Friday, May 21, 2010

Ilmu Sekuler Barat dan Tauhidullah 2

A. Ilmu Sekuler Barat

1. Pengertian sekuler

Kamus-kamus Bahasa Eropa mengatakan bahwa kata “sekularisme” dan “sekularisasi” itu berasal dari kata Latin saeculum, yang berarti abad (age, century). “sekular” berarti seabad. Umpamanya , secular games (permainan yang terjadi sekali dalam seratus tahun) dan secular trees (pohon yang berumur seabad). Selanjutnya “sekular” mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup sekarang” (temporal, wordly). Lawannya ialah “bersifat ukhrawi” atau “bersifat keagamaan” (religious, sacred). Pendidikan sekular (seculer education) misalnya, adalah pendidikan duniawi yang tidak mempunyai sifat keagamaan.

Dalam bahasa Arab kata sekular ini diterjemahkan menjadi ‘alami dan duniawi. Kalau “sekular” berarti “bersifat duniawi”, maka sekularisme berarti “doktrin, policy atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup duniawi dari ikatan agama-agama”. Dan “sekularisasi” adalah “proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama”.

Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) atau sebagai: "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education" (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil daulah (pemisahan agama dengan Negara) yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara, politik, maupun duniawi.

Dari beberapa pengertian sekuler yang disebutkan di atas, maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ilmu sekuler barat adalah ilmu yang dalam penerapannya menggunakan prinsip pemisahan kehidupan dunia dari nilai-nilai keagamaan , hingga kehidupan dunia memiliki ruang tersendiri, dan begitu juga dengan nilai keagamaan, yang bertujuan akhir pada prinsip materialisme.

2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Barat Sekuler

Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran dan filsafat Barat. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada waktu itu menjadi satu dengan dogma gereja (Agama).

Munculnya Renaissans pada abad ke-15 dan Aufklaerung di abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap filsafat. Filsafat memisahkan diri dari agama, orang mulai bebas mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum oleh gereja, sebagai kelanjutan dari zaman renaissans, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai “anak-anak” filsafat berdiri sendiri dan terpecah menjadi berbagai cabang. Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada Abad ke 20.

Pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, ilmu tidak lagi sekedar sarana kehidupan bagi manusia, tetapi telah menjadi sesuatu yang substantif yang “menguasai” kehidupan umat manusia baik secara ekstentif maupun intensif. Berbagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam berbagai bentuk tekhnologi tinggi disamping kemanfaatannya yang “luar biasa” juga telah menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan.

Hal ini tidak lain, karena dilahirkan dari sebuah dasar pemikiran yang salah.
Rizal Mustansyir dan misnal munir mengutip perkataan Koento Wibisono:
Pemikiran Barat yang dijiwai oleh semangat Renaissance dan Aufklaerung merupakan “paradigma” bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam dalam semua segi dan kehidupan.

Akar historis dari konsep sekulerisme sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat, dimana pada abad pertengahan (6-16 M), system pemikiran ditempatkan dalam satu bingkai oleh gereja. Pada masa itu, perkembangan ilmu dan pengetahuan harus tunduk pada ajaran dan dogma kekristenan.

Disamping itu, pada waktu yang sama, kekuasaaan para raja Eropa bekerja sama dengan pihak gereja membuat aturan yang menzalimi rakyatnya atas nama Tuhan, anggapan pahwa para raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi yang diopinikan kepada lapisan masyarakat mejadikan para raja seenaknya membuat peraturan yang kemudian disahkan oleh pihak gereja.

Ketidakadilan dan kekacauan dalam interaksi social ini akhirnya menjadi pelengkap factor pendorong lahirnya pemberontakan yang digawangi oleh para pemikir dan filosof. Para pemikir ini selanjutnya membuat satu konsep bahwa Tuhan tidak boleh ikut campur dalam masalah public, cukup digereja saja. Akhirnya, kekuatan masyarakat tidak bisa terbendung dan inilah awal dari pemisahan urusan duniawi dengan nilai-nilai keagamaan yang merupakan ide pokok sekuler.

Kejenuhan terhadap dogma-dogma gereja (Kristen), maka muncullah zaman Renaissans, zaman dimana berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia.

Renaissans merupakan era sejarah baru yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan dengan Humanisme. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berfikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari kekuasaan gereja yang selama ini membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu.
Zaman “Renaissans” ini, lalu di dimatangkan oleh gerakan “Aufklaerung” atau “pencerahan” pada abad ke-18, di dalamnya mengandung dua hal penting. Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.

Pada Abad ini, manusia pada akhirnya betul-betul mengandalkan akal untuk bisa mendapatkan kepuasan hidup dan pembuktian kebenaran. Nilai-nilai Kristiani Abad pertengahan mulai kehilangan arti. Ide-ide tradisional Abad pertengahan tak lagi memberi kepuasan. Kepercayaan kepada Tuhan tak lagi memberi arah kepada pandangan hidup manusia. Bukanlah ketuhanan, melainkan kebahagiaan duniawi murni yang memegang peranan dalam kehidupan.

Pemikiran Barat pada masa ini memiliki corak yang berbeda dengan pemikiran Abad pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada masa ini otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.

Bahkan pada zaman ini kebenaran pun disangsikan dan dipertanyakan, mereka menitikberatkan kepada akal sebagai asas kebenaran. Wahyu sebagai sumber kebenaran ditinggalkan. Orang menaruh kepercayaan pada akal sebagai alat untuk mencapai kebenaran dan kepastian. Tradisi dan kekuasaan dipatahkan oleh akal. “akal harus dijadikan titik tolak penyelidikan. Atas nama akal, maka pembersihan harus dilakukan dikedua kota, pertama di kota Surgawi dan lainnya di kota kerajaan yang kedua-duanya sama-sama tak logis dan sama-sama penuh kecelakaan.

Dari perkembangan diatas, maka kita bisa melihat sebuah perjalanan sejarah keilmuan Barat, bahwa dalam ilmu Barat, kehidupan dunia tidak bisa lagi dicampuri oleh urusan agama atau akhirat, begitu juga sebaliknya, yang semua itu bermuara pada satu titik yaitu “penuhanan terhadap akal”.

No comments:

Post a Comment