Friday, May 21, 2010

Filosofis Muslim : Al-Kindi dan Farabi 4

B. AL-FARABI.

1. Riwayat Hidup.

Nama lengkapnya adalah Abu Nasr, Muhammad, Ibnu Muhammad, Ibnu Tarkhan, Ibnu Uzlag, Al-Farabi. Masyhur dengan sebutan Abu Ali. Dia berasal dari keturunan Turki, dan dilahirkan di kota Farab, Transoxania pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang berkebangsaan Iran bernama Muhammad Ibn Auzlagh yang menjabat sebagai panglima Parsi.

Al-Farabi menuntut ilmu di Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu Pengetahuan ketika itu, gurunya antara lain Abu Bisyr Matta ibn Yunus, salah seorang penerjemah yang membantu Hunain Ibn Ishaq di Bait al-Hikmah, dan Yuhanna bin Jilan seorang filosof di Harran, di Baghdad dia belajar falsafat, logika, metafisika, ilmu politik, music dan lain-lain. Selain itu, al-Farabi juga memiliki pengetahuan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Diantara bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan.

Ketika dia pindah ke Damsyik pada tahun 330 H (941 M), oleh khalifah dinasti Hamdan di Aleppo al-Farabi diberikan kedudukan yang baik, dia menetap dikota ini hingga wafat di usia 80 pada tahun 337 H (950 M).

Al-Farabi adalah seorang filosof tulen yang lebih banyak membahas tentang filsafat Aristoteles, jika Aristoteles digelari dengan sebutan “Guru pertama” (al-Muallim al-Awwal) karena dia merumuskan dan mengumpulkan kajian-kajian pertama dalam ilmu logika dan permasalahannya, maka al-Farabi digelar dengan sebutan “Guru kedua” (al-Mu’allim at-Tsani) karena dialah yang mengarang, mengumpulkan dan menyempurnakan karangan-karangan Aristoteles sehingga lebih jelas dan teratur.

Al-Farabi memilki peranan penting dalam dunia Islam, dia menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam lainnya yang datang sesudahnya. Disamping itu dia juga telah dapat menciptakan satu sistem filsafat yang lengkap. Dia lebih baik dari al-Kindi dalam memberi penjelasan, menerjemahkan dan menyusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani, bahkan al-Farabi mengisi kelemahan al-Kindi dalam ilmu logika.

Filsafat al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah. Dalam soal mantiq dan filsafat misalnya, Farabi mengikuti Aristoteles, dalam soal politik dan etika dia memilih pendapat Plato, sedang dalam persoalan metafisika Farabi cenderung kepada Plotinus.

Al-Farabi meninggalkan banyak karangan, akan tetapi karangannya tidak dikenal luas seperti karangan Ibnu Sina. Kebanyakan karangan al-Farabi telah hilang dan yang masih tersisa kurang lebih hanya berjumlah 30 karangan saja yang ditulis dalam bahasa Arab.

Sebagian besar karangan al-Farabi berisi ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang logika, fisika, etika dan metafisika. Selain itu al-Farabi juga menulis buku-buku mengenai music, matematika, kimia dan sebagainya.

Diantara karangan-karangannya yang terkenal adalah “Aghradul ma Ba’da at-Thabi’ah” ( Intisari buku Metafisika),”al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain” yang menyelaraskan pendapat Plato dan Aristoteles, “Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah” (Pendapat-Pendapat para Warga Kota Utama), dan lain sebagainya.

2. Pendapat Al-Farabi tentang teori Emanasi (al-Faydh)

Al-Kindi menyatakan bahwa Tuhan adalah sebab pertama dari segala sesuatu, akan tetapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana alam ini diciptakan. Al-Farabi sendiri dalam menerangkan proses penciptaan alam mempergunakan teori emanasi atau pancaran ilahi (al-faidh al-ilahi).

Teori emanasi diartikan sebagai teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajibul wujud (Zat yang wajib adanya : Khalik). Teori ini disebut juga dengan “teori urutan wujud”.

Alam semesta yang tercipta sebagai hasil dari proses emanasi ini tersusun dari beberapa tingkatan. Mulai dari Allah yang tertinggi, yang tidak miliki batas apapun, hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Teori ini sebenarnya telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme. Akan tetapi, oleh al-Farabi teori ini lebih diuraikan lagi secara ilmiah.

Menurut teori ini, wujud Allah sebagai suatu wujud Intelegensi (Akal) mutlak yang berpikir, yaitu berpikir tentang dirinya sebelum adanya wujud-wujud selain-Nya yang secara otomatis memancarkan akal pertama (Al-‘aql Al-awwal) sebagai hasil “proses” berpikir-Nya. Selanjutnya sang Akal-sebagai akal-berfikir tentang Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah Akal kedua. Dan begitulah berturut-turut hingga terciptalah Akal ketiga, keempat dan seterusnya hingga akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan wujud di alam immaterial.

Dalam proses emanasi ini , disamping terciptanya akal-akal, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa dan planet-planet. Selain berpikir tentang Allah sebagai sumber penciptaannya, Akal kedua juga berpikir tentang dirinya sendiri hingga terciptalah jiwa dan langit pertama atau planet terjauh (as-Sama’ al-‘Ula atau al-Falak al-‘Ula).

Dari Akal kedua, tercipta Akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-Kawakib ats-tsabitah) beserta jiwanya. Dari Akal ketiga timbul Akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal) juga beserta jiwanya. Dari Akal keempat keluar Akal kelima dan planet Jupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari akal kelima tercipta akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Akal keenam menghasilkan akal ketujuh dan matahari (asy-Syams) beserta jiwanya. Akal ketujuh menghasilkan akal kedelapan dan planet Venus (Az-Zuhrah) juga beserta jiwanya.

Akal kedelapan menciptakan akal kesembilan dan Planet Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya. Dari akal tersebut keluar akal kesepuluh dan bulan (al-Qamar). Dari akal kesepuluh inilah tercipta manusia dan bumi (al-Ardh) yang merupakan campuran antara yang immaterial (al-‘Aql atau ruh) dengan yang material.

Demikianlah teori emanasi yang dijelaskan oleh al-Farabi. Kita bisa melihat bahwa pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu Zat-Nya saja, maka pada akal-akal sepuluh tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan (Zat yang wajibul wujud) dan diri akal akal itu sendiri (mumkinul wujud).

No comments:

Post a Comment