaki berimbang dengan tanggung jawab sosial yang mereka pikul saat itu. Mereka adalah sumber nafkah bagi keluarganya dan dibebankan untuk membayar mahar ketika akan menikah.

Oleh karena itu ayat-ayat tersebut tidaklah kemudian menjadi hukum yang absolut saat ini, Ketika tanggungjawab sosial tidak lagi dipikul oleh kaum lelaki sendirian, Saat segolongan perempuan telah mapan mencari nafkah. Maka tidak itu menutup kemungkinan dengan pendekatan-pendekatan lain pada Al-Qur’an dan hadits akan menelurkan hukum hukum yang relevan dengan kondisi saat ini, Termasuk analisis gender yang dimaksud.

Penutup

Islam adalah agama yang sempurna.ajaran yang tidak hanya memberikan ketenangan tapi juga penjagaan dan cinta. Terkadang tanpa sadar, saat kita merasa dikekang, diatur, dikungkung dan diajari, saat itu pulalah sebenarnya kita mendapatkan kebebasan yang kita cari, penghargaan yang kita inginkan, dan keadilan yang selalu kita teriakkan. Yang semestinya selalu kita tanamakan dihati kita adalah adil bukan berarti selalu sama, tapi adil adalah penempatan sesuatu pada tempatnya. Begitu juga dengan kita..kaum perempuan, Kita telah dimuliakan dengan pembagian peran yang sesui oleh Islam, maka kenapa kita harus terus berteriak-teriak menyeru meminta keadilan dengan mengabaikan kedudukan mulia yang sudah kita miliki?.


Dalam kesempatan ini, penulis teringat dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Abu Usrah:” Tidak akan ada wanita “normal” yang mau dikatakan sama dengan laki-laki, dan
tidak akan ada laki-laki “normal” yang mau dikatakan sama dengan wanita,
laki-laki ya laki-laki, wanita ya wanita. Sampai hari Kiamat mereka tetap
berbeda.”


.................................................................
Sumber: Mencari Teori Kesetaraan, Acep sugiri.
Indonesia kita, Praktek Kesetaraan Gender Pada Masa Nabi SAW, Nasaruddin Umar.

No comments:

Post a Comment